Kamis, 31 Januari 2008

Dimana torang mo berpihak ?


Prolog....
Ini ada kisah tempo dulu di kampung, dulu kitorang, kita deng mama papa serta tu mama pe adek paling bungsu pernah tinggal di Paniki Bawah (salah satu kampung di Kecamatan Mapanget). Nah, suatu ketika ada tu birman pe rumah tabakar, kong tu kobong kecil dibelakang rumah juga ikut-ikutan tabakar. Noh bayangkan kalu ada rumah tabakar bagitu di kampung, api pe basar...heboh kwa!.
Kong mulai itu petugas dari kantor kepala desa bawa corong kong babataria saturupa ini "Perhatian....perhatian......warga desa diminta untuk masuk kerumah masing-masing, kunci pintu dan jendela rapat-rapat, usahakan untuk tidak keluar rumah ! ".
Ini memang cara yang paling gampang dan kelihatan efektif untuk menghindari polusi. Maar torang tau bersama masalah pokoknya bukang itu. Bukang deng bakurung dikamar kong tu api mo padam toh ?. Masalahnya adalah bagimana mo kaseh mati tu api. (Memadamkan api). Bagimana mo kerja bakti baku bantu for ambe aer kumpul di ember-ember kong pi sirang itu api yang makin basar. Kebetulan di Paniki banyak kuala (kali/sungai kecil). Polusi deng kebakaran mustahil diatasi kalu torang cuma basambunyi kong bakurung di dalang rumah.

Kiapa kita kaseh itu penggalan carita itu ? Karena itu jugalah kecenderungan nyata dari yang ada pa itu agama-agama yang katanya so modern dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan. Yaitu bakurung rapat-rapat, menghindar, basambunyi kong rupa jadi wowo.
Cara paling aman menghadapi konflik, ya itu noh, bersikap netral. Kalu mo jujur, bukankah orang-orang beragama/gereja sering mengambil sikap untuk tidak bersikap (netral), biar lei yang dipersoalkan adalah masalah keadilan dan kebenaran. Banyak contoh; kasus korupsi, kasus perebutan kekuasaan yang nyanda sah, kasus penjarahan, dll. Lebe bayak yang suka iko-iko rupa Pilatus, lebe suka cuci tangan daripada ambe resiko gara-gara berani memilih. "YA" atau "TIDAK".
Pilatus menyerahkan Yesus untuk disalibkan karena dia ingin memuaskan hati orang banyak.....
Kalu torang nyanda berani dengan jelas berpihak kepada keadilan, kepada apa yang benar, sesungguhnya torang juga sementara menyerahkan keadilan dan atau kebenaran itu untuk disalibkan.....

Itu torang pe Guru Agung tokh nyanda pernah suruh pa torang cuma bakurung dikamar, jadi pengecut dengan alasan iman yang dibuat-buat...?!
Ia bahkan mengutus torang samua supaya "pergi kedalam dunia". Untuk larut seperti garam, memberi rasa, memberi arti di tengah-tengah dunia. Dan menjadi terang dunia for beking terang apa yang masih gelap.

Sebenarnya Pilatus itu orang biasa-biasa jo rupa torang. Dia punya kelebihan maar ada lei kekurangan. Dia pe kekurangan yang dapa lia skali sama persis deng tu oportunis-oportunis, deng petualang-petualang politik jaman sekarang. Apa itu ...?
Merasa aman di pihak yang banyak. Takut berada dalam posisi minoritas. Kurang berani menghadapi tekanan mayoritas. "Pilatus memuaskan hati banyak orang".
Ada pertanyaan bagini : Salah soh memperhatikan keinginan banyak orang ? Jawabnya, tentu saja tidak!
Perbedaan yang paling dasar antara "tirani" dan "demokrasi" terletak disitu. Tirani memaksakan kehendak satu orang (rupa Soeharto pe model dang), dan menyepelekan aspirasi banyak orang. Maar demokrasi menghormati kepentingan banyak orang.
Namun, persoalan kita yang paling utama bukang itu soal banyak atau sedikit. Dalam kasus Pilatus, semboyan Vox Populi, Vox Dei ( suara rakyat, suara Tuhan) terbukti salah. Dapalia skali gampang betul semangat rakyat dibengkokkan menjadi amuk massa, masih inga tu kejadian di ketapang, Kupang, Ujung Pandang, bahkan di Jakarta, di Manado lei mungkin ada....?

Dia pe akar masalah kwa bukang "banyak" dan "sedikit" melainkan "benar" atau "salah". Mari jo torang berpihak pada apa yang benar bukan pada yang banyak. Sebab yang banyak itu belum tentu benar. Dapalia juga memang sakit untuk berada pada posisi "sedikit". Lia jo tu perjuangan memberantas korupsi - dengan pedih kita bisa katakan - baru oleh segelintir orang. Contoh sederhana apa yang dialami teman saya di kampung halamannya di Airmadidi sana dalam perjuangannya menentang ketidak-adilan. Menentang korupsi. Malah diamuki massa.
Betapa perjuanagn demi keadilan dan kebenaran hampir selalu diawali sebagai perjuangan sekelompok kecil orang. Itu tantu nyanda enak, rentan terhadap teror, tekanan dan ancaman dari yang besar dan yang banyak akan selalu menghiasi.

Epilog....
Kembali ke kasus, kebakaran di Paniki waktu itu. Kita deng ta pe om ambe resiko untuk nyanda bakurung dalam rumah. Torang dua deng beberapa birman, lari pi ambe aer di kuala terdekat deng di parigi (sumur) yang ada disekitar situ, lalu sama-sama bantu pi sirang tu api supaya nyanda menjalar ke rumah-rumah lainnya.

**) Lihat itu gambar disudut kiri atas, mana posisi atas dari lingkaran itu ? Sama sulitnya dengan menentukan posisi kita masing-masing ? **)

Dimana anda ketika bangsa ini sedang bergumul.......?

Rabu, 30 Januari 2008

New York and Classical Music

“Unless one is in love, or satisfied, or ambition-driven, or without curiosity, or reconciled, New York is like a monumental machine restlessly devised for wasting time, devouring illusions … Where is what you were looking for? And, by the way, what are you looking for?” -Truman Capote

New York City is, without a doubt, one of the most culturally diverse cities in the world. It's almost impossible to walk down the street without seeing the vibrant interweaving of other cultures into the American whole. To be in New York is to be in a city of countless tongues. The languages of the world are deeply ingrained in every corner of the city, and with them, their distinctive cultures.
New York City comprises five boroughs, each of which is coextensive with a county: The Bronx, Brooklyn, Manhattan, Queens and Staten Island. With over 8.2 million residents within an area of 322 square miles (830 km²), New York City is the most densely populated major city in the United States. I like place such Times Square–42nd Street which is the busiest station complex of the New York City and Subway Station. Also, Madison Square Garden - The World's Most Famous Arena in the heart of New York City. You can get tickets for the New York Knicks, New York Rangers, Giants, Concerts, etc. One of my fave. place to go to - while I'm in NYC - !

But today, I'm not gonna go too far. The only place I wanna see is a small music store right down the road in 36 Street by the subway stat. to Queens. I'm looking for "classical music". Kinda like it lately. Often inspired me in many ways...
"Classical music is the music composed in the Western Hemisphere over the past few hundred years. It is generally composed for an orchestra or combination of orchestral instruments, keyboards, guitar, or voice."



"Classical music is one of the few living arts. It continues to exist by being constantly re-created, live, before an audience. Unlike the visual arts, classical music envelops you in real time and comes to life before you; unlike literature or theater, it can be understood equally by speakers of any language--or no language; and unlike dance, you don't need to look good in a leotard to perform it."

Just check this out :
Ludwig van BEETHOVEN (1770-1827)
http://www.classicalarchives.com/beethoven.html
http://www.andrerieu.com/site/

I do appreciate good music such a Bach and Beethoven or Mozart. I also love Ludacris, Elvis, Jim Revees, Celine and Shania Twain. March to the beat of your own drum. Its music and people express it in their own ways.

Selasa, 29 Januari 2008

Celotehan si Cindy Adams

Following our stock-market burp, we heard how Hongkong's Hang Seng reacted, Japans Nikkei reacted- We heard its effect in markets from Frankfurt tu Mumbai. Speaking about our global economy, let me tell you about gambling.

China -- which practically owns our paper, our finance, our debt, our businesses, our manufacturing -- also owns all our money. Where's this planet's biggest gamming (the new politically correct word) operation ? Macao. A 20-minute helicopter ride from Hong Kong or a slightly longer hydrofoil schlep through the South China Sea, this former portuguese colony was a rathole 20 years ago with a junky casino owned by a man named Stanley Ho. I met him. I was there. I know.

Fast-forward. It's now 28 multimillion-buck five-star hotels like the Phoenician, Wynn's Macao, with all the bells and whistles - butlers, famous chef restaurants, shops such as Channel, Dior, Vuitton. Five new properties in 14 months. By 2010, visitors will number 35 million per year. Koreans, Indians, Indonesians, Thais, Singaporeans, Cambodians, Laotians, 1.4 billion people within 3 1/2 hours flying time, and it's gambling culture. Baccarat, not craps, the main game. They are very focussed. Unlike America, Asia has no gambling stigma. Not so much skill as karma, luck and personal superstitions. They bet millions. Last year's revenues - in US bucks - $10.5 bil.

They don't do Vegas. Reason ? Air planes don't allow smoking. To import these "whales", or high rollers, on the docket now is a charter that lets them smoke - and gamble - all the way over. Jurisdiction over the skies is being worked out via video camera that starts at takeoff, so all bets, losses and wins are tallied over recorded airspace.

And let it be known, whoever steers these high roller gets a piece of the action. And let it be known, if a favored player loses big, like millions big, there's a give back. No body saying how much. Take a shot at 5 percent.

Steve Wynn is learning to speak Chinese. The Phoenician's Sheldon Adelson is building additional hotels. MGM is putting up condos. So, these chinese, who were previously poor communists, where they geting all this bread ? Either they must have really large piggy banks, or some of these piggies know something about the drug culture.
These guys who run the operation let no green grow under their feet. They're now organizing portable slots. Take them with you to the can, to bed, to the pool, to who cares. Gamble online.
And you're worrying about your mortgage ?

So this major stockbroker tells his client "Buy Citigroup". She hangs up, switches on a financial channel, and hears some talking head burble : "And if your broker tells you, 'Buy Citigroup', get a new broker." She calls her broker, who had been listening to the same channel. Grabbing the phone all he says is : "Turn off your TV."

Only in New York, kids, only in New York.

**) Cindy Adams aktif menulis di New York Post, tinggal di NYC.

Senin, 28 Januari 2008

Sebagian kecil daftar kekayaan Soeharto dan keluarga

Lima rumah seharga antara 1-2 juta Poundsterling (1 Poundsterling = Rp 18.000) di London, yang terdiri dari: Rumah Sigit Harjojudanto di 8 Winington Road, East Finchley Rumah Sigit Harjojudanto di Hyde Park Crescent Rumah Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) di daerah Kensington Rumah Siti Hediyati Haryanti (Titiek Prabowo) di belakang Kedubes AS di Grosvernor Square Rumah Probosutedjo di 38A Putney Hill, Norfolk House, London SW.15/6 AQ : 3 lantai, dengan basement. (sumber-sumber: Tiara , 5 Desember 1993: 35; Forum Keadilan , 1 Juni 1996: 47; Dewi , Juni 1996; Swa , 19 Juni - 9 Juli 1997: 85; Far Eastern Economic Review , 9 April 1998; mahasiswa Indonesia serta wartawan Inggris dan Indonesia di London dan Jakarta).

Amerika Serikat


Dua rumah Dandy N. Rukmana dan Dantu I. Rukmana (anak laki-laki dan anak perempuan Tutut) di Boston, dengan alamat: 60 Hubbard Road , Weston, Massachussets (MA) 02193 (sejak Juli 1995) 337 Bishops Forest Drive , Waltham , MA 02154 (sejak Februari 1992) Dua rumah anak-anak Sudwikatmono di: H illcrest Drive , Beverly Hills , California , D oheney Drive , Beverly Hills , California Rumah peristirahatan keluarga Suharto di Hawaii. (sumber-sumber: Eksekutif , Maret 1990: 133-134; Tiara , 5 Desember 1993: 35; Far Eastern Economic Review , 9 April 1998; Ottawa Citizen , 16 Mei 1998; hasil investigasi aktivis pro-demokrasi Indonesia di AS) .

Laut Karibia


Rumah-rumah peristirahatan keluarga Suharto di Kepulauan Bermuda dan Cayman (sumber-sumber: Ottawa Citizen , 16 Mei 1998; Die Welt , 23 Mei 1998)SurinamRaden Notosoewito, adik tiri Suharto dari Desa Kemusuk, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta, adalah ketua Yayasan Kemusuk Somenggalan. Yayasan ini adalah pemegang saham PT Mitra Usaha Sejati Abadi (MUSA), holding company dari satu konglomerat yang punya berbagai bidang usaha di Indonesia (Solo, Yogya, Malang, DKI Jaya), Singapura, Hong Kong, dan Surinam. Di negeri yang tersebut terakhir itu, Surinam, konglomerat ini pada tahun 1993 mendapat konsesi hutan seluas 150 ribu hektar di Distrik Apura, Surinam bagian Barat. Konsesi itu merupakan awal dari rencana MUSA untuk menanamkan modal sebesar US$ 1,5 milyar, sebagian besar untuk sektor kehutanan. Konsesi hutan ini, serta praktek MUSA Group untuk juga memborong kayu dari daerah di luar konsesinya sendiri, telah mendapatkan serangan dari gerakan lingkungan di mancanegara. Selain dampak lingkungan dan budayanya yang sangat merusak bagi suku-suku Amerindian Maroon di Distrik Apura, yang juga jadi sorotan adalah bagaimana konsesi itu diperoleh berkat 'diplomasi tingkat tinggi' antara Suharto, sebagai Ketua Gerakan Non-Blok waktu itu, dengan para petinggi Surinam yang keturunan Jawa, khususnya Menteri Sosial Surinam, Willy Sumita. Diplomasi tingkat tinggi, di mana konon uang sogokan sebanyak US$ 9 juta berpindah ke tangan para politisi, dikenal di sana dengan istilah "The Indonesian Connection". Salah satu pendekatan yang dilakukan oleh Yayasan Kemusuk Somenggalan, yang beroperasi di Paramaribo, Ibukota Surinam dengan bantuan Kedubes RI di sana, adalah menawarkan bantuan untuk renovasi Istana Presiden Surinam. Proyek itu ditawarkan untuk diborong oleh anak perusahaan MUSA sendiri. (sumber-sumber: Kompas , 15 Maret 1993, hal. 14 [iklan ucapan selamat atas terpilihnya Suharto dan Tri Sutrisno sebagai Presiden & Wk. Presiden RI]; EIA, 1996: 32; Skephi & IFAW, 1996; Friedland & Pura, 1996; Harrison, 1996; de Wet, 1996; Toni and Forest Monitor, 1997: 26-27, 29-30)

Aotearoa (New Zealand)

Kawasan wisata buru seluas 24,000 Ha bernama Lilybank Lodge di kaki Mount Cook dan di tepi Danau Tekapo di Southern Island bernilai NZ$ 6 juta (1 NZ$ = Rp 4000), yang dibeli lisensinya dari Pemerintah NZ oleh Tommy Suharto tahun 1992. (sumber: AFP , 20 Mei 1998; Australian Financial Review , 27 Mei 1998; hompage: www.lilybank.co.nz ; hasil investigasi lapangan G.J. Aditjondro ke Lilybank, bulan Februari 1998).

Australia

Kapal pesiar mewah (luxury cruiser ) milik Tommy Suharto seharga Aust$ 16 juta (1 Aust$ = Rp 5.000), yang diparkir di Cullen Bay Marina di Darwin. Merger antara perusahaan iklan ruang asal Melbourne, NLD, dengan kelompok Humpuss milik Tommy & Sigit, tahun 1997, berbarengan dengan pembelian saham perusahaan iklan ruang terbesar di Malaysia, BTABS (BT Advertising Billboard Systems), memberikan Tommy dan partner Australianya, Michael Nettlefold, konsesi atas billboards di sepanjang freeways di Negara Bagian Victoria, Australia, serta sepanjang jalan-jalan toll NLD-Humpuss di Malaysia, Filipina, Burma dan Cina. Perjanjian persekutuan strategis (strategic alliance) antara Kelompok Sahid milik Keluarga Sukamdani Gitosarjono dengan Kemayan Hotels and Leisure Ltd., yang ditandatangani bulan Desember 1997, memungkinkan Sahid ikut memiliki 50 hotel milik Park Plaza International (Asia Pacific) di kawasan Asia-Pasifik serta 180 hotel Park Plaza di AS. Dengan demikian, 24 hotel milik kelompok Sahid di Indonesia dan Medinah, Arab Saudi, diganti namanya menjadi Sahid Park Plaza Hotel. Harap diingat bahwa Sukamdani Gitosardjono, sejak 28 Oktober 1968 menjabat sebagai Ketua Harian Yayasan Mangadeg Surakarta, yang didirikan dengan dalih membangun dan mengelola kuburan keluarga besar Suharto. Jadi tidak tertutup kemungkinan, bahwa ekspansi Kelompok Sahid ke Arab Saudi, AS, dan Asia-Pasifik melalui Kelompok Kemayan/Park Plaza ini, juga memperluas sumber pendapatan keluarga Suharto di berbagai negara itu. (sumber-sumber: Tempo , 3 Desember 1977: 8-9; Info Bisnis , Juli 1994: 9-23; Kontan , 10 Maret 1997; Australian Financial Review , 17 Desember 1997, 13 Maret 1998; Weekend Australian , 10-11 Agustus 1998; Sydney Morning Herald , 17 Agustus 1996, 11 Desember 1997, 6 April 1998; The Suburban , Darwin, 11 Juni 1998; Port Phillip/Caulfield Leader , 22 Juni 1998; sumber-sumber lain).

Singapura

Perusahaan tanker migas milik Bambang Trihatmodjo dkk, Osprey Maritime, yang total memiliki 30 tanker, dengan nilai total di atas US$ 1,5 milyar (US$ 1 = Rp 10.000). Sejak Juni 1996, dua tanker Osprey, yakni Osprey Alyra dan Osprey Altair, dikontrak oleh Saudi Basic Industrial Corporation untuk mengangkut minyak dan produk-produk petrokimia dari Arab Saudi ke mancanegara. Dengan akuisisi perusahaan tanker Norwegia yang terdaftar di Monaco, Gotaas-Larsen, oleh Osprey Maritime yang disepakati bulan Mei 1997, perusahaan milik Bambang Trihatmodjo ini menjadi salah satu maskapai pengangkut migas terbesar di Asia. (sumber-sumber: Economic & Business Review Indonesia , 5 Juni 1996; Asiaweek , 23 Mei 1997: 65; LNG Current News , 13 Februari 1998). Perusahaan tanker migas milik Tommy & Sigit, Humpuss Sea Transport Pte. Ltd., adalah anak perusahaan PT Humpuss INtermoda Transport (HIT), yang pada gilirannya adalah bagian dari Humpuss Group. Tapi dengan berbasis di Singapura, perusahaan itu -- yang berpatungan dengan maskapai Jepang, Mitsui O.S.K. Lines -- dapat mengoperasikan ke-13 tanker migas dan LNGnya, lepas dari intervensi Pertamina pasca-Reformasi. Ini setelah berhasil menciptakan reputasi bagi dirinya sendiri berkat kontrak jangka panjangnya dengan Taiwan. Perusahaan Singapura ini pada gilirannya punya anak perusahaan yang berbasis di Panama, First Topaz Inc. (sumber-sumber: Swa , Mei 1991: 45-46; Prospek , 18 Januari 1992: 40-43;Info Bisnis , November 1994: 12; Jakarta Post , 20 November 1997).

Malaysia, Filipina, Burma, dan Cina


Di ke-4 negara Asia ini, Siti Hardiyanti Rukmana masih menguasai jalan-jalan tol sebagai berikut : 166,34 Km jalan toll antara Wuchuan - Suixi - Xuwen di Cina; 83 Km Metro Manila Skyway & Expressway di Luzon, Filipina; 22 Km jalan toll antara Ayer Hitam dan Yong Peng Timur, yang merupakan Bagian dari jalan tol Proyek Lebuhraya Utara Selatan sepanjang 512 Km yang menghubungkan Singapura, Johor, sampai ke perbatasan Muangthai di Malaysia; ?? Km jalan toll patungan dengan Union of Myanmar Holding Co. di Burma. (sumber-sumber: Info Bisnis , Juni 1994: 11-12; Swa , 5-18 Juni 1997: 47; AP , 21 Februari 1997; Economic & Business Review Indonesia , 5 Maret 1997: 44).

Daftar ini baru meliputi sebagian kecil saja kekayaan keluarga besar Suharto berwujud rumah, kawasan buru, kapal layar mewah, serta perusahaan properti dan perusahaan tanker yang sebagian atau seluruhnya milik keluarga bekas kepala negara ketiga terkaya di dunia. Ini belum lagi saham-saham mereka dalam puluhan perusahaan di luar negeri.

Minggu, 27 Januari 2008

Ketemu kawan lama - kenal kawan baru.



Ketemu kawan-kawan lama memang asyik, kita bercerita panjang lebar, reuni masa silam dan berbagi cerita lucu lainnya.

*) Pak Lukas ujung paling kiri, saya ujung paling kanan,-

Ketemu kawan barupun tak kalah serunya, kita bertukar-pikiran, mengenal situasi terkini yang bersangkutan, terkadang seru bagai cerita silat tapi tak jarang melankolis, mendayu bagai Drama India, atau Telenovela Spanyol.

Sabtu yang belum lama lewat, saya dijemput Pak Lukas untuk menghadiri acara yang dilaksanakan oleh GPI "Paulus" bertempat di City of Highland Park. Disitulah saya ketemu beberapa kawan lama dan kenalan-kenalan baru. Sungguh senang bisa hadir saat itu. " Makaseh banyak fellas, see you next time ! "

Kehilangan Orientasi....?

Hari ini saya sedih. Sedih sekaligus gelisah melihat Soeharto meninggal. Tapi kegelisahan dan kesedihan saya yang lebih dalam lagi adalah dikarenakan, masih begitu banyak orang yang berusaha mencari "pembenaran" atas semua kesalahan masa lalu Soeharto, yang teramat brutal. Yang teramat menyesakkan. Berlindung di bawah bayang-bayang sakit penyakit dan kematian. Akankah kita menutup mata terhadap kematian begitu banyak orang, fakir miskin, para idealis kaum muda dan masih banyak lagi adalah saksi bisu sejarah yang terbungkam di tangan Soeharto, hanya oleh karena kepergian beliau ??

*) Penjual kacang rebus, kehidupan mereka semakin tertekan....

Kita tidak boleh kehilangan orientasi. Pemeriksaan terhadap kejahatan korupsi, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan hukum lainnya harus tetap dijalankan. Sebab negeri ini akan lebih terpuruk kalau kita selalu mau ambil jalan pintas. Cuci tangan ala Pilatus. Keadilan dan kebenaran tetap menjadi prioritas utama, tidak terkecuali terhadap anak-anak dan kroni Soeharto. Kalau pencuri ayam saja di denda, di dera bahkan ujung-ujungnya masuk kerangkeng (sel). Apalagi sekelas....saya sebut dengan segala hormat, Tutut, Tomy, Bambang, dan 'gerombolan'nya....



*)Anak-anak kurang mampu, makanpun serasa tak cukup ber-empat

Dalam sebuah studi tentang penghitungan kemiskinan dengan pendekatan moneter atau pendekatan pengeluaran konsumsi untuk kebutuhan dasar, maka terlihat ada tiga kategori rumah tangga miskin. Yaitu kategori ”sangat miskin” dengan kemampuan minimum mengonsumsi pangan sama atau kurang dari 1.900 kalori/orang/hari dan pengeluaran nonmakanan (PNM) senilai Rp 120.000,00/orang/bulan; kategori ”miskin” dengan konsumsi pangan 1.900-2.100 kalori/orang/hari dan PNM setara Rp 150.000,00/orang/bulan; kategori ”mendekati miskin” dengan konsumsi pangan 2.100 - 2.300 kalori/orang/hari dan PNM setara Rp 175.000,00/orang/bulan. Dapat kita bayangkan bahwa di negeri kita bernama Indonesia ini masih banyak yang berpendapatan RP.120.000,- (Seratus Dua Puluh Ribu) perbulan...? Sungguh sangat miris, sementara 'jendela' yang lain kita melihat saudagar-saudagar kaya, produk rejim-nya Soeharto bergelimang harta dan kekayaan. Meraup kemewahan demi kemewahan. Banyak yang 'menjarah' hasil jerih payah orang-orang kecil tersebut. Merampok subsidi, menilep sumbangan...dan aagkh, entah apa lagi.
*) Si ibu penjual seperti pasrah dengan keadaan.....
Hidup ini akan menjadi semakin sulit kalau kita tidak memiliki orientasi . Dalam kasus Soeharto kita mesti mengambil ketegasan. Seperti ada kalimat yang berbunyi demikian " Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat ".
Mencari keadilan dan kebenaran demi kesejahteraan bersama adalah "titik orientasi" kita.
Menurut Soren Kierkegaard, keruwetan, kekacauan dalam berpikir sering muncul karena hati kita kehilangan titik orientasi.
Ada teman memberi nasihat, kalau kamu hilang jalan di Pusat Kota Manado, jangan panik, carilah gedung tinggi seperti Hotel Novotel, naik lantai paling atas, dan kemudian dari situ ke tujuan anda. Bagi teman saya, lantai atap Hotel Novotel itu menjadi "titik orientasi" dia.
-Mich-
*) Foto-foto by: Apit/Ansel Adam,-

Sabtu, 26 Januari 2008

Menjadi Besar....?

Saya tertarik dan terinspirasi dengan khotbah Alm. Dr.Eka Darmaputera di gereja GKI semasa beliau hidup, saya mendengar, menyimak dan berusaha memahami khotbah beliau dengan kacamata iman saya dengan melihat apa yang terjadi di negeri yang saya sungguh cintai ini, di propinsi dari mana saya datang, di kampung yang pernah membesarkan saya. Kebetulan saya datang dari kampung kecil, papa dari Sonder dan mama asal Lopana.
Dr.Eka memulai khotbahnya dengan " E.F. Schumacher, ekonom Inggris mengatakan Smal is beautiful, kecil itu indah ". Tetapi bagaimana kenyataannya ? Kecil itu bertentangan dengan kecenderungan naluriah kita. Kecenderungan naluriah kita adalah ingin besar. Ingin menjadi besar. Ingin mendapat yang besar. Ingin diperlakukan sebagai orang besar. Begitulah beliau bertutur. Intinya Dr.Eka ingin menegaskan, bahwa semua kita tentunya punya keinginan untuk menjadi besar (dalam berbagai bentuk). Tapi seluruh "kebesaran" kita akan menjadi keliru, salah, membuat kita berdosa apabila itu mengorbankan orang lain, menyengsarakan sesama kita, memiskinkan dan mengecilkan orang-orang disekitar kita.

Saya teringat masa kecil dulu, saya dan teman-teman selalu berlomba untuk menjadi yang pertama, yang tercepat, yang terbesar. Entahkah itu dalam permainan seperti; main kanikir (kelereng, MS,-), main falinggir (layangan, MS,-), main lempar-lempar gambar, main kuti-kuti tiang ( permainan dari semacam karet tangan, MS,-) Maupun dalam meraih juara kelas, berusaha untuk menang dan selalu juara kelas. Semuanya itu begitu lumrah, begitu manusiawi.

Kembali kita diperhadapkan kepada pertanyaan : Kalau ia wajar dan alamiah, mengapa terlalu sering dampak dan akibatnya begitu buruk ? Berapa banyak darah yang tertumpah dan berapa banyak hati yang terluka oleh karena orang ingin menjadi besar dengan cara mengecilkan, merendahkan dan menista orang lain. Dengan cara merampas, mengambil mengkorupsi milik orang lain ? Jawabannya adalah karena begitu banyak orang yang selalu "menjadikan alat sebagai tujuan dan tujuan sebagai alat". Keserakahan itu muncul tatkala, mata dan mata hati kita hanya kita tujukan bagi diri kita sendiri, kepentingan kita, kesenangan kita sendiri. Kata "cukup" tidak lagi menjadi bagian dalam usaha-usaha kita memenuhi kebutuhan hidup, meraih pangkat, karir dan jabatan. Konglomerasi di Indonesia sudah semakin akut akibat penyakit keserakahan. Mereka telah menancapkan kaki-kaki yang panjang dan ujungnya sadar atau tidak sadar menendang keluar, mengeleminasi orang-orang kecil, pedagang-pedagang kecil. Kasus bupati korup tidak asing lagi di telinga kita, pemilihan walikota/bupati bermasalah (money politics), pemilihan rektor bermasalah. Sudah barang tentu semuanya itu banyak merugikan pihak-pihak "diluar pagar kekuasaan". Kita-kita yang kecil ini. Berusaha menjadi besar itu lumrah, wajar, alamiah asal ia diperoleh dengan jalan yang benar. Uang cuma alat, jangan jadikan itu tujuan, kalau tidak, kita akan diperhamba olehnya. Kekuasaan itu cuma alat. Tahta dan jabatan itu cuma alat. Kesejahteraan, menciptakan keadilan dan kebenaran itulah salah satu tujuan terpenting. Jadikan alat tetap sebagai alat dan tujuan sebagai tujuan.

Siapa bisa menyangkal bahwa awan hitam sudah terlalu lama memayungi kehidupan ekonomi kita ? Ekonomi, sesuai dengan namanya, berfungsi untuk mengupayakan kesejahteraan material bersama. Kata "ekonomi" berasal dari kata oikos (rumah) dan nomos (hukum). Ia mengatur baik kegiatan produksi maupun distribusi bagi kebutuhan serta kesejahteraan seluruh "rumah". Sebab ekonomi (ilmu dan pelaksanaanya) mengatur mekanisme agar ada keseimbangan.

Tapi begitukah kenyataannya ? 'Manusia-manusia ekonomi' - karena tingkah laku mereka - digambarkan bagai "mahluk penghisap darah" yang rakus dan akan selalu bertahan hidup dari kematian orang lain. Ekonomi tidak befungsi lagi untuk saling menghidupi, tetapi justru menjadi arena untuk saling membantai. Ada begitu banyak pakar ekonomi di negeri kita, tak terhitung jumlahnya, tapi toh 'awan hitam' itu masih ada di atas sana. Korupsi masih merajalela, baik dalam bentuk yang kasar mapun yang sehalus sutera. Orang-orang sekaliber Kwik Kian Gie, Prof. Soemitro (alm), Rizal Ramli ataupun sekelas Sri Mulyani, Eka Pangestu, Boediono "tidak mampu" berbuat banyak andaikata para pelaku ekonomi, para konglomerat, para penguasa negeri tetap pada pola lama mereka. Memakan apa yang bisa dimakan. Korupsi apa saja yang bisa dikorupsi selagi hayat masih di kandung badan ! Teori-teori yang ada dan yang diciptakan berusaha menjembatani kesenjangan dan kepincangan yang ada, akan tetapi para pelaku adalah kuncinya.

usaha-usaha kecil semacam ini perlu mendapat perhatian pemerintah




William Adam Browns, seorang pengamat sosial mengatakan bahwa manusia modern " senang melempar kesalahan pada orang lain " : Kaum imperalis yang jahat, pengusaha konglomerat multinasional yang tamak, lapisan birokrasi yang korup. Bukankah ini yang paling sering kita lihat di negeri kita ? Tapi ' sang pelaku ' selalu menuduh dan melempar batu kepada ' si kecil ', yang minoritas, si miskinlah penyebab Indonesia makin melarat. Aneh bin ajaib memang tingkah para 'tikus-tikus' negara tersebut.

Untuk merubah paradigma, untuk merubah kesalahan-kesalahan masa lalu bangsa kita butuh kesadaran, dignity, iman. Itu menuntut perubahan. Bukan cuma pengetahuan. It's not discussion, it's decision. Ia eksistensial. Tidak cuma intelektual atau emosional.

* Michael, Amerika Serikat, Akhir Januari 2008


Niagara Falls, Mahakarya Sang Ilahi.

Pagi itu udara begitu dingin. Tangan terasa beku, walau kami sudah mengenakan gloves yang tebal. Alat pengukur cuaca menunjukkan angka 10 derajat Farenheit di bawah nol.
" Brrrrrrrrr...dinginnya minta ampun " Ujar saudaraku yang baru datang dari Indonesia. "Iyalah, inikan musim dingin disini" sambutku.

Tanggal 2 Januari 2008, saya berkesempatan untuk menginjakkan kaki kembali di Niagara Falls, air terjun paling besar di dunia. Keluarga saya yang berkunjung selama 3 minggu dari Jakarta berkeinginan keras untuk dapat melihat salah satu buah karya maha agung dari sang khalik, Sang Pencipta Alam semesta itu. Udara yang minus tidak menjadi penghalang.

" Mike, berapa lama perjalanan ke sana " tanya tante Vera. " Biasanya sih 10 jam, kalau ngebut bisa 9 jam ".
Jadilah kita berlima, bersama saudara saya yang lain berangkat menuju Niagara Falls, jam 2 subuh mengingat perjalanan cukup panjang dan kami tidak berniat untuk menginap. Saya dan paman serta tante saya gantian nyetir mobil.
Dengan memakai navigator (Semacam kompas penunjuk jalan berbasis satelite mode) kami mengambil jalan Interstate 287, kemudian I-80. Dari tempat kami berangkat, kota saya Edison semua baju dingin sudah disiapkan. Tapi alamak, jaket saya ketinggalan !

Niagara Falls, di Upstate NY sudah dua kali saya kunjungi dan saya tidak pernah bosan mengagumi Mahakarya yang sangat indah, luarbiasa dari Sang Pencipta. Kali pertama saya mengunjungi di musim panas 2 tahun lalu.
Niagara Falls (les Chutes du Niagara) merupakan air terjun yang di claim oleh dua negara yaitu Canada (di propinsi Ontario) dan Amerika Serikat (New York).

Latar belakang kota Ontario Canada

Setelah menyelesaikan perjalan yang, kami melepas lelah sebentar di 'Niagara Center'. Foto-foto sepuas hati, kebetulan yang datang kesitu cuman segelintir orang, maklumlah musim dingin dengan udara di bawah nol dinginnya -hanya orang orang nekad- yang mau kesitu. He..he..he...saya dan rombongan termasuk diantara orang-orang nekad tersebut. Ingat cerita bahwa Jaket saya ketinggalan ? Saya akhirnya mesti merogoh kantong untuk membeli Jaket di toko terdekat seharga $30,-
Sampai menjelang malam kami berada di seputaran Niagara. Makan di rumah-makan pun menjadi keharusan bagi kami yang lapar dan kedinginan. Kopi panas menjadi menu utama pesanan saya (sayangnya ndak ada pisang goreng).

Niagara diwaktu malam


" Ayo, so gelap so boleh pulang torang " Demikian ajakan paman saya dengan logat Manadonya yang sangat kental. Kamipun bersiap-siap untuk pulang.

Dalam perjalanan dari pinggiran Niagara Falls-nya ke parkiran lumayan jauh, sekitar 15 menit. Itu kalau kita mampir ke beberapa toko kecil yang ada disitu. Nah, saya kebetulan singgah di salah satu toko cinderamata untuk membeli gantungan kunci. Maklum, saya sudah mengoleksi ratusan gantungan kunci dari berbagai negara dan kota-kota di seluruh dunia. Itu salah satu hobby saya. Di dalam toko yang tidak terlalu besar itu saya ketemu seseorang yang mungkin tidak akan saya lupakan. Dia adalah seorang warga negara Amerika peranakan Ukraina. Dia orangnya ramah, menyapa saya dengan sebutan "sir" he..he..he... "Panggil saya, Mike" ralat saya. Terus kita ngobrol ini dan itu, panjang lebar sampai akhirnya dia tanya saya asal mana.
" Saya dari Indonesia, tepatnya Sulawesi Utara" dengan bangga saya sebut nama tempat asal saya. " Oooh I Know that place " katanya. Ternyata dia itu pernah menjadi seorang peneliti di Bandung dan Jakarta. Dia adalah seorang professor sosiologi. Dia bilang bahwa secara kasat mata dia kagum dengan orang-orang Indonesia. " Saya kagum dengan "budaya keluarga" di negerimu " ia bertutur tentang bedanya antara "budaya keluarga" disini (demikian ia mengistilahkannya) dengan di Indonesia. Di Indonesia, hormat terhadap orang tua masih benar-benar terjaga, katanya. Disamping itu orang yang sudah berkeluargapun masih bisa tinggal dengan orang tuanya, itu membanggakan (ia menyatakan itu sebagai wujud saling baku-sayang) walau saya sendiri ragu kebenaran pernyataan itu, he..he..he. Di sini katanya, 18 tahun sudah keluar sendiri. Bebas, yang kadangkala tak bersyarat sama sekali. Oleh karenanya lanjut beliau, kenakalan remaja disini sangat banyak.
Perkenalan kamipun berlanjut dengan tukar nomor telpon, terimakasih Prof. Thompson atas bincang-bincangnya.

Waktu perjalanan pulang yang kami tempuh, lebih lama dari perginya. Selain yang nyetir udah pada ngantuk. Badan juga sudah terlampau capek, jadi kita singgah di rest area 4 kali.
Tiba di rumah waktu telah menunjukkan pukul 2 subuh. Jadi kita keluar jam 2 subuh, kembali tiba jam 2 subuh. Ini itu orang Manado istilahkan " subuh kalu subuh ".




Niagara...oh Niagara...perjalan panjang yang melelahkan, tapi menyenangkan. Disitu saya kembali bisa melihat betapa besarnya Dia dengan salah satu Mahakarya-Nya. Menjadikan saya semakin merendah di hadapanNya, bahwa saya hanyalah 'orang kecil' yang tidak akan berarti apa-apa tanpa Dia, Sang Pemberi Arti itu !