Pertama, penghapusan lembaga perkawinan adalah untuk meningkatkan loyalitas dan dedikasi setiap warga negara kepada negara. Karena apa? Karena kalau lembaga tersebut dihapuskan maka tidak seorang pun yang akan disibukkan lagi oleh urusan keluarga , cinta kepada istri dan anak-anak, yang bagi Plato merupakan satu-satunya bentuk egoisme yang perlu (dan harus) dikikis habis. Jika seseorang telah dibebaskan dari ikatan perkawinan dan urusan keluarga, maka loyalitas dan pengabdiannya akan sepenuhnya adalah bagi negaranya.
Kedua, penghapusan lembaga perkawinan dan keluarga akan memudahkan pengendalian jumlah penduduk. Menurut Plato negara yang ideal adalah tidak terlalu kecil, dan jangan terlalu besar. Nah, cara pengendalian penduduk yang harus ditempuh pemerintah menurutnya adalah dengan mengatur waktu yang digunakan oleh pria dan wanita untuk berhubungan seksual. Lalu bagaimana? Ya itu tadi, dengan membatasi jumlah pasangan agar jumlah kelahiran dapat disesuaikan dengan kebutuhan negara sambil memperhitungkan jumlah orang-orang yang mati karena peperangan, karena penyakit dan lainnya. Mencari win-win solution atau jalan tengah supaya angka yang lahir dan mati menjadi berimbang.
Ketiga, penghapusan lembaga perkawinan dan keluarga dapat meningkatkan kualitas manusia. Negara ideal menurutnya haruslah memiliki pemimpin yang istimewa, yang memiliki kemampuan intelektual tinggi dan karakter mengagumkan, serta moral yang amat terpuji. Untuk memperbaiki kualitas manusia tersebut, maka pemerintah harus mengatur agar pria yang terbaik di dalam negara melakukan hubungan badan dengan wanita yang terbaik, sehingga mereka akan menghasilkan keturunan yang terbaik pula. Anak dari pria dan wanita yang tak berkualitas harus disingkirkan oleh negara, dan hanya anak dari pria dan wanita berkualitas yang harus dipelihara serta dirawat oleh negara.
Bagi kita yang menjunjung tinggi keberagaman, kemajemukan, dan kesetaraan tentu saja akan menentang habis-habisan gagasan Plato tersebut, Bahwa manusia diciptakan berbeda tapi dengan derajat yang sama di mata Tuhan Sang Pencipta itu. Bahwa manusia tidak dapat memutlakkan kekuatan, kehebatan, kesuksesan, dan kelebihan dirinya dengan cara menisbikan sesama manusia yang lain. Kita tidak berhak berdiri sendiri di atas segala kekuatan dan kelebihan yang kita miliki, lalu kemudian menyepelekan mereka yang lain. Membungkam dan memusnahkan semua yang kita anggap tidak penting, tidak kuat, tidak berharga. Sesama kita manusia yang lain, yang mungkin di mata kita mereka tidak seberuntung kita, adalah tetap manusia. Sebuah ciptaan yang mulia.
Mari kita lihat apa pendapat seorang filsuf lain yang bernama Aristoteles dalam menentang cara berpikir si Plato. Aristoteles mengatakan bahwa kesatuan dalam negara yang didambakan oleh Plato melalui penghapusan lembaga perkawinan dan keluarga, bukan saja tidak sesuai dengan realitas, tetapi juga sangat tidak praktis. Rupa-rupanya Plato disesatkan oleh cita-citanya untuk menciptakan suatu kesatuan yang istimewa, sehingga lahirlah gagasan yang begitu utopis, yang sangat tak mungkin dipraktekkan. Kalau di Indonesia, boro-boro nggak kawin setelah kawin pun masih belum ‘puas’ makanya jadi lebih buas lagi.
Maka benarlah si Aristoteles ketika ia mengatakan bahwa gagasan Plato adalah gagasan yang utopis, dan terlalu membumbung tinggi sehingga hanya mungkin untuk muncul dalam imajinasi semata, gagasannya tidak praktis dan tidak masuk akal.
Berangkat dari beberapa pemahaman di atas, dan pengalaman hidup banyak orang di banyak negara, maka harusnya kesatuan dan kekuatan sebuah negara tidak harus karena adanya penyeragaman dan keseragaman. Kita bisa menjadi sangat kuat karena keberagaman dan kepelbagaian kita. Negara dan pemerintah bisa menjadi kuat, ketika perbedaan tidak dijadikan musuh yang harus diberantas dan dihabisi, tapi manakala perbedaan dijadikan sebuah kekuatan bersama untuk semakin hari semakin bersinergi, dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Ketika kita menyangkal kepelbagaian dan kemajemukan kita, maka kita sementara menyangkal hakekat kemanusiaan kita yang memang berbeda. Serempak kita menjadi tidak mengakui lagi DIA yang sudah menciptakan kita secara berbeda. Kita memang berbeda-beda. Apa-apa berbeda, semuanya serba berbeda. Lalu kenapa kita harus repot menyeragamkannya? Bukankah Tuhan memang menghendaki kita untuk berbeda? Ia menciptakan kita semuanya berbeda satu sama lain tentu dengan maksud baiknya. Ia menciptakan kita dengan begitu uniknya. Bahkan tidak ada satu manusia pun yang memiliki DNA yang sama. Tujuh milliar manusia di bumi ini memiliki DNA yang berbeda. Memiliki sidik jari yang berbeda. Memiliki tarikan dan hembusan nafas yang berbeda. Memiliki jumlah rambut yang berbeda. Memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Ini adalah keniscayaan, tidak bisa kita tolak. Karena Allah menghendaki kita untuk berbeda. Ia tentu sudah merancang kita untuk tercipta berbeda ketika menciptakan bumi ini, dan ketika Ia menciptakan manusia pertama untuk menghuni bumi ini.
Lembaga perkawinan adalah termasuk cara Allah mempersatukan yang berbeda itu tanpa harus menghilangkan perbedaan yang ada. Bayangkan dua karakter harus bersatu dan tinggal dalam satu atap. Dua pribadi harus menjalin ikatan kasih dalam suatu perkawinan. Dua jenis manusia harus mulai saling menerima dan memahami apa adanya. Mereka berbeda, tapi mereka telah menjadi satu keluarga dalam perkawinan yang kudus. Hakikat mereka yang berbeda tetap ada, tapi itu bukan hambatan untuk bersatu. Justru kekuatan dan kemegahan sebuah lembaga perkawinan adalah ketika ia mampu menjaga keutuhan dua pribadi berbeda itu hingga maut datang menjemput. Ketika ia mampu menerima tidak hanya kelebihan yang sangat disukainya, tapi juga kelemahan dan kekurangan yang begitu dibencinya.
Bukankah Allah telah menunjukkan pula bahwa ia merestui dan menghendaki adanya lembaga perkawinan ketika Ia pertama kali menciptakan Hawa untuk Adam? Itulah lembaga perkawinan paling pertama di dunia. Adam dan Hawa adalah pasangan suami istri paling pertama di dunia. Dan Allah sendirilah yang memberkati mereka. Terbentuklah tiga pilar lembaga perkawinan: Allah-Suami-Istri. Kekuatan lembaga ini tidak bisa dan tidak boleh digoyahkan oleh apa pun. Oleh karena itu, perkawinan yang kuat dan kokoh walalupun terdiri dari pria dan wanita yang berbeda akan menjadi kenyataan apabila menghadirkan sosok ketiga. Pilar ketiga. Yaitu Tuhan. Kalau mungkin pihak ketiga itu adalah PIL atau WIL maka ujungnya adalah perceraian, tapi kalau pihak ketiga itu adalah Tuhan, maka percayalah perkawinan tersebut akan menjadi istimewa dan bertahan sampai akhir.
***
Note: Bagi yang mau menikah, selamat menikah. Bagi yang sudah menikah, selamat hidup rukun.
Michael Sendow.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar