Rabu, 13 Juni 2012

Shalat tarawih Nabi


 Shalat tarawih Nabi

Shalat tarawih adalah bagian dari shalat nafilah (tathawwu’). Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan Ramadhan, dan sunnah muakkadah. Disebut tarawih, karena setiap selesai dari empat rakaat, para jama’ah duduk untuk istirahat.
Tarawih adalah bentuk jama’ dari tarwihah. Menurut bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu, orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan.
Bahkan para salaf  bertumpu pada tongkat, karena terlalu lamanya berdiri. Dari situ,kemudian setiap empat raka’at, disebut tarwihah, dan kesemuanya disebut tarawih secara majaz.
Aisyah ditanya: “Bagaimana shalat Rasul pada bulan Ramadhan?” Dia menjawab, “Beliau tidak pemah menambah -di Ramadhan atau di luarnya- lebih dari 11 raka’at. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan ditanya tentang bagusnya dan lamanya. Kemudian beliau shalat 3 raka’at.” (HR Bukhari).
Kata “kemudian”, adalah kata penghubung yang memberikan makna berurutan, dan adanya jeda waktu.
Rasulullah shalat empat raka’at dengan dua kali salam, kemudian beristirahat. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah, “Adalah Rasulullah melakukan shalat pada waktu setelah selesainya shalat Isya’, hingga waktu fajar, sebanyak 11 raka’at, mengucapkan salam pada setiap dua raka’at, dan melakukan witir dengan saturaka’at.” (HR Muslim).
Juga berdasarkan keterangan Ibn Umar, bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah,bagaimana shalat malam itu?” Beliau menjawab, “Yaitu dua raka’at-dua raka’at, maka apabila kamu khawatir (masuk waktu) shubuh, berwitirlah dengan satu raka’at. (HR Bukhari).
Dalam hadits Ibn Umar yang lain disebutkan:  ”Shalat malam dan siang dua raka’at-dua raka’at”. (HR Ibn Abi Syaibah).(Ash Shalah, 309; At Tamhid, 5/251; Al Hawadits, 140-143; Fathul Bari, 4/250; Al Ijabat Al Bahiyyah,18; Al Muntaqa,4/49-51)
1 Fadhilah Shalat Tarawih
1.1 Hadits Abu Hurairah:
“Barang siapa melakukan qiyam (lail) pada bulan Ramadhan, karena iman dan mencari pahala, maka diampuni untuknya apa yang telah lalu dari dosanya.”
Maksud qiyam Ramadhan, secara khusus, menurut Imam Nawawi adalah shalat tarawih. Hadits ini memberitahukan, bahwa shalat tarawih itu bisa mendatangkan maghfirah dan bisa menggugurkan semua dosa; tetapi dengan syarat karena bermotifkan iman; membenarkan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala tersebut dari Allah. Bukan karena riya’ atau sekedar adat kebiasaan. (Fathul Bari 4/251; Tanbihul Ghafilin 357-458; Majalis Ramadhan, 58; AtTamhid, 3/320; AI Ijabat Al Bahiyyah,6)
Hadits ini dipahami oleh para salafush shaalih, termasuk oleh Abu Hurairah sebagai anjuran yang kuat dari Rasulullah untuk melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih, tahajud, dan lain-lain). (At Tamhid, 3/311-317: Sunan Abi Daud,166.)
1.2 Hadits Abdurrahman bin Auf
“Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan dimana Allah mewajibkan puasanya, dan sesungguhnya aku menyunnahkan qiyamnya untuk orang-orang Islam. Maka barang siapa berpuasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka ia (pasti) keluar dari dosa-dosanya sebagaimana pada hari ia  dilahirkan oleh ibunya.(HR : Ahmad, Ibnu Majah. Al Bazzar, Abu Ya’la dan Abdur Razzaqmeriwayatkannya dari Abu Hurairah.)
Al Albani berkata, “Yang shahih hanya kalimat yang kedua saja, yang awal dha’if.”(Lihat Sunan lbn Majah, 146,147; AlIjabat Al Bahiyyah, 8-10.)
1.3 Hadits Abu Dzar:
“Barang siapa qiyamul lail bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya (pahala) qiyam satu malam (penuh).”(HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah, Nasa’i, dan lain-lain, Hadits shahih. Lihat Al ljabat Al Bahiyyah, 7.)
Hadits ini sekaligus juga memberikan anjuran, agar melakukan shalat tarawih secara berjamaah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ada sebagian orang berpendapat,shalat Tarawih berjama’ah baru dikerjakan pada zaman khalifah Umar binKhaththab. Benarkah demikian? Mari kita tengok sejarah melalui hadits-hadits serta riwayat-riwayat shahih apa yang terjadi pada zaman Nabi dan bagaimana yang terjadi pada masa Khulafa’ur Rasyidin.
2. Shalat Tarawih Pada Zaman Nabi
Nabi telah melaksanakan dan memimpin shalat tarawih. Bahkan beliau menjelaskan fadhilahnya, dan menyetujui jama’ah tarawih yang dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab. Berikut ini adalah dalil-dalil yang menjelaskan, bahwa shalat tarawih secara berjama’ah disunnahkan oleh Nabi, dan dilakukan secara khusyu’ dengan bacaan yang panjang.
2.1 Hadits Nu’man bin Basyir,
ia berkata: “Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) bersama Rasulullah pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan (berakhir) sampai separoh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR. Nasa’i, Ahmad, Al Hakim. (hadits ini) shahih)
2.2 Hadits Abu Dzar,
ia berkata: “Kami puasa, tetapi Nabi tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih), hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah mengimami kami shalat, sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam. Dan pada malam ke lima,beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separoh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau bersada,  ’Barang siapa shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai. maka ditulis untuknya shalat satu malam (suntuk).’ Kemudian beliau tidak memimpin shalat lagi, hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapat falah.
Saya (perawi) bertanya, apa itu falah? Dia (Abu Dzar) berkata, “Sahur.”(HR Nasai, Tirmidzi, Ibn Majah, AbuDaud, Ahmad. (hadits ini) shahih).
2.3 Tsa’labah bin Abi Malik Al Qurazhi berkata:
“Pada suatu malam, di malam Ramadhan, Rasulullah keluar rumah, kemudian beliau melihat sekumpulan orang disebuah pojok masjid sedang melaksanakan shalat. Beliau lalu bertanya, ‘Apa yang sedang mereka lakukan?’ Seseorang menjawab, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak membaca Al Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ab ahli membaca Al Qur’an, maka mereka shalat (ma’mum) dengan shalatnya Ubay.’ Beliau lalu bersabda, ‘Mereka telah berbuat baik dan telah berbuat benar.’ Beliau tidak membencinya.”(HR Abu Daud dan Al Baihaqi, ia berkata: Mursal hasan. Syaikh Al Albani berkata, “Telah diriwayatkan secara mursal dari jalan lain dari Abu Hurairah,dengan sanad yang tidak bermasalah (bisa diterima).”(Shalat At Tarawih, 9))
3. Shalat Tarawih Pada Zaman Khulafa’ur Rasyidin
Para sahabat Rasulullah, shalat tarawih di masjid Nabawi pada malam-malam Ramadhan secara awza’an (berpencar-pencar).  Orang yang bisa membaca Al Qur’an ada yang mengimami 5 orang, ada yang 6 orang, ada yang lebih sedikit dari itu, dan ada yang lebih banyak.
Az Zuhri berkata, “Ketika Rasulullah wafat, orang-orang shalat tarawih dengan cara seperti itu. Kemudian pada masa Abu Bakar, caranya tetap seperti itu; begitu pula awal khalifah Umar.”
Abdurrahman bin Abdul Qari’berkata, “Saya keluar ke masjid bersama Umar pada bulan Ramadhan. Ketika itu orang-orang berpencaran; ada yang shalat sendirian, dan ada yang shalat dengan jama’ah yang kecil (kurang dari sepuluh orang). Umar berkata,  ’Demi Allah, saya melihat (berpandangan),seandainya mereka saya satukan di belakang satu imam, tentu lebih utama,’  Kemudian beliau bertekad dan mengumpulkan mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar lagi bersama beliau pada malam lain. Ketika itu orang-orang sedang shalat di belakang imam mereka. Maka Umar berkata,’Ini adalah sebaik-baik hal baru.’ Dan shalat akhir malam nanti lebih utama dari shalat yang mereka kerjakan sekarang.”
Peristiwa ini terjadi pada tahun 14H.
Umar mengundang para qari’ pada bulan Ramadhan, lalu memberi perintah kepada mereka agar yang paling cepat bacaanya membaca 30 ayat (3 halaman), dan yang sedang agar membaca 25 ayat,adapun yang pelan membaca 20 ayat (+ 2 halaman).
Al A’raj (seorang tabi’in Madinah,wafat 117 H) berkata,
“Kami tidak mendapati orang-orang, melainkan mereka sudah melaknat orang kafir (dalam do’a) pada bulan Ramadhan.”
la berkata, “Sang qari’ (imam) membaca ayat Al Baqarah dalam 8 raka’at. Jika ia telah memimpin 12 raka’at, (maka) barulah orang-orang merasa kalau imam meringankan.”
Abdullah bin Abi Bakr berkata,
“Saya mendengar bapak saya berkata,’Kami sedang pulang dari shalat (tarawih) pada malam Ramadhan. Kami menyuruh pelayan agar cepat-cepat menyiapkan makanan, karena takut tidak mendapat sahur’. “
Saib bin Yazid (Wafat 91 H)berkata,
“Umar memerintah Ubay binKa’ab dan Tamim Ad Dari agar memimpin shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 11 raka’at. Maka sang qari’ membaca dengan ratusan ayat, hingga kita bersandar pada tongkat karena sangat lamanya berdiri. Maka kami tidak pulang dari tarawih, melainkan sudah di ujung fajar.”)(Fathul Bari, 4/250-254; Shalat At Tarawih, 11; Al ljabat Al Bahiyyah,15-18; Al Majmu’, 4/34)
Selanjutnya, pada bagian ini akan dibahas mengenai jumlah raka’at shalat tarawih dan witir. Simak perselisihan para ulama’ yang bervariasi sampai kurang lebih 12 pendapat dan juga pemaparan hadits-hadits Rasulullah yang berkaitan dengan ini serta Apa saja?
4. Bilangan Raka’at Shalat Tarawih Dan Shalat Witir
Mengenai masalah ini, diantara para ulama salaf  terdapat perselisihan yang cukup banyak (variasinya) hingga mencapai belasan pendapat, sebagaimana di bawah ini.
- Sebelas raka’at (8 + 3 Witir),riwayat Malik dan Said bin Manshur.
- Tiga belas raka’at (2 raka’atringan + 8 + 3 Witir), riwayat Ibnu Nashr dan Ibnu Ishaq, atau (8 + 3 + 2),atau (8 + 5) menurut riwayat Muslim.
- Sembilan belas raka’at (16 + 3).
- Dua puluh satu raka’at (20 + 1),riwayat Abdurrazzaq.
- Dua puluh tiga raka’at (20 + 3),riwayat Malik, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Demikian ini adalah madzhab Abu Hanifah,Syafi’i, Ats Tsauri, Ahmad, Abu Daud dan Ibnul Mubarak.
- Dua puluh sembilan raka’at (28 +1).
- Tiga puluh sembilan raka’at (36 +3), Madzhab Maliki, atau (38 + 1).
- Empat puluh satu raka’at (38 +3), riwayat Ibn Nashr dari persaksian Shalih Mawla Al Tau’amah tentang shalatnya penduduk Madinah, atau (36 + 5) seperti dalam Al Mughni 2/167.
- Empatpuluh sembilan raka’at (40 +9); 40 tanpa witir adalah riwayat dari Al Aswad Ibn Yazid.
- Tiga puluh empat raka’at tanpa witir (di Basrah, Iraq).
- Dua puluh empat raka’at tanpa witir (dart Said Ibn Jubair).
- Enam belas raka’at tanpa witir.
5. Berapa Raka’at Tarawih Rasulullah?
Rasulullah telah melakukan dan memimpin shalat tarawih, terdiri dari sebelas raka’at (8 +3). Dalilnya sebagai berikut.
Hadits Aisyah:  ia ditanya oleh Abu Salamah Abdur Rahman tentang qiyamul lailnya Rasul pada bulan Ramadhan, ia menjawab:  ”Sesungguhnya beliau tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas raka’at. (HR Bukhari, Muslim).
Ibn Hajar berkata, “Jelas sekali, bahwa hadits ini menunjukkan shalatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”
Hadits Jabir bin Abdillah ia berkata:  ”Rasulullah shalat dengan kami pada bulan Ramadhan 8 raka’at dan witir. Ketika malam berikutnya, kami berkumpul di masjid dengan harapan beliau shalat dengan kami. Maka kami terus berada di masjid hingga pagi, kemudian kami masuk bertanya, “Ya Rasulullah, tadi malam kami berkumpul di masjid, berharap anda shalat bersama kami,” maka beliau bersabda, “Sesungguhnya aku khawatir diwajibkan atas kalian. “(HR Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah, dihasankan oleh Al Albani. ShalatAt Tarawih, 18; Fath Al Aziz 4/265)
Pengakuan Nabi tentang 8 raka’atdan 3 witir.
Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah, lalu berkata,”Ya Rasulullah, ada sesuatu yang saya kerjakan tadi malam (Ramadhan). Beliau bertanya,”Apa itu, wahai Ubay?” Ia menjawab,”Para wanita di rumahku berkata,’Sesungguhnya kami ini tidak membaca Al Qur’an. Bagaimana kalau kami shalat dengan shalatmu?’ Ia berkata,”Maka saya shalat dengan mereka 8 raka’at dan witir. Maka hal itu menjadi sunnah yang diridhai. Beliau tidak mengatakan apa-apa.”(HR Abu Ya’la, Thabrani dan Ibn Nashr, dihasankan oleh Al Haitsami dan Al Albani. Lihat Shalat At-Tarawih, 68)
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shalat tarawih dengan 20 raka’at, maka haditsnya tidak ada yang shahih.(Fathul Bari, 4/254; Al Hawi. 1/413; Al Fatawa Al Haditsiyah, 1.195: ShalatAt Tarawih, 19-21)
Setelah mengetahui shalat tarawih dan witir Rasulullah, lantas bagaimana shalat tarawih dan witir para sahabat dan tabi’in pada masa umar? Mengapa ada perbedaan di antara kedua masa itu?Jika demikian, jalan apa yang ditempuh para ulama’ dalam hal ini? Simak selanjutnya pada bagian ini.
6. Berapa Rakaat Tarawih Sahabat dan Tabi’in Pada Masa Umar
Ada beberapa riwayat shahih tentang bilangan raka’at shalat tarawih para sahabat pada zaman Umar . Yaitu: 11 raka’at, 13 raka’at,  21 raka’at, dan 23 raka’at. Kemudian 39 raka’at juga shahih, pada masa Khulafaur Rasyidin setelah Umar; tetapi hal ini khusus di Madinah.
Berikut keterangan pada masa Umar
a. Sebelas raka’at.
Umar memerintahkan kepada Ubay danTamim Ad Dari untuk shalat 11 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, sampai makmum bersandar pada tongkat karena kelamaan dan selesai hampir Subuh. Demikian ini riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib Ibn Yazid.  Imam Suyuthi dan Imam Subkhi menilai, bahwa hadits ini sangat shahih.  Syaikh Al Albani juga menilai, bahwa hadits ini shahih sekali.
b. Tiga belas raka’at.
Semua perawi dari Muhammd Ibn Yusuf mengatakan 11 raka’at, kecuali Muhammad Ibn Ishaq. Ia berkata 13 raka’at (HR Ibn Nashr), akan tetapi hadits ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang mengatakan 11 raka’at.  Hal ini bisa dipahami, bahwa termasuk dalam bilangan itu ialah 2 raka’at shalat Fajar, atau 2 raka’at pemula yang ringan, atau 8 raka’at ditambah 5 raka’at Witir.
c. Dua puluh raka’at (ditambah 1atau 3 raka’at Witir).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Muhammad Ibn Yusuf dengan lafadz “21 raka’at” (sanad shahih).
Al Baihaqi dalam As Sunan dan Al Firyabi dalam Ash Shiyam meriwayatkan dari jalur Yazid Ibn Khushaifah dari SaibIbn Yazid, bahwa – mereka- pada zaman Umar di bulan Ramadhan shalat tarawih 20 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, dan bertumpu ‘pada tongkat pada zaman Utsman, karena terlalu lama berdiri. Riwayat ini dishahihkan oleh Imam AlNawawi, Al Zaila’i, Al Aini, Ibn Al Iraqi, Al Subkhi, As Suyuthi, Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, dan lain-lain.
Sementara itu Syaikh Al Albani menganggap, bahwa dua riwayat ini bertentangan dengan riwayat sebelumnya, tidak bisa dijama’ (digabungkan). Maka beliau memakai metode tarjih (memilih riwayatyang shahih dan meninggalkan yang lain). Beliau menyatakan, bahwa Muhammad Ibn Yusuf perawi yang tsiqah tsabit (sangat terpercaya), telah meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid 11 raka’at. Sedangkan Ibn Khushaifah yang hanya pada peringkat tsiqah (terpercaya) meriwayatkan 21 raka’at. Sehingga hadits Ibn Khushaifah ini -menurut beliau-adalah syadz (asing, menyalahi hadits yang lebih shahih).(Al Majmu’, 4/32; Shalat At Tarawih, 46; Al Ijabat Al Bahiyyah. 16-18)
Perlu diketahui, selain Ibn Khushaifah tadi, ada perawi lain, yaitu Al Harits Ibn Abdurrahman Ibn Abi Dzubab yang meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid, bahwa shalat tarawih pada masa Umar 23raka’at. (HR Abdurrazzaq). (Lihat At Tamhid 3/518-519)
Selanjutnya 23 raka’at diriwayatkan juga dari Yazid Ibn Ruman secara mursal, karena ia tidak menjumpai zaman Umar. Yazid Ibn Ruman adalah mawla (mantan budak) sahabat Zubair Ibn Al Awam (36 H), ia salah seorang qurra’ Madinah yang tsiqat tsabit (meninggal pada tahun 120 atau130 H). Ia memberi pernyataan, bahwa masyarakat (Madinah) pada zaman Umar telah melakukan qiyam Ramadhan dengan bilangan 23 raka’at. (HR Malik, Al Firyabi, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Lihat Shalat At Tarawih,53; Al Ijabat Al Bahiyyah, 16; At Tamhid, 9/332, 519; Al Hawadits, 141)

7. Bagaimana Jalan Keluarnya?
Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat di atas dengan metode al jam’u, bukan metode at tarjih, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Al Albani. Dasar pertimbangan jumhur adalah:
a. Riwayat 20 (21, 23) raka’at adalah shahih.
b. Riwayat 8 (11, 13) raka’at adalah shahih.
c. Fakta sejarah menurut penuturan beberapa tabi’in dan ulama salaf.
d. Menggabungkan riwayat-riwayat tersebut adalah mungkin, maka tidak perlu pakai tarjih, yang konsekuensinya adalah menggugurkan salah satu riwayat yang shahih.
8 Beberapa Kesaksian Pelaku Sejarah
- Imam Atho’ Ibn Abi Rabah mawla Quraisy,
(mawla Quraisy = budak yang  dimerdekakan oleh Quraisy) lahir pada masa Khilafah Utsman (antara tahun 24 Hsampai 35 H), yang mengambil ilmu dari Ibn Abbas, (wafat 67 / 68 H), Aisyah dan yang menjadi mufti Mekkah setelah Ibn Abbas hingga tahun wafatnya 114 H) memberikan kesaksian:
“Saya telah mendapati orang-orang (masyarakat Mekkah) pada malam Ramadhan shalat 20 raka’at dan 3raka’at witir.” (Fathul Bari, 4/235)
- Imam Nafi’ Al Qurasyi,(mawla (mantan budak) Ibn Umar (wafat 73 H), mufti Madinah yang mengambil ilmu dari Ibn Umar, Abu Said, Rail’ Ibn Khadij, Aisyah, Abu Hurairah dan Ummu Salamah, yang dikirim oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ke Mesir sebagai da’i dan meninggal di Madinah pada tahun 117 H) telah memberikan kesaksian sebagai berikut:
“Saya mendapati orang-orang (masyarakat Madinah); mereka shalat pada bulan Ramadhan 36 raka’at dan witir 3 raka’at.” (Al Hawadits, 141; Al Hawi, 1/415)
- Daud Ibn Qais
bersaksi, “Saya mendapati orang-orang di Madinah pada masa pemerintahan Aban Ibn Utsman Ibn Affan Al Umawi (Amir Madinah, wafat 105 H) dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (Al Imam Al Mujtahid,wafat 101 H) melakukan qiyamulail (Ramadhan) sebanyak 36 raka’at ditambah 3 witir.” (Fathul Bari, 4/253)
- Imam Malik Ibn Anas (wafat 179 H)
yang menjadi murid Nafi’ berkomentar, “Apa yang diceritakan oleh Nafi’, itulah yang tetap dilakukan oleh penduduk Madinah. Yaitu apa yang dulu ada pada zaman Utsman Ibn Affan.” (Al Hawadits, 141)
- Imam Syafi’i, (murid Imam Malik yang hidup antara tahun 150 hingga 204 H)mengatakan,  ”Saya menjumpai orang-orang di Mekkah. Mereka shalat (tarawih, red.) 23 raka’at. Dan saya melihat penduduk Madinah, mereka shalat 39 raka’at, dan tidak ada masalah sedikitpun tentang hal itu.”(Sunan Thmidzi, 151; Fath Al Aziz, 4/266; Fathul Bari, 4/23)

9. Beberapa Pemahaman Ulama Dalam Menggabungkan Riwayat-Riwayat Shahih Di Atas
- Imam Syafi’i,
setelah meriwayatkan shalat di Mekkah 23 raka’at dan di Madinah 39 raka’at berkomentar, “Seandainya mereka memanjangkan bacaan dan menyedikitkan bilangan sujudnya, maka itu bagus. Dan seandainya mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga bagus; tetapi yang pertama lebih aku sukai.”  (Fathul Bari, 4/253)
- Ibn Hibban (wafat 354 H)
berkata, “Sesungguhnya tarawih itu pada mulanya adalah 11 raka’at dengan bacaan yang sangat panjang hingga memberatkan mereka. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menambah bilangan raka’at, menjadi 23 raka’at dengan bacaan sedang. Setelah itu mereka meringankan bacaan dan menjadikan tarawih dalam 36 raka’at tanpa witr.”  (Fiqhus Sunnah, 1/174)
- Al Kamal Ibnul Humam
mengatakan,”Dalil-dalil yang ada menunjukkan, bahwa dari 20 raka’at itu, yang sunnah adalah seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi, sedangkan sisanya adalah mustahab.” (Ibid, 1/175)
- Al Subkhi
berkata, “Tarawih adalah termasuk nawafil. Terserah kepada masing-masing, ingin shalat sedikit atau banyak. Bolehjadi mereka terkadang memilih bacaan panjang dengan bilangan sedikit, yaitu 11raka’at. Dan terkadang mereka memilih bilangan raka’at banyak, yaitu 20 raka’atdaripada bacaan panjang, lalu amalan ini yang terus berjalan.” (Al Hawi,1/417)
- Ibn Taimiyah
berkata, “Ia boleh shalat tarawih 20 raka’at sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 raka’at sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik. Boleh shalat 11 raka’at, 13 raka’at. Semuanya baik. Jadi banyaknya raka’at atau’ sedikitnya tergantung lamanya bacaan dan pendeknya.”
Beliau juga berkata,”Yang paling utama itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang shalat. Jika mereka kuat 10 raka’at ditambah witir 3raka’at sebagaimana yang diperbuat oleh Rasul di Ramadhan dan di luar Ramadhan-maka ini yang lebih utama. Kalau mereka kuat 20 raka’at, maka itu afdhal dan inilah yang dikerjakan oleh kebanyakan kaum muslimin, karena ia adalah pertengahan antara 10 dan 40. Dan jika ia shalat dengan 40 raka’at, maka boleh, atau yang lainnya juga boleh. Tidak dimaksudkan sedikitpun dari hal itu, maka barangsiapa menyangka, bahwa qiyam Ramadhan itu terdiri dari bilangan tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, maka ia telah salah.”(Majmu’ Al Fatawa, 23/113; Al Ijabat Al Bahiyyah, 22; Faidh Al Rahim Al Kalman,132; Durus Ramadhan,48)
- Al Tharthusi (451-520 H)
berkata, Para sahabat kami (Malikiyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata,”Mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 raka’at dengan bacaan yang amat panjang. Pada raka’at pertama, imam membaca sekitar dua ratus ayat, karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak lagi kuat menanggung hal itu, maka Umar memerintahkan 23  raka’at demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan raka’at. Maka mereka membaca surat Al Baqarah dalam 8 raka’atatau 12 raka’at sesuai dengan hadits al a’raj tadi.” Telah dikatakan, bahwa pada waktu itu imam membaca antara 20 ayat hingga 30 ayat. Hal ini berlangsung terus hingga yaumul Harrah (penyerangan terhadap Madinah oleh YazidIbn Mu’awiyyah) tahun 60 H maka terasa berat bagi mereka lamanya bacaan. Akhirnya mereka mengurangi bacaan dan menambah bilangannya menjadi 36 raka’at ditambah 3 witir. Dan inilah yang berlaku kemudian.
Bahkan diriwayatkan, bahwa yang pertama kali memerintahkan mereka shalat 36 raka’at ditambah dengan 3 witir ialah Khalifah Muawiyah Ibn Abi Sufyan (wafat 60 H). Kemudian hal tersebut dilakukan terus oleh khalifah sesudahnya. Lebih dari itu, Imam Malik menyatakan, shalat 39 raka’at itu telah ada semenjak zaman Khalifah Utsman. Kemudian Khalifah UmarIbn Abdul Aziz (wafat 101 H) memerintahkan agar imam membaca 10 ayat pada tiap raka’at.Inilah yang dilakukan oleh para imam, dan disepakati oleh jama’ah kaum muslimin, maka ini yang paling utama dari segi takhfif (meringankan). (Lihat Al Hawadits, 143-145)
Pada bagian terakhir, akan dilanjutkan pemahaman beberapa ulama’ terhadap riwayat-riwayat tentang shalat tarawih Nabi, Khulafaur Rasyidin, dan zaman setelahnya. Lalu, disimpulkan bagaimana shalat tarawih dan witir itu, mana yang lebih afdhal dan mengapa terjadi perbedaan jumlah rakaat yang bermacam-macam. Ingin tahu kesimpulannya?
a. Ada juga yang mengatakan, bahwa Umar memerintahkan kepada dua sahabat, yaitu “Ubay bin Ka’ab  dan Tamim Ad Dari, agar shalat memimpin tarawih sebanyak 11 raka’at, tetapi kedua sahabat tersebut akhirnya memilih untuk shalat 21 atau 23 raka’at. (Durus Ramadhan, 47)
b. Al Hafidz Ibn Hajar berkata,
“Hal tersebut dipahami sebagai variasi sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan manusia. Kadang-kadang 11raka’at, atau 21, atau 23 raka’at, tergantung kesiapan dan kesanggupan mereka.Kalau 11 raka’at, mereka memanjangkan bacaan hingga bertumpu pada tongkat. Jika 23 raka’at, mereka meringankan bacaan supaya tidak memberatkan  jama’ah.  (Fathul Bari, 4/253)
c. Imam Abdul Aziz Ibn Bazz mengatakan:
“Diantara perkara yang terkadang samar bagi sebagian orang adalah shalat tarawih. Sebagian mereka mengira, bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 raka’at. Sebagian lain mengira, bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 raka’at atau 13 raka’at. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, bahkan salah; bertentangan dengan dalil.
Hadits-hadits shahih dari Rasulullah telah menunjukkan, bahwa shalat malam itu adalah muwassa’ (lelunsa,lentur, fleksibei). Tidak ada batasan tertentu yang kaku. yang tidak boleh dilanggar. Bahkan telah shahih dari Nabi, bahwa beliau shalat malam 11 raka’at, terkadang 13 raka’at, terkadang lebihsedikit dari itu di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Ketika ditanya tentang sifat shalat malam,beliau menjelaskan:  ”dua rakaat-dua raka’at, apabila salah seorang kamu khawatir subuh, maka shalatlah satu raka’at witir, menutup shalat yang ia kerjakan.” (HR Bukhari Muslim).
Beliau tidak membatasi dengan raka’at-raka’at tertentu, tidak di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Karena itu, para sahabat pada masa Umar di sebagian waktu shalat 23 raka’at dan pada waktu yang lain 11 raka’at. Semua itu shahih dari Umar dan para sahabat pada zamannya. Dan sebagian salaf shalat tarawih 36 raka’at ditambah witir 3raka’at. Sebagian lagi shalat 41 raka’at. Semua itu dikisahkan dari mereka oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan ulama lainnya. Sebagaimana beliau juga menyebutkan, bahwa masalah ini adalah luas (tidak sempit).
Beliau juga menyebutkan, bahwa yang afdhal bagi orang yang memanjangkan bacaan, ruku’. sujud, ialah menyedikitkan bilangan raka’at(nya). Dan bagi yang meringankan bacaan, ruku’ dan sujud (yang afdhal) ialah menambah raka’at(nya). Ini adalah makna ucapan beliau. Barangsiapa merenungkan sunnah Nabi, ia pasti mengetahui, bahwa yang paling afdhal dari semuanya itu ialah 11 raka’at atau 13 raka’at. Di Ramadhan atau di luar Ramadhan. Karena hal itu yang sesuai dengan perbuatan Nabi dalam kebiasaannya. Juga karena lebih ringan bagi jama’ah. Lebih dekat kepada khusyu’ dan tuma’ninah. Namun, barangsiapa menambah (raka’at), maka tidak mengapa dan tidak makruh,seperti yang telah talu.”(Al Ijabat Al Bahiyyah, 17-18. Lihat juga Fatawa Lajnah Daimah, 7/194-198)

10.  Kesimpulan
Maka berdasarkan paparan di atas, saya bisa mengambil kesimpulan, antara lain:
a. Shalat tarawih merupakan bagian dari qiyam Ramadhan, yang dilakukan setelah shalat Isya’ hingga sebelum fajar,dengan dua raka’at salam dua raka’at salam.  Shalat tarawih memiliki keutamaan yang sangatbesar. Oleh karena itu, Nabi menganjurkannya -dan para sahabat punmenjadikannya- sebagai syiar Ramadhan.
b. Shalat tarawih yang lebih utama sesuai dengan Sunnah Nabi, yaitu bilangannya 11 raka’at. Inilah yang lebih baik. Seperti ucapan Imam Malik, “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan, ialahshalat yang diperintahkan oleh Umar, yaitu 11 raka’at, yaitu (cara) shalat Nabi. Adapun 11 adalah dekat dengan 13.” (Al Hawadits, 141)
c. Perbedaan tersebut bersifat variasi, lebih dari 11 raka’at adalah boleh, dan 23 raka’at lebih banyak diikuti oleh jumhur ulama, karena ada asalnya dari para sahabat pada zaman Khulafaur Rasyidin, dan lebih ringan berdirinya dibanding dengan 11 raka’at.
d. Yang lebih penting lagi adalah prakteknya harus khusyu’, tuma’ninah. Kalau bisa lamanya sama dengan tarawihnya ulama salaf, sebagai pengamalan hadits “Sebaik-baik shalat adalah yang panjang bacaanya”.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Jika benar, maka itu dari Allah. Dan jika salah, maka itu murni dari al faqir. Ya Allah bimbinglah kami kepada kecintaan dan ridhaMu. Dan antarkanlah kami kepada Ramadhan dengan penuh aman dan iman, keselamatan dan Islam.
referensi’:
-Shahih Bukhari.
-Shahih Muslim, Maktabah Dahlan,Bandung.
-Sunan Abu Daud, Baitul Afkar Ad Dauliyah,Amman, Yordan.
-Sunan Tirmidzi, Baitul Afkar AdDauliyah, Amman, Yordan.
-Sunan Ibn Majah, Baitul Afkar AdDauliyah, Amman, Yordan.
-Sunan Nasa’i, Baitul Afkar AdDauliyah, Amman, Yordan.
-Al Majmu’, An Nawawi, Darul Fikr.
-Fath Al Aziz, Ar Rafi’i, Darul Fikr(dicetak bersama Al Majmu’).
-At Tamhid, lbn Abdil Barr, tahgiqMuhammad Abdul Qadir Atha, Maktabah Abbas Ahmad Al Bazz, Mekkah.
-Fathul Bari, Ibn Hajar, targimMuhammad Fuad Abdul Baqi.
-Asy Syarhul Kabir, Ibn Qudamah,tahgiq Dr. Abdullah At Turkiy, Hajar, Jizah.
-Al Hawadits Wal Bida’, Abu BakarAth Tharthusi, tahgiq Abdul Majid Turki, Darul Gharb Al Islami.
-Tanbihul Ghafilin, As Samarqandi,tahgiq Abdul Aziz Al Wakil, Darusy Syuruq, Jeddah
-Al Hawi Li AI Fatawa, As Suyuthi,Darul Fikr, Beirut.
-Shalat At Tarawih, Al Alban!, AlMaktab Al Islami, Beirut.
-Fatwa Lajnah Daimah, tartib AhmadAd Duwaisi, tartib Adil Al Furaidan.
-AI Muntaqa Min Fatawa Al Fawzan.
-Al Ijabat Al Bahiyyah, Al Jibrin,i’dad dan tahrij oleh Saad As Sa’dan,Darul Ashimah, Riyadh.
-Majalis Ramndhan, Ibn Utsaimin.
-Faidh Al Rahim, Ath Thayyar,Maktabah At Taubah, Riyadh.
-Ash Shalah, Ath Thayyar, DarulWathan, Riyadh.
-Durus Ramadhan, Salman Al Audah,Darul Wathan, Riyadh.
-Majmu’ Fatawa, Ibn Taimiyah.
-Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, DarulFikr, Beirut.
-Al Fatawa Al Haditsiyah, Ibn HajarAl-Haitsami.
Dikutip dari majalah As-Sunnah 07/VII/1424H oleh Abu Hamzah Al Sanuwi, Lc, MAg.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar