Rabu, 13 Juni 2012

ASURANSI SYARI’AH


BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan dan kegiatan manusia pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkansifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud adalah suatu sifat tidak kekal yang selalu menyertai kehidupan dan kegiatan manusia pada umumnya.
Keadaan tidak pasti terhadap setiap kemungkinan ynag dapat terjadi baik dalam lazim disebut dengan resiko. Manusia sebagai makhluk Tuhan dianugerahi berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, yaitu mempunyai akal budi. Dengan akal budi inilah manusia berupaya untuk menanggulangi rasa tidak aman sehingga menjadi aman. Serta dapat menghindari atau mengatasi resiko-resikonya baik secara individual atau bersama-sama.
Tata pergaulan masyarakat khususnya masyarakat yang modern seperti sekarang ini, membutuhkan suatu instansi atau lembaga yang mampu mengambil alih resiko-resiko yang dihadapi oleh masyarakat baik resiko individual maupun resiko kelompok. Masyarakat modern saat ini mempunyai kndungan resiko yang relatif tinggi dibandingkan dengan waktu-waktu yang lampau karena kemajuan teknologi disegala bidang. Kemajuan teknologi yang sedemikian rupa mempengaruhi kehidupan manusia yang dapat menimbulkan resiko yang begitu luas. Lembaga yang dapat mengatasi segala resiko yang dihadapi oleh masyarakat ialah lembaga asuransi.
Asuransi merupakan kebutuhan dasar bagi manusia karena kecelakaan dan konsekuansi finansialnya membutuhkan santunan. Asuransi merupakan organisasi penyantun masalah-masalah yang universal, misalnya kematian mendadak, cacat, penyakit, pengangguran, kebakaran, banjir, badai dan kecelakaan-kecelakaan yang berhubungan dengan transportasi serta kerugian finansial yang disebabkannya. Kecelakaan-kecelakaan seperti di atas tidak bergantung pada tindakan para sukarelawan, kenyataan ini menuntut asuransi untuk diperlakukan sebagai kebutuhan dasar manusia pada ruang lingkup yang sangat luas dari kegiatan-kegiatan dan situasi manusia.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian
Menurut Dr. H. Hamzah Ya’cub dalam buku Kode Etik Dagang  Menurut Islam, menyebut bahawa asuransi berasal dan dari kata dalam bahasa Inggris insurance atau assurance yang berarti jaminan. Dalam pasal 246 Kitab Undang -undang Hukum Dagang (KUHD) dijelaskan bahwa asuransi adalah :
“ Suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang dihaerapkan, yang mungkin akan dideritanya kerena suatu peristiwa yang tak  tertentu”.[1]
            Menurut pasal 1 undang-undang no. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin ada diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[2]
            Didalam al-Qur’an dan al-Hadis tidak ada satupun ketentuan ketentuan yang mengatur secara eksplisit tentang asuransi. Oleh karena itu masalah asuransi dalam islam termasuk “ijtihadiah” artinya untuk menentukan hukumnya asuransi ini halal atau haram masih diperlukan peranan akal pikiran para ulama ahli fiqh melalui ijtihad.
            Ada beberapa macam pendapat para ulama tentang asuransi diantaranya:
1.      Bahwa asuransi termasuk segala macam bentuk dan cara operasinya hukumnya haram. Pandangan ini didukung oleh beberapa ulama antara lain, Yusuf al-Qardhawi, Sayid Sabiq, Abdullah al-Qalqili dan Muhammad Bakhit al-Muth’I, alasannya adalah:
a)      Asuransi mengandung unsur perjudian yang dilarang didalam Islam.
b)      Asurnasi mengandung unsur ketidakpastian.
c)      Asuransi mengandung unsur “ riba” yang dilarang dalam Islam.
d)     Asuransi mengandung unsur eksploitasi yang bersifat menekan.
e)      Asuransi termasuk jual beli atau tukar – menukar mata uang yang tidak secara tunai ( Akad Sharf).
f)       Asuransi obyek bisnisnya digantungkan pada hidup dan matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir Tuhan.
2.      Bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam islam. Pandangan ini didukung oleh beberapa ulama antara lain, Abdul Wahab Khallaf, Muh. Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Mustafa Ahmad Zarqa dan Muhammad Nejatullah Siddiqi, alasannya antara lain:
a)      Tidak ada ketetapan nas, al – Qur’an maupun al – Hadis yang melarang asuransi.
b)      Terdapat kesepakatan kerelaan dari keuntungan bagi kedua belah pihak baik penanggung maupun tertanggung.
c)      Kemaslahatan dari usaha asuransi lebih besar daripada mudharatnya.
d)     Asuransi termasuk akad mudharatnya roboh atas dasar profit and loss sharing.
e)      Asuransi termasuk kategori koperasi (Syirkah Ta’awuniyah) yang diperbolehkan dalam islam.
3.      Bahwa asuransi yang diperbolehkan adalah asuransi yang bersifat sosial sedangkan asuransi yang komersial dilarang dalam islam. Pandangan ini didukung oleh beberapa ulama antara lain, Muhammad Abu Zahro dengan alasan bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan karena jenis asuransi ini tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang didalam islam. Sedangkan asuransi yang bersifat komersial tidak diperbolehkan karena mengandung unsur-unsur yang dilarang didalam islam.
4.      Bahwa hukum asuransi termasuk subhat, karena tidak ada dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau yang menghalalkan asuransi oleh karena itu kita harus berhati-hati didalam berhubungan dengan asuransi.[3]
Sedangkan yang dimaksud dengan asuransi syari’ah dalam Fatwa DSN MUI adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syari’ah.
2.      Dasar Hukum Asuransi Syariah
a.       Al-Qur’an
1.      Surah al-Maidah ayat 2
و تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya:
“… tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya”. (Q.S, al-Maidah 5:2)
2.      Surah luqman ayat 34
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat dan dialah yang  menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak seorangpun yang mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok; dan tidak seorangpun yang dapat mengetahui dibumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha mengenal.” (Q.S, Luqman 31:34)[4]
b.      Hadits
       عن أ بي هر ير ة (ر ض) عن النبي (ص) قا ل: من نفس عن مؤ من كر ب الد نيا نفس الله عنه كرب يو م ا لقيا مة ومن يسر على معسر يسر الله عليه فى الدنيا وا لأخرة (رواه مسلم)


Artinya:
“Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad bersabda: Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan duniawinya seorang mukmin, maka Allah SWT. Akan menghilangkan kesulitangnya pada hari kiamat, barang siapa yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah SWT. Akan mempermudah urusan dunia dan akhirat. (HR. Muslim)[5]             
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         
3.      Prinsip-prinsip Dasar Asuransi Syariah
Dalam hal ini, prinsip dasar asuransi syari’a ada sembilan macam, yaitu : tauhid, keadilan, tolong-menolong, kerja sama, amanah, kerelaan, larangan riba, larangan judi, dan larangan gharar.
1.      Tauhid (Unity)
Prinsip tauhid adalah dasar utama dari setiap bentuk tabungan yang ada dalam syari’ah islam. Setiap bangunan dan  aktivitas kehidupan manusia harus didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.
Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan paling tidak dalam setiap melakukan aktivitas berasuransi ada semacam keyakinan dalam hati bahwa Allah SWT selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu berada bersama kita.
2.      Keadilan (Justice)
Prinsip kedua dalam berasuranasi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terkait dengan akad asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban anatara peserta asuransi  dan perusahaan asuransi.
Di sisi lain keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan dari hasil investasi dana nasabah harus dibagai sesuai dengan akad yang disepakati sejak awal. Jika nisbah yang disepakati antara kedua belah pihak 40:60, maka realita pembagian keuntungan juga harus mengacu pada keuntungan tersebut.


3.      Tolong menolong (Ta’awun)
Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan  perasuransi harus didasari dengan adanya rasa tolong menolong antara anggota. Praktik tolong menolong dalam asuransi adalah unsur utama pembentuk (DNA-Chromosom) bisnis transaksi.
4.      Kerja sama (Cooperation)
Prinsip kerja sama merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi islami. Kerja sama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu antara peserta asuransi dan perusahan asuransi. Dalam operasionalnya, akad yang dipakai dalam bisnis asuransi dapat memakai konsep mudharabah atau musyarakah. Konsep mudharabah dan musyarakah  adalah dua buah konsep dasar dalam kajian ekonomika dan mempunyai nilai historis dalam perkembangan keilmuan.
5.      Amanah ( Trustworthy / al-Amanah )
Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah dan melalui auditor public. Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri peserta asuransi. Seseorang yang menjadi peserta asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran dan tidak memanipulasi kerugian yang menimpa dirinya.
6.      Kerelaan ( al-Ridha )
Dalam bisnis asuransi, kerelaan (al-ridha) dapat diterapkan pada setiap peserta asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru’). Dana sosial (tabarru’) memang betul-betul digunakan untuk tujuan membantu anggota asuransi yang lain jika mengalami bencana kerugian.
7.      Larangan riba
Secara bahasa riba adalah tambahan. Sedangakan menurut syari’at menambah sesuatu yang khusus. Jadi riba adanya unsur penambahan nilai. Ada beberapa bagian dalam al-Qur’an yang melarang pengayaan diri dengan cara yang tidak dibenarkan. Islam menghalalkan perniagaan dan melarang riba. Halalnya jual beli dengan pola berfikir selama manuasia saling membutuhkan satu sama lain, karena tidak bisa mencapai ke semua keinginan kecuali denga  jual beli merupakan permasalahan bagi mereka.
8.      Larangan judi (Maisir)
Allah SWT telah memberi penegasan terhadap keharaman melakukan aktivitas ekonomi yang memepunyai unsur maisir (judi). Maisir dari kata yusr artinya mudah. Karena orang memeperoleh uang tanpa susah payah, atau berasal dari kata yasar yang berarti kaya, karena perjudian diharapkan untung yang bermakna mudah. Maysir merupakan unsur obyek yang diartikan sebagai tempat untuk memudahkan sesuatu.
Syafi’i Antonio mengatakan bahwa unsur maisir artinya adanya salah satu pihak yang untung namun di lain  pihak justru mengalami kerugian.
9.      Larangan gharar
Gharar dalam pengertian bahasa adalah al-khida’ yaitu suatu tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Secara konvensional kata Syafi’I kontrak dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan sebagai aqd tabaduli  atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi dan dengan uang pertanggungan. Secara syari’ah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang harus diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (jumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan men meninggal.                     
                                     
4.      Perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvenssional      
No
Prinsip
Auransi Konvensional
Asuransi Syrai’ah
1.
Konsep
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung meningkatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberrikan pergantian kepada tertanggung.
Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin danm bekerja sama dengan cara-cara masing-masing mengeluarkan akad tabarru’.
2.
Visi dan Misi
Secara garis besar misi utama dari asuransi konvensional adalah misi ekonomi dan misi social.
Misi yang diemban dalam asuransi syariah adalah misi aqidah, misi ibadah (ta’awun ), misi ekonomi (iqtishod), dan misi pemberdayaan umat (sosial)[6].
3.
Sumber Hukum
Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hokum positif, hokum alami, dan contoh sebelumnya.
Bersumber dari hokum Allah sumber hokum dalam Syariah Islamadalah al – Qur’an, sunnah, atau kebiasaan Rasul, Ijma’, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, Urf “tradisi”, dan Maslahah Mursalah.
4.
Maghrib
Tidak selaras dengan syariah islam karena adanya maisir, gharar, dan Riba; hal yang di haramkan dalam muamalah
Bersih dari adanya praktek gharar, maisir, dan Riba
5.
DPS
Tidak ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan kaidah- kaidah syara’
Ada, yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek- praktek muamalah yang bertentangan dengan prinsip- prinsip syariah
6.
Akad
Akad jual beli (akad mu’awadhah, akad idz’aan, akad gharar, dan akad mulzim)
Akad tabarru’ dan akad ijarah (mudharabah, wakalah, wadiah, syirkah, dan sebagainya)
7.
 Jaminan/Risk
Transfer of risk, dimana terjadi transfer resiko dari tertanggung kepada penanggung.

Sharing of risk, dimana terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya (ta’awun)
8.
Pengolahan Dana
Tidak ada pemisahan dana, yang berakibat pada terjadinya dana hangus (untuk produk saving - life)
Pada produk- produk saving (life)  terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru’ dan dana peserta sehingga tidak mengenal istilah dana hangus. Sedangkan untuk untuk term insurance semuanya bersifat tabarru’
9.
Investasi
Bebas melakukan investasi dalam batas- batas ketentuan perundang- undangan, dan tidak terbatasi pada halal dan haramnya obyek atau sistem investasi yang digunakan
Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang- undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip syariah islam. Bebas dari riba dan tempat- tempat investasi yang terlarang.
10.
Kepemilikan Dana
Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan dan menginvestasikan kemana saja.
Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi, merupakan milik peserta (shohibul mal), asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelola dana tersebut.
11.
Keuntungan (profit)
keuntungan yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reansuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah keuntungan perusahaan.
Profit yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reansuransi, dan hasil investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi dilakukan        bagi hasil (mudharabah)    dengan peserta[7].          



                                            
5.      Kendala pengembangan asuransi syariah  
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh industri asuransi syariah bersumber pada dua hal utama yaitu permodalan dan sumber daya manusia. Tantangan-tantangan lain seperti masalah, ketidaktahuan masyarakat terhadap produk asuransi syariah, image dan lain sebagainya merupakan akibat dari dua masalah utama tersebut.
1.      Minimnya modal
Beberapa hal yang menjadi penyebab relative rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah dalam sepuluh tahun terakhir adalah rendahnya dana yang memback up perusahaan asuransi syariah, promosi dan edukasi pasar yang relative belum dilakukan secara efektif (terkait dengan lemahnya dana), belum timbulnya industri penunjang asuransi syariah seperti broker-broker asuransi syariah, agen, adjuster, dan lain sebagainya, produk dan layanan belum diunggulkan diatas produk konvensional, posisi pasar yang masih ragu antara penerapan konsep syariah yang menyeluruh dengan kenyataan bisnis di lapangan yang terkadang sangat jauh dari prinsip syariah, dukungan kapasitas reasuransi yang masih terbatas (terkait juga dengan dana) dan belum adanya inovasi produk dan layanan yang benar-benar digali dari konsep dasar syariah.
2.      Kurangnya SDM yang professional
Berdasarkan data Islamic Insurance Society (IIS) per Maret lalu, sekitar 80 persen dari seluruh cabang atau divisi asuransi syariah belum memiliki ajun ahli syariah. IIS mengestimasi asuransi syariah Indonesia per Maret lalu memiliki sekitar 200 cabang dan hanya didukung 30 ajun ahli syariah. Jumlah yang cukup sedikit bila dibandingkan kondisi SDM di asuransi konvensional. Per Maret lalu, sebagian besar cabang asuransi konvensional telah memiliki sedikitnya seorang ajun ahli asuransi syariah. Jumlah tersebut sesuai dengan ketentuan departemen keuangan (Depkeu).
3.      Ketidaktahuan Masyarakat Terhadap Produk Asuransi Syariah
Ketidaktahuan mengenai produk asuransi syariah (takaful) dan mekanisme kerja merupakan kendala terbesar pertumbuhan asuransi jiwa ini. Akibatnya, masyarakat tidak tertarik menggunakan asuransi syariah, dan lebih memilih jasa asuransi konvensional.

4.      Dukungan Pemerintah Belum Memadai
Meski sudah menunjukkan eksistensinya, masih banyak kendala yang dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal pemahaman masyarakat hanya salah satunya. Kendala lainnya yang cukup berpengaruh adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di negeri ini, terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi.
5.      Image
Salah satu tantangan besar bisnis asuransi syariah di Indonesia dan negara lainnya, menurut Zein, adalah meyakinkan masyarakat akan keuntungan menggunakan asuransi syariah. “Perlu sekali mensosialisasikan asuransi syariah bukan saja berasal dari agama, tetapi memperlihatkan keuntungan.” Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para pelaku ekonomi syariah masih menghadapi tantangan berat untuk menanamkan prinsip syariah sehingga mengakar kuat dalam perekonomian nasional dan umat Islamnya itu sendiri.[8]


BAB III
KESIMPULAN
Asuransi syari’ah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syari’ah.
Prinsip-prinsip Dasar Asuransi Syariah adalah: tauhid (unity), keadilan (justice), tolong menolong (ta’awun), kerja sama (cooperation), amanah ( trustworthy / al-amanah), kerelaan ( al-ridha ), larangan riba, larangan maisir ( judi ), larangan gharar.
Kendala pengembangan asuransi syariah: minimya modal, kurangnya SDM yang professional, ketidaktahuan masyarakat terhadap produk asuransi syariah, image, serta dukungan pemerintah belum memadai

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995
 AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004
Muhammad Syakir Sula dan Hermawan Kartajaya, Syariah marketing, Bandung: Mizan Pustaka, tt
Muhammad Solahudin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2006
Heri Sudarsono, Bank dan lembaga keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta : Ekonisia, 2007.
 Warkum Sumitro,  Asas – Asas Perbankan Islam dan Lembaga – Lembaga Terkait ( BMUI dan Takaful) di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life ang general) Konsep dan system Operasional, Jakarta: Gema Insani, 2004


[1]  M. Solahudin,  Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2006), hal. 127.

[2]  Heri sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, cet 2, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hal. 112
[3] Warkum Sumitro, Asas – Asas Perbankan Islam dan Lembaga – Lembaga Terkait ( BMUI dan Takaful) di Indonesia, ( JaKarta : Raja Grafindo Persada, 1996),  hal 166 – 167.
[4]  AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif hukum Islam, (Jakarta; Prenada Media, 2004), hal. 105-110                             

[5]  AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif hukum Islam. Hal. 116
[6]  Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life ang general) Konsep dan system Operasional, hal : 326

[7] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life ang general) Konsep dan system Operasional, hal :326 – 327

Tidak ada komentar:

Posting Komentar