Mengkritik sesuatu adalah hal yang paling gampang, murah, dan asyik. Tapi di sisi yang lain, memberi kritik juga bisa menjadi sesuatu yang susahnya minta ampun, mahal, dan tidak mengenakkan. Lho, apa iya? Ya iyalah! Tidak sedikit karena kritikannya tersebut, seseorang itu kemudian diberangus, harus membayar dengan mahal, dan dicela kiri-kanan. Itulah kenyataannya dalam dunia kritik mengkritik. Kadang bagaikan bola salju yang jatuh dari ketinggian, ia menghajar semua yang dilaluinya sampai berantakan, tapi akhirnya ia juga hancur lebur berantakan tak karu-karuan.
Kritik memang diperlukan, tapi terkadang ia juga begitu dibenci. Walau kita mengatakan kita menerima kritik dengan tangan terbuka dan lapang dada, tapi hati nurani yang jujur pasti akan berontak dan merasa tidak nyaman dengan segala kritikan itu. Betul tidak? Andaikan jawabannya tidak, maka berbahagialah saudara. Tapi satu hal yang pasti, sadar atau tidak, suka atau tidak, kita sebenarnya adalah tukang kritik abadi itu.
Kalau pun kita tidak mengkritik orang lain, kita sebenarnya adalah pengkritik diri sendiri. Wah, kenapa saya bikin yang ini padahal harusnya yang itu! Aduh, gobloknya aku ini, aku semestinya pergi ke sana bukannya hanya tinggal diam di sini! Eh, ini betul-betul keliru, aku tidak harus membelinya, kenapa aku malah membeli BB termaknyus itu dua sekaligus? Setiap inci dan setiap detik dalam hidup ini terbuka untuk sebuah kritikan. Kita selalu mengkritisi diri, dan prilaku kita sendiri. Supaya apa? Tentu dengan harapan, akan menjadi lebih baik lagi, lebih bijak lagi, lebih sabar lagi kedepannya. Apakah segampang itu? Tentu tidak. Kenapa tidak? Karena sifat dasar manusia adalah “membenarkan diri” dan selalu mencari kebenaran sendiri dalam rangka menutupi kesalahan serta kekeliruan.
“Criticism is when someone offers you their opinion or judgement about you or a characteristic that you have. But what if you stopped to evaluate the criticism without any emotional involvement? I know, easier said than done. But it can be done. Instead of thinking of it as criticism think of as constructive feedback.“(CoachKalpna)
Saya pernah punya pengalaman pahit sekaligus manis dengan tukang kritik yang saya anggap paling keras, jahil, dan tak mengenal belas kasihan sedunia. Pengalaman yang akan saya ceritakan ini begitu membekas di hati saya. Orang yang menurut hemat saya waktu itu adalah ‘manusia yang tak mengenal belas kasihan’ tak lain adalah atasan tertinggi ketiga saya di salah satu tempat kerja di Jersey. Orangnya memiliki kepala yang di atasnya tidak memiliki banyak rambut, selalu terlihat mengkilap. Dengan badan agak gemuk membulat, cara jalannya cepat, terlihat pasti, dan selalu dengan kepala tegak dada membusung, walau kalah lebar sama perutnya. Orang yang sangat keras dan tegas, jarang tersenyum. Ketegasan yang tidak main-main. Kalau bicara suaranya laksana halilintar.
Nah, singkat cerita boss saya ini tidak pernah memberikan apresiasi terhadap apa yang saya lakukan. Tidak satu kalipun. Semua yang saya lakukan dan kerjakan selalu saja tidak sempurna dan kurang baik dimatanya. Ia selalu mengkritik apa yang saya buat. Pernah suatu kali saya membawa hasil laporan kerja saya yang menurut saya sudah yang terbaik yang saya bisa, ia lalu membolak-balik, mengerenyitkan keningnya, lalu berkata dingin “Lumayan”. That’s it. Malah ia mengatakan, “sudah lumayan tapi masih kurang cepat Mike.”
Minggu-minggu sesudahnya saya buat yang lebih cepat lagi, bahkan teman-teman bilang, apa yang mereka dan yang sebelum saya buat kalah jauh dengan yang saya bisa tangani kala itu. Project yang biasanya mereka boleh rampungkan dalam 1-2 tahun, saya mendapatkannya ‘hanya’ dalam waktu 6 bulan. Prestasi yang tentu membuat saya bangga dan senang. Kali ini pasti ia (boss saya) akan ‘bertekuk lutut’, pikir saya. Tapi ternyata boss saya memang ‘orang gila’. Tanpa ekspresi, ia menyatakan bahwa ia kurang puas dengan hasil saya. Ia bilang bahwa ketika ia berada di posisi saya waktu itu, apa yang saya selesaikan dalam 6 bulan, hanya butuh 3 bulan baginya! Ia memang sudah benar-benar membuat saya hampir frustasi. Kerja di lingkungan seperti ini membuat bukan hanya stress, tapi bakalan depresi. “Cooling it down, man…” kawan-kawan menghibur dan menenangkan saya.
Beberapa bulan kemudian saya terpilih menjadi ketua team leader untuk cost improvement team, dan beberapa bidang lainnya.Segala sesuatu saya kerjakan dengan sebaik mungkin. Tapi rupa-rupanya saya menjadi bulan-bulanan boss saya sendiri. Dihujani kritik kiri-kanan. Apapun yang saya buat selalu mendapat kritikan pedas tanpa henti-hentinya. Rasa-rasanya tidak ada satu celah atau ruang sekecil apapun di hatinya untuk mengapresiasi apa yang saya lakukan. Tidak pernah ada satu pujian pun respect yang saya terima selama hampir satu tahun itu. Kawan-kawan mengakui apa yang saya kerjakan brilian, tapi di mata boss tidak sama sekali. Tidak ada apa-apanya. Saya hanyalah seonggok pribadi yang tak mampu memenuhi target yang ia harapkan, padahal apa yang sudah saya buat bahkan lebih dari main goal perusahaan, mendapat penghargaan khusus dari segi lowest scrap dan highest efficiency. Tapi tidak baginya. Ia sepertinya begitu benci, dan tidak suka. Kritikannya mencambuk saya bertubi-tubi, sampai hampir benar-benar tergeletak karena tak kuat lagi.
Seperti biasanya, pada akhir tahun sebagai ketua tim maka saya harus mempresentasikan dan mendemonstrasikan apa yang sudah dicapai selama satu tahun berjalan, untuk penilaian posisi pada tahun selanjutnya. Ini akan sangat menentukan. Tapi presentasi saya harus dinilai terlebih dahulu oleh orang atau tim ahli yang ditunjuk perusahaan.
Setelah saya selesai menuntaskan apa yang harus saya beberkan, tibalah saatnya mendengar penilaian terhadap seluruh hasil kerja saya (dan tim saya). Nah, ketika pimpinan rapat memanggil seseorang untuk memberikan hasil analisa dan penilaiannya terhadap kinerja keseluruhan saya, alangkah kagetnya, jantung ini rasanya mau copot mendengar nama yang mereka sebutkan. Ternyata yang akan memberikan penilaian adalah boss saya yang gila itu. Ia yang begitu membenci saya. Dalam hati saya berpikir, tamatlah sudah semua harapan saya, apa yang sudah setahun ini saya perjuangkan dengan keringat dan suar lelah luar biasa. Yang sudah saya bangun dengan dedikasi dan integritas akhirnya harus kandas di tangan boss saya sendiri yang killer dan tak memiliki hati itu.
Ia memulai kata-katanya dengan sorot dan pandangan mata sangat tajam. Ia memandangi saya seperti elang lapar yang hendak menerkam. Ia pun berkata dengan lantang dan garang, “Dia (maksudnya saya) tidak pantas mendapatkan apa yang dijanjikan perusahaan ini, untuk tahun depan!” *Glek* Kalimat pertamanya saja sudah membuat saya benar-benar down. Rasa-rasanya ingin sekali saya melemparnya dengan botol air mineral yang saya pegang.
“Semua catatan tentang kinerjanya dan analisa saya pribadi ada di dalam rangkuman tulisan ini” Ia kemudian membagikan beberapa map biru itu ke tangan pimpinan rapat.
Ia lalu menyambung, “Bagi saya, ia memang tidak pantas mendapatkan seperti apa yang sudah dijanjikan, ia harus mendapat lebih dari itu. Saya memberinya score tertinggi daripada apa yang pernah saya berikan sebelumnya.”
Saya terhenyak, seperti disambar halilintar ketidakpercayaan, apa tidak salah dengar boss saya bilang begitu?
Dalam perjalanan ke luar ruang seusai rapat itu, ia merangkul pundak saya sambil jalan dan berujar, “Mike, I am so grateful and thankful to have you here in my department.” Ia lalu menjelaskan bahwa hadiahnya yang paling besar buat saya adalah segala kritikan dan didikan yang ia berikan setahun itu. Ia ingin membentuk saya menjadi seperti dirinya. Ia bahkan mengatakan sebenarnya ia sudah sangat terkagum-kagum dengan apa yang saya kerjakan, tapi ia sengaja menyimpannya rapat supaya saya tak cepat merasa puas, dan tertantang untuk lebih baik lagi, dan lebih baik lagi. Ia merasa perlu satu tahun untuk membentuk saya menjadi seperti apa adanya saya di akhir tahun itu. Hatinya ternyata tidak segarang, segalak, dan sekejam apa yang ia pertontonkan selama ini.
Apa yang membuat saya terharu, adalah ketika ia memeluk saya seperti layaknya seorang bapak sambil berkata, “Apa yang saya lakukan selama ini bukan dilandasi benci, tapi karena menghendaki kamu sukses, dan menggantikan saya.”
Ia rupa-rupanya sudah mengalami penyakit jantung cukup kronis. “Di dada saya sudah dipasang alat, dan jantung saya sepertinya hanya tergantung dari alat itu. Saya mempersiapkan kamu untuk berada di posisi saya. Semua rekomendasi kepada pimpinan tertinggi sudah saya berikan.”
Saya pun menyadari betul, bahwa terkadang kita belum memahami kritik dari seseorang sebelum kita melihat hasilnya. Walaupun memang banyak tukang kritik yang sangat garang, saya percaya bahwa masih ada nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka. Bukankah manusia sesungguhnya, dan pada hakikatnya telah diberikan Tuhan hati yang mulia, dan bersih----Michael Sendow. Menilai si tukang kritik memang tidaklah gampang. Ada yang benar-benar dengan tujuan mulia, dan mungkin ada juga yang dengan tujuan menjatuhkan. (Michael Sendow)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar