Rabu, 13 Juni 2012

Pajak


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Kontribusi pajak dalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun meningkat jumlahnya. Kenyataan ini membuktikan bahwa wujud partisipasi masyarakat wajib pajak nampak nyata dalam pembangunan.
Wujud partisipasi ini harus dibarengi pula dengan jaminan akan hak-hak wajib pajak sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Perpajakan. Hak dan kewajiban harus seimbang sehingga keadilan dapat diwujudkan dalam kenyataan. Hak negara untuk memungut pajak membawa kosekuensi bahwa negara berkewajiban meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Di sisi lain ternyata agama islam mengharamkan proses pemungutan pajak ini, karena dinilai merugikan warga dengan cara memeras harta mereka. Setiap ada penghasilan yang diperoleh, maka harus dipotong dengan pajak. Pajak dalam hukum islam hanya dipungut dari orang-orang kafir  dan bukan dipungut dari kaum muslimin. Kaum muslimin dalam menyikapinya tentunya dengan penuh pertimbangan. Indonesia adalah suatu negara yang dipimpin oleh seorang muslim, tetapi memberlakukan pajak untuk membiayai segala bentuk pengeluaran negara.

B.     Rumusan Masalah
  1. Apa definisi pajak secara umum ?
  2. Bagaimana pandangan hukum islam mengenai pajak?
  3. Bagaimana cara kaum muslim menyikapi pajak ?


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Sumber-sumber Penghasilan Negara
Pembiayaan pembangunan memerlukan biaya yang cukup banyak sebagai syarat mutlak agar pembangunan dapat berhasil. Biaya yang digunakan berupa uang yang didapat dari sumber-sumber penghasilan negara. Pada umumnya negara mempunyai sumber-sumber penghasilan yang terdiri dari :
1.      Bumi, Air dan Kekayaan Alam Milik Negara
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Menguasai adalah; mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur  hubungan hukum antara orang-orang (subyek hukum) dan pembuatan-pembuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan kekayaan alam lainnya.[1]
2.      Hasil Perusahaan Negara
Negara sebagai badan hukum Publik dapat juga ikut dalam lapangan perekonomian. Laba yang diperoleh perusahaan negara adalah pendapatan negarayang dimasukkan dalam anggaran pendapatan negara. Yang tergolong dalam perusahaan negara ialah semua perusahaan yang modalnya merupakan kekayaan negara Republik Indonesia.[2]
3.      Pajak dan Retribusi
·         Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
·         Retribusi adalah pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh warga yang menggunakan jasa-jasa negara. Pada retribusi,prestasi yang diberikan oleh negara terlihat secara langsung oleh para pembayar.[3] Bagi siapa saja yang ingin mendapat suatu prestasi tertentu dari pemerintah, maka harus membayar.
4.      Bea dan Cukai
Selain pajak, bea dan cukai juga termasuk sumber penghasilan negara yang vital. Bea dibagi menjadi dua macam: Bea Masuk dan Bea Keluar.[4]
·         Bea masuk ialah bea yang dipungut dari jumlah  harga barang yang dimasukkan ke daerah pabean menurut tarif tertentu. Penyelenggaraannya diatur dan ditetapkan dengan UU dan keptusan Menteri Keuangan.
·         Bea Keluar ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang-barang yang dikirim keluar daerah Indonesia. Dihitung dengan tarif tertentu dan ditetapkan oleh UU.
·         Cukai ialah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu berdasarkan tarif yang sudah ditetapkan untuk masing-masing barang. Cukai dikhususkan untuk barang-barang konsumsi, seperti: Tembakau, gula, bensin, dan minuman keras.
5.      Pinjaman
Negara bisa melakukan pinjaman atau kredit luar negeri dengan negara lain, jika negara ingin menutup defisit.
6.      Hak-hak Waris atas Harta Peninggalan Terlantar
Jika terhadap suatu warisan atau harta peninggalan lai, tidak ada orang yang datang yang menyatakan dirinya nberhak atas harta tersebut, atau jika semua ahli waris menolak warisan itu, maka harta itu dianggap terlantar. Jika lewat 3 tahun tidak ada ahli waris yang muncul, maka harta benda dan kekayaan segala urusan akan diselesaikan oleh BHP (Balai Harta Peninggalan), dan jika ada kelebihan maka menjadi milik negara.[5]
7.      Sumber-sumber Lain: Denda, Sitaan dan pencetakan uang


B.     Definisi Pajak
Berikut ini definisi pajak yank dikemukakan oleh para ahli :[6]
  • Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
  • Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
  • Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
  • Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
C.    Unsur-unsur Pajak
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:[7]
  • Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
  • Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
  • Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
  • Tidak ada jasa timbal balik yang dapat dirujuk, artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan prestasi dari negara tidak ada hubungan langsung.
  • Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).
D.    Jenis pajak
Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:
1.      Pajak Negara
·         Pajak penghasilan
·         Pajak Pertambahan Nilai
·         Pajak Penjualan Barang Mewah
·         Pajak Bumi dan Bangunan

2.      Pajak Daerah
·         Pajak Kendaraan bermotor
·         Pajak radio
·         Pajak reklame

E.     Fungsi Peranan pajak:
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1.      Fungsi anggaran (budgetair) :
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
  1. Fungsi mengatur (regulerend) :
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
  1. Fungsi stabilitas :
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

  1. Fungsi redistribusi pendapatan :
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

  1. Pajak dalam  Hukum Islam
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Al-Usyr atau Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” Suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj, akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus. Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau Al-Asysyar.[8]
Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam:
1.      Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.
2.      Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.
G.    Hukum Pajak dan Pemungutnya Menurut Hukum Islam
Di dalam negara yang menerapkan sistem perekonomian kapitalis, pajak merupakan pos pendapatan utama. Sistem ekonomi kapitalis mengajarkan kepada kita kezhaliman yang tiada duanya. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah berlomba-lomba menarik pajak dari rakyatnya. Rakyat seperti sapi perahan. Ada pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Cukai, Bea Masuk, Pajak ekspor, Pajak Kendaraan Bermotor, pajak reklame, retribusi, dan sebagainya.  Nyaris semua bidang usaha dan segala aktivitas dikenakan pajak, sampai-sampai orang yang mau pergi haji pun ongkos membayar hajinya dipajaki.
Selain itu, pajak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, harga barang meningkat karena di dalam mata rantai proses produksi setiap tahapannya dikenakan pajak. Pajak adalah kezhaliman yang dibungkus dengan peraturan sehingga negara merasa berhak untuk mengambil harta yang sebenarnya bukan menjadi miliknya. Tidak mengherankan jika banyak orang menghindari pajak.
Islam telah melarang seluruh bentuk pungutan-apapun nama dan alasannya-. Pungutan yang diambil oleh negara dari rakyatnya harus memiliki landasan atau legislasi syar’i. Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lainnya diantara kamu dengan jalan yang bathil”.  (TQS. al-Baqarah [2]: 188)
Pungutan yang tidak ada dasar hukum Islamnya disebut dengan ghulul (kecurangan). Tindakan ghulul diharamkan berdasarkan firman Allah Swt:
“Barangsiapa berbuat ghulul (curang terhadap harta) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa (harta) yang dicuranginya itu”. (TQS. Ali Imran [3]: 161)
Rasulullah saw memasukkan para pemungut pajak sebagai shahib al-maks, yaitu harta (pungutan/retribusi) yang diambil secara tidak syar’i. Pelakunya diganjar dengan siksaan yang pedih dan kehinaan. Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut maks (yakni harta pungutan/retirbusi yang tidak syar’i).”
Di dalam sistem perekonomian Islam, pungutan pajak seperti dalam sistem ekonomi kapitalis dan yang berlaku seperti saat ini tidak pernah ada. Islam tidak mengenal pajak, yang ada adalah Dlaribah.
Dlaribah adalah harta yang diwajibkan Allah Swt kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada saat kondisi di Baitul Mal tidak ada harta/uang.
Jadi, Dlaribah itu adalah pos pendapatan yang diperoleh dari kaum Muslim untuk pembiayaan-pembiayaan yang bertujuan untuk melayani kepentingan dan kemaslahatan masyarakat banyak, sementara di dalam Baitul Mal tidak ada harta. Artinya, pemasukan yang diperoleh dari harta-harta milik umum (kaum Muslim) yang dikelola oleh negara sudah habis, begitu juga yang menjadi pos-pos pendapatan negara (seperti ghanimah, fa’i, kharaj, jizyah, dan sebagainya) sedang tidak ada (karena habis digunakan atau mengalami defisit), sementara ada tuntutan untuk pembiayaan. Termasuk deposit harta zakat dan sejenisnya, juga kosong. Pada kondisi seperti inilah negara Khilafah bisa memungut Dlaribah. Artinya negara hanya memungut dharibah dalam kondisi darurat saja.
Hanya saja besarnya pungutan Dlaribah, tempo/waktu pungutan, dan penggunaannya diatur oleh syariat Islam. Dlaribah hanya boleh dilakukan pada saat kas negara (Baitul Mal) kosong, dan di saat yang sama terdapat kebutuhan untuk pembiayaan. Dlaribah hanya ditujukan bagi orang-orang (rakyat) yang mampu; tidak diwajibkan atas rakyat yang tidak mampu. Dlaribah bisa dilakukan berkali-kali dalam satu tahun, selama terdapat kebutuhan pembiayaan.
Dlaribah bisa juga tidak pernah diterapkan selama puluhan atau bahkan ratusan tahun, karena negara Khilafah memiliki anggaran dari pos-pos pendapatan negara secara berlimpah. Dlaribah ditetapkan hanya sebatas kebutuhan pembiayaan untuk saat itu ketika kas negara kosong, jadi tidak digunakan sebagai stand by capital (dana cadangan untuk berjaga-jaga jika kas negara kosong).
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, fungsi dan kedudukan Dlaribah di dalam sistem ekonomi Islam adalah sebagai palang pintu terakhir yang menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat dan utuhnya negara. Bukan sebagai ujung tombak perekonomian, sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang menjalankan sistem ekonomi kapitalis.
Dengan demikian, negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam tidak akan memberlakukan pungutan seperti pajak yang selama ini dikenal, apalagi jika Baitul Mal penuh dengan harta, hasil dari dijalankannya hukum-hukum Islam tentang jihad, pengelolan harta milik umum (kaum Muslim) maupun zakat. Sebab, pungutan yang tidak syar’i adalah kecurangan (ghulul), dan pajak adalah tindakan zhalim. Negara Islam tidak berdiri di atas kezhaliman dan ditopang oleh kesengsaran warga negaranya.
Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7
Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.
“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

H.    Kesepakatan Para Ulama Atas Haramnya Pajak
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. [9]
Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja”

I.       Pajak Bukan Zakat
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian beliau melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..” [10]
Perbedaan  yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya:[11]
1.      Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasa di suatu tempat.
2.      Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin
3.      Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak.
4.      Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang cicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya.
5.      Pajak dipungut oleh negara tanpa melihat agama, sedangkan zakat hanya diwajibkan atas orang islam saja.
6.      Wajib zakat hanya akan membayar pada batas minimal kewajibannya, bahkan sangat mungkin terjadi manipulasi dalam jumlah. Sedangkan pada zakat, kaum muslim sangat mungkin membayar lebih tinggi dari batas minimumnya, karena ridho Allah SWT akan didapat dengan membayar yang lebih dari ketentuannya,
7.      Hasil pengumpulan pajak akan dikembalikan kepada masyarakat, tanpa melihat golongan ekonominya. Sedangkan zakat khusus orang-orang yang berhak menerimanya menurut ketentuan Allah SWT.
J.      Sikap Kaum Muslim terhadap Pajak
Setelah jelas bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang nyata, timbul pertanyaan : “Apakah seorang muslim menolak dan menghindar dari praktek pajak yang sedang berjalan atau sebaliknya?”
Jawabnya adalah setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang, pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan pemimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan.[12]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat”
Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia muslim).
Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.
“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]

Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).
K.    Sumber Pemasukan Negara dalam Islam
Di antara sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ialah.
1.      Jizyah
Jizyah adalah hak yang diberikan Allah SWT kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir, karena adanya ketundukan mereka kepada pemerintahan Islam. Jizyah merupakan harta kaum muslimin yang dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, dan wajib diambil setelah melewati satu tahun (ditetapkan mulai Muharram sd. Dzulhijjah). Jizyah wajib berdasarkan QS At Taubah ayat 29.
Jizyah wajib diambil dari orang-orang kafir, selama mereka tetap kufur, namun apabila memeluk Islam, maka gugurlah jizyah dari mereka. Jizyah diambil dari orang-orang kafir laki-laki, berakal, baligh dan mampu membayarnya.
 Untuk besarnya jizyah, tidak ditetapkan dengan suatu jumlah tertentu, namun ditetapkan berdasarkan kebijakan dan ijtihad khalifah, dengan catatan tidak melebihi kemampuan orang yang wajib membayar jizyah. Apabila jizyah diberlakukan pada orang yang mampu, sementara dia keberatan membayarnya, maka dia tetap dianggap mempunyai hutang terhadap jizyah tersebut. Dia akan diperlakukan sebagaimana orang yang mempunyai hutang.

Berikut ketetapan jizyah pada masa khalifah Umar
No Kriteria _________Besarnya_____Nilai Sekarang
1. Orang kaya ________ 4 dinar ______ 17 gram
2. Menengah_________ 2 dinar ______ 8,5 gram
3. Pekerja___________ 1 dinar ______ 4,25 gram

Dalam kitab Mukhtâr as-Shihhah disebutkan, bahwa jizyah adalah sesuatu yang diambil dari Ahludz-Dzimmah. [Ar-Razi, Muhktâr as-Shihhah, hlm. 86.] Ibn Qudamah menjelaskan, bahwa jizyah adalah wazhîfah (kompensasi)(Wazhîfah ini adalah pekerjaan (tenaga/jasa), gaji, makanan ataupun yang lain yang ditetapkan untuk diberikan oleh orang Kafir yang menjadi Ahludz-Dzimmah.) yang diambil tiap tahun dari orang kafir karena dia menetap di dalam Dâr al-Islâm.4 Imam an-Nawawi, ketika ditanya tentang bagaimana bentuk akad negara dengan Ahludz-Dzimmah, beliau menjelaskan: “Saya menetapkan Anda untuk menetap di Dâr al-Islâm, atau saya mengizinkan Anda untuk tinggal di sana, dengan syarat Anda harus membayar jizyah dan tunduk pada hukum Islam.” (An-Nawawi, Al-Minhâj (Mughni al-Muhtâj), IV/242.)
Dari uraian di atas jelas sekali, bahwa logika pengambilan jizyah sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha’ di atas adalah terkait dengan izin dan legalitas yang diberikan oleh Negara Islam kepada orang kafir yang menjadi Ahludz-Dzimmah. Dzimmah adalah jaminan negara kepada mereka, yang dianggap “orang asing” atau “bukan pemilik”, untuk menetap di wilayah Dâr al-Islâm, yang merupakan milik orang Islam, dengan tetap bebas menjadi orang kafir, berakidah, beribadah, berpakaian, makan, minum dan menikah dengan tatacara kufur dan bukan tatacara Islam. Mereka tidak akan dipaksa untuk meninggalkan semuanya itu. Untuk mendapatkan jaminan tersebut, mereka harus membayar jizyah kepada negara. Namun, di luar tatacara tersebut, semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim wajib tunduk dan patuh pada sistem perundang-undangan negara. Inilah jaminan atau dzimmah yang diberikan oleh Islam kepada mereka.
Akad ini hanya boleh dilakukan oleh pemerintah atau wakilnya, seperti para panglima perang atau orang yang memang ditugaskan menangani hal tersebut. Karena akad dzimmah banyak memiliki konsekwensi hukum, berbeda dengan pemberian jaminan keamanan (al-amân). Disamping juga, akad dzimmah ini bersifat terus menerus dan tidak terbatas oleh waktu tertentu.
Akad ini diwujudkan oleh pemerintah Islam apabila memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Ahli Dzimmah komitmen dan terus membayar upeti (jizyah) setiap tahun.
b. Mereka tidak boleh menjelek-jelekkan Islam sedikit pun
c. Tidak melakukan sesuatu yang merugikan dan membahayakan kaum Muslimin.
d. Mereka tunduk dengan semua aturan dan hukum Islam [Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, hlm. 449]

Diantara konsekwensi akad dzimmah ini adalah: [Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah, hlm. 26 dan Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, hlm. 449-450]
1. Dilarang membunuh, menyakiti dan mengambil harta mereka dengan semena-mena.
2. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menjaga dan melindungi mereka serta tidak mengganggu mereka.
3. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menerapkan hukum Islam pada jiwa, harta dan kehormatan mereka.
4. Wajib bagi pemerintah Islam untuk menegakkan had (hukuman) atas mereka dalam semua yang mereka yakini haram.
5. Wajib bagi ahli dzimmah untuk tampil beda dengan kaum Muslimin dalam berpakaian dan tidak boleh menampakkan sesuatu yang dianggap sebagai kemungkaran dalam Islam, meskipun sedikit atau menampakkan sesuatu yang menjadi syiar agama mereka seperti salib dan sebagainya.
6. Kaum Muslimin dilarang menyerupai mereka (at-tasyabbuh) dan tidak boleh berdiri menyambut mereka serta mendahulukan mereka untuk berbicara di depan majelis kaum Muslimin.
7. Kaum Muslimin dilarang mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka, mengucapkan selamat kepada hari raya mereka dan bertakziyah kepada mereka
8. Kaum Muslimin diperbolehkan menjenguk ahli dzimmah yang sakit untuk satu kemaslahatan. (al-mashlahat ar-râjihah)

Asal Harta Jizyah
Syaikh Abdullah Al-Jibrin mengatakan: “Tidak disangsikan lagi bahwa hakekat harta adalah milik Allah. Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, harta bisa berstatus harta haram bagi seseorang. Harta menjadi harta yang kotor bagi orang yang mendapatkannya dengan cara mencuri, merampas, mencopet, riba, suap, menipu, perdagangan, khamr, dll. Keharaman harta ini khusus berkaitan dengan interaksi dengan orang tersebut, perampas, rentenir, dst.
 Oleh karena itu jika harta haram tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal sesuai dengan syariat maka diperbolehkan. Oleh karena itu umat Islam mengambil jizyah dari hasil penjualan khamr, dll. Umar Rhodiallahu’anhu mengatakan, “Urusan mereka transaksi khamr akan tetapi ambillah dari hasilnya jizyah dan kharraj/pajak tanah.” Allah juga membolehkan untuk kita harta rampasan perang dari orang kafir meskipun harta tersebut dari hasil penjualan khamr, babi, dan bea cukai.

2.      Fa'i
Fa'i adalah segala harta kekayaan orang-orang kafir yang dikuasai oleh kaum muslimin tanpa peperangan. Seperti yang pernah terjadi pada Bani Nadhir, atau orang-orang kafir melarikan diri karena takut terhadap kaum muslimin, dengan meninggalkan rumah dan harta mereka, sehingga harta tersebut dikuasai oleh kaum muslimin, atau orang-orang kafir takut dan melakukan perdamaian dengan kaum muslimin serta menyerahkan sebagian dari harta dan tanah mereka, seperti terjadi pada penduduk Fidak. Harta fa'i ini menjadi milik Rasulullah saw; sebagian dibelanjakan beliau untuk keperluan keluarganya selama setahun; sisanya dijadikan oleh beliau untuk keperluan amunisi dan penyediaan senjata perang. Setelah beliau wafat, Abu Bakar dan Umar melakukan hal yang sama.
 Abdul Baqi Ramdhon mendefinisikan fa’I yaitu “Segala apa yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui perang ataupun pengerahan kuda maupun unta, seperti harta yang ditinggalkan orang-orang kafir karena takut diserang oleh kaum muslimin dan mereka melarikan diri, harta jizyah, harta pajak dan hasil kompensasi perdamaian, harta ahli dzimah yang mati tidak punya ahli waris, dan harta orang murtad dari islam apabila ia terbunuh atau mati.” [Jihad sabiluna, hal.235]
Harta Fa’i adalah harta yang halal dan ia sebagai sebaik-baik harta sebagaimana harta ghonimah hanya bedanya ia harta yang diambil dari orang kafir tanpa melalui kekerasan atau peperangan.
Dari Jabir bin Abdillah r.a. bahwasanya Nabi saw bersabda : “Aku telah diberi lima hal  dan belum pernah diberikan kepada seorangpun sebelumku yaitu melindungi aku dari rasa takut  ketika aku dalam perjalanan selama satu bulan, menjadikan bumi bagiku masjid dan suci maka dimanapun seseorang dari umatku hendak mengerjakan shalat maka ia mngerjakannya dimanapun ia berada, menjadikan bagiku halal harta hasil rampasan perang (Ghonimah) yang belum pernah dihalalkan kepada orang sebelumku dan aku diberikan wewenang untuk memberikan syafa’at dan para nabi sebelumku diutus untuk umatnya secara  khusus sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia”. Shohih Bukhori
 Abdul Baqi Ramdhon mendefinisikan Fa’i yaitu “Segala apa yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui perang ataupun pengerahan kuda maupun unta, seperti harta yang ditinggalkan orang-orang kafir karena takut diserang oleh kaum muslimin dan mereka melarikan diri, harta jizyah, harta pajak dan hasil kompensasi perdamaian, harta ahli dzimah yang mati tidak punya ahli waris, dan harta orang murtad dari islam apabila ia terbunuh atau mati.”[Jihad sabiluna, hal.235]
Dari Umar R.A. Berkata, “Harta benda Bani Nadhir termasuk menjadi harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rosul-nya karena para sahabat tidaklah segera mengerahkan kuda atau unta untuk kesana. Oleh karena itu, harta itu hanya diperuntukan bagi Nabi SAW.  Rosulullah SAW lantas menyisihkan untuk memberi nafkah keluarganya selama setahun lamanya. Sisanya, beliau peruntukan untuk pengadaan kuda dan persenjataan sebagai  persiapan (jihad) di jalan Allah swt. [Bukhori dan Muslim]
 Imam An-Nawawi membagi sumber dari harta Fa’i ada dua macam yaitu :
1. Fa’I yang diambil dari harta orang-orang kafir dikarenakan adanya ekspansi terhadap mereka dan mereka kabur dan takut dari kaum muslimin. Maka harta ini harus dibagi-bagi menjadi seperlima sebagaimana harta ghonimah. [Al majmu’ syarh muhaddab jid. 21, hal. 172]
 2. Fa’I yang diambil dari orang-orang kafir tanpa ada rasa takut. Ini meliputi :
a) Harta jizyah yaitu pungutan yang diambil dari ahlu dzimah pada akhir tahun yang negerinya ditaklukan melalui perang.
b) Harta pajak hasil kompensasi perdamaian
c) Khoroj (pajak bumi) yaitu pungutan yang dikenakan pada tanah-tanah yang dikuasai oleh kaum muslimin.
d) Harta ahli dzimah yang mati dan ia tidak mempunyai ahli waris.
e) Harta orang murtad dari islam apabila ia terbunuh atau mati.
GHANIMAH
Yang dimaksud dengan anfal tiada lain adalah ghanimah (QS Al Anfal: 1). Ibnu Abbas dan Mujahid berpendapat bahwa anfal adalah ghanimah, yakni segala harta kekayaan orang-orang kgafir yang dikuasai oleh kaum muslimin melalui perang penaklukan. Pihak yang berwenang mendistribusikan ghanimah adalah Rasulullah saw dan para khalifah setelah beliau. Rasulullah saw telah membagikan ghanimah Bani Nadhir kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada Anshar, kecuali Sahal bin Hanif dan Abu Dujanah, karena keduanya fakir. Rasulullah saw juga memberikan ghanimah kepada muallaf pada perang Hunain dalam jumlah yang besar. Hal tersebut juga terjadi pada kurun Khulafaur Rasyidin. Khalifah berhak membagikan ghanimah kepada pasukan perang, ia juga dapat mengumpulkannya bersama Fa'i, Jizyah dan Kharaj untuk dibelanjakan demi terwujudnya kemaslahatan kaum muslimin.
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa [615] yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al Anfaal (8): 41)


Cara Pembagian Harta Ghonimah Dan Fai
Saya pernah bertanya kepada Syaikh kami, Abdul Qodir (bin Abdul Aziz, pent) tentang masalah ini ketika era Jihad Afghan, bagaimanakah pembagian harta ghonimah antar pasukan Mujahidin yang berhasil mendapatkan ghonimah. Maka beliau menjawab (point a-c):
a. Kaidah utama dalam pembagian Ghonimah adalah seperti yang ditetapkan Al-Qur’an (Untuk Allah seperlimanya), caranya: 20 % dari total harta Ghonimah diletakkan di Baitul Mal kaum Muslimin. Sedangkan 80% sisanya dibagikan kepada kelompok Mujahidin yang memperoleh ghonimah tersebut. 
b. Ketika ada kesepakatan tentang sistem pembagian antara anggota tim pasukan yang berjihad sebelum meraih harta Ghonimah, maka kesepakatan itu harus mereka laksanakan dengan adil. Namun, jatah yang disalurkan untuk kepentingan jihad dan kaum Muslimin tidak boleh kurang dari seperlima (20%). Jika mereka rela untuk menambahnya sebelum menjalankan operasi, silahkan mereka memberi tambahan sesuai kesepakatan, karena mungkin untuk memenuhi keperluan tandzim atau pasukan mereka dalam urusan-urusan jihad. 
c. Jika tim pasukan beroperasi dengan dukungan kekuatan dari tandzim atau kelompok pasukan lain yang turut mensuplai kebutuhan umum, baik logistik, senjata, survei, informasi dan kebutuhan lainnya, maka semua anggota tandzim terkait diberi jatah dalam jumlah sesuai kesepakatan saling ridho yang dilakukan antar jajaran petinggi tandzim-tandzim tersebut.
 d. Pembagian 20% yang diberikan kepada Baitul Mal adalah untuk : 4% imam, 4% fuqara dan masakin (kaum fakir miskin), 4% mashalihul'l muslimin (untuk kemaslahatan kaum muslimin), 4% ibnu sabil, 4% yatama (anak-anak yatim).


BAB III
KESIMPULAN

Di dalam negara yang menerapkan sistem perekonomian kapitalis, pajak merupakan pos pendapatan utama. Sistem ekonomi kapitalis mengajarkan kepada kita kezhaliman yang tiada duanya. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah berlomba-lomba menarik pajak dari rakyatnya. Rakyat seperti sapi perahan.
Islam telah melarang seluruh bentuk pungutan-apapun nama dan alasannya-. Pungutan yang diambil oleh negara dari rakyatnya harus memiliki landasan atau legislasi syar’i. Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lainnya diantara kamu dengan jalan yang bathil”.  (TQS. al-Baqarah [2]: 188)
Pungutan yang tidak ada dasar hukum Islamnya disebut dengan ghulul (kecurangan). Tindakan ghulul diharamkan berdasarkan firman Allah Swt:
“Barangsiapa berbuat ghulul (curang terhadap harta) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa (harta) yang dicuranginya itu”. (TQS. Ali Imran [3]: 161)
Rasulullah saw memasukkan para pemungut pajak sebagai shahib al-maks, yaitu harta (pungutan/retribusi) yang diambil secara tidak syar’i. Pelakunya diganjar dengan siksaan yang pedih dan kehinaan. Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut maks (yakni harta pungutan/retirbusi yang tidak syar’i).”
Disisi lain Pajak diperbolehkan dalam Islam dengan Pengertian pajak (dharibah) dalam Islam berbeda dengan pajak atau tax dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Pajak dibolehkan dalam Islam karena adanya kondisi tertentu dan juga syarat tertentu, seperti harus adil, merata dan tidak membebani rakyat. Jika melanggar ketiganya maka pajak seharusnya dihapus dan pemerintah mencukupkan diri dari sumber-sumber pendapatan yang jelas ada nashnya dan kembali kepada sistem anggaran berimbang (balance budget).
Pajak juga diperbolehkan setelah zakat ditunaikan. Atau dengan kata lain, bayar zakat dulu baru kemudian pajak dipungut. Kewajiban pajak bukan karena adanya harta melainkan karena adanya kebutuhan mendesak, sedangkan baitul mal kosong atau tidak mencukupi. Pemberlakuan pajak adalah situasional, tidak harus terus menerus. Ia bisa saja dihapuskan bila baitul maal sudah terisi kembali. Pajak diwajibkan hanya kepada kaum muslimin yang kaya.
DAFTRA PUSTAKA



Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Ed. 1, Cet. 3 (Jakarta:PT. Raja Gravindo Persada, 1999)
Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak (Bandung:PT. Refika Aditama, 2003)
Gautama, Sudarto, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria (Bandung:Alumni, 1980)
                                       


[1] Sudargo Gautama,Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria (Bandung:Alumni, 1980), hal. 65
[2] Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Ed. 1, Cet. 3 (Jakarta:PT. Raja Gravindo Persada, 1999), hal. 13
[3] Santoso Brotodihardjo,Pengantar Ilmu Hukum Pajak (Bandung:PT. Refika Aditama, 2003), hal. 7
[4] Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Ed. 1, Cet. 3 (Jakarta:PT. Raja Gravindo Persada, 1999), hal. 15
[5] Santoso Brotodihardjo,Pengantar Ilmu Hukum Pajak (Bandung:PT. Refika Aditama, 2003), hal. 7

[7] Ibid, hal. 21
[9] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar