Jumat, 22 Juni 2012

OBLIGASI SYARI’AH



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Islam mengajarkan agar dalam hidup bermasyarakat dapat ditegakkan nilai-nilai keadilan dan dihindarkan  terjadinya penindasan dan pemerasan, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat (2) : 
….
Artinya : “………Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran……”[1]
Dalam mencukupi kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu ingin mengembangakan dana yang dimilikiya, mengingat kebutuhan hidup semakintinggi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah telah mendorong pertuumbuhan Lembaga-lembaga Bank, Lembaga-lembaga Keuangan Non Bank da Pasar Mopdal sebagai alternative sumber dana bagi pasar modal yang telah berkembang baik. Hal tersebut merupakan sarana investasi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pemodal.Dengan demikian, sarana pembentuk pasar modal dan akumulasi dana yang diarahkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dengan melakuakn invesatasi untuk menadapatkan kehidupan yang lebih layak di masa yang akan datang[2]
Obligasi syari’ah merupakan salah satu pengembangan dari interprestasi yang berhubungan dengan produk perasioanal perbankan syari’ah dan merupakan satu konsep yang menjelaskan tentang bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam tata usaha pada suatu proyek tertentu denga prinsip bagi hasil dan bersifat penyertaan dana (invesatasi).
Sesungguhnya, obligasi syariah (sukuk) ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, di mana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari sakk. Kata-kata Sakk, Sukuk, dan Sakaik dapat ditelusurui dengan mudah pada literatur Islam komersial klasik. Katakata tersebut terutama secara umum digunakan untuk perdangangan internasional di wilayah muslim pada abad pertengahan, bersamaan dengan kata hawalah (menggambarkan transfer / pengiriman uang) dan mudarabah (kegiatan bisnis persekutuan). Akan tetapi, sejumlah penulis barat tentang sejarah perdagangan Islam / Arab abad pertengahan memberikan kesimpulan bahwa kata Sakk merupakan kata dari suara Latin “cheque” atau “check”yang biasanya digunakan pada perbankan kontemporer.[3]
Dalam perkemabangannya, the Islamic Juriprudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoruidas Moneter Bahrain (BMA -  Bahrain Monetary Agency) untuk meluncuran salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. kemudian Malaysia pada tahun sama meluncurkan Global Corporate Sukuk di pasar keungan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintah di dunia Islam pun muali melirik hal tersbut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat , bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar serta masih banyak contoh lainnya.[4]
Harus diakui, bahwa sukuk atau obligasi syari’ah merupakan salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersbut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Dengan adanya obligasi syari’ah (sukuk) dapat memenuhi kebuthan lembaga keuangan syari’ah selain perbankan syari’ah, rekasadana syari’ah dan asuransi syari’ah. Dengan bertambahnya jumlah instrument keuangan berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah diharapakan mampu mendorong pertumbuhan lembaga keungan syari’ah di dalam negeri.

2.      Rumusan Masalah
1.      Bagaiamana pengertian dan konsep dasar dari Obligasi Syari’ah ?
2.      Apa saja jenis Obligasi Syar’ah yang berkembang di Indonesia ?






BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian
Dalam konsep ekonomi Islam, obligasi nerupakan salah satu instrument investasi, transaksi/akadnya sesuai dengan sistem pembiayaan dan pendanaan dalam perbankan syari’ah, dengan tujuan untuk menerima kebutuhan produksi, yakni dengan adanya keperluan penambahan modalnya mengadakan rehabilitasi perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru dengan ciri-ciri untuk pengadaan barang-barang modal, mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan tertata, serta mempunyai jangka waktu menengah dan panjang. [5]
Bagi umat Islam, pemilihan obyek investasi tidak saja meliputi obyek yang paling menguntungkan dan berisiko paling rendah, tetepi lebih dari itu juga harus melakukan pemilihan atas instrument dan investasi yang tidak bertentangan dengan syari’ah. Disinilah letak pentingnya partumbuhan dan pengembangan obligasi syari’ah dan obligasi syari’ah itu sendiri adalah salah satu rekasadana syari’ah.[6]
Sementara itu Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No. 32/DSN-MUI/IX/2002 mendefinisikan “Obligasi syari’ah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.”[7] Merujuk pada Fatwa DSN tersebut, dapat diketahui bahwa penerapan obligasi syari’ah ini menggunakan akad antara lain : akad musyarakah, mudarabah, murabahah, salam, istisna, dan ijarah. Emiten adalah mudarib sedang pemegang obligasi adalah shahibul mal (investor). Bagi emiten tidak diperbolehakan melakukan usahaa yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah. [8]
Menurut Heru Sudarsono[9], obligasi syari’ah bukan merupakan utang berbunga tetap sebagaimana yang terdapat dalam obligasi konvensional, tetapi lebih merupakan penyerta dana yang didasarkan pada prinsip bagi hasil. Transaksinya bukan akad utang piutang melainkan penyertaan. Obligasi sejenis ini lazim dinamakan muqaradhah bond, dimana muqaradhah merupakan nama lain dari mudharabah. Dalam bentuknya yang sederhana obligasi syariah diterbitkan oleh sebuah perusahaan atau emiten sebagai pengelola atau mudharib dan dibeli oleh investor atau shahib maal.
Dana yang terhimpun disalurkan untuk mengembangkan usaha lama atau pembangunan suatu unit baru yang benar-benar berbeda dari usaha lama. Bentuk alokasi dana yang khusus (specially dedicated) dalam syariah dikenal dengan istilah mudharabah muqayyadah. Atas penyertaannya, investor berhak mendapatkan nisbah keuntungan tertentu yang dihitung secara proporsional dan dibayarkan secara periodic.
Pada umunya obligasi adalah surat hutang, dimana pemegangnya berhak atas bunga tetap, prinsip obligasi syariah tidak mengenal adanya hutang, tetapi mengenal adanya kewajiban yang hanya timbul akibat adanya transaksi atas aset / produk maupun jasa yang tidak tunai, sehingga terjadi transaksi pembiayaan.
  1. Manfaat Obligasi Syari’ah
Ada beberapa yang harus diperhatikan, karena hal itu sebagai acuan dalam mengembangkan usaha-usaha yang bermotifkan Islam. Ada beberapa manfaat obligasi syari’ah yang harus dicermati, yakni sebagai berikut :[10]
a.       Menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap Bank Non Islam (konvensional) yang menyebabkan berada di bawah kekuasaan bank, sehingga umat Islam tidak bisa melaksanakan ajaran agamanya secara penuh, terutama di bidang kegiatan bisnis dan perekonomiannya.
b.      Menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi.
c.       Dapat beramar ma’ruf di bidang bisnis antara semua pihak yang ada dalam investasi obligasi syariah
d.      Obligasi Syari’ah sebagai bentuk pendanaan dan sekaligus investasi yang memungkinkan bentuk struktur dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan dari riba.
e.       Dapat memberikan jalan bagi umat Islam dalam berinvestasi agar dalam bermuamalah tidak memakan harta dengan cara yang bathil. 
  1. Perbedaan Obligasi Syari’ah dengan Obligasi Konvensional
Dalam harga penawaran, jatuh tempo pokok obligasi, saat jatuh tempo, dan rating antara obligasi syariah dengan obligasi konvensional tidak ada perbedaannya. Perbedaan terdapat pada pendapatan dan return. Perbedaan yang paling mendasar antara obligasi syariah dan obligasi konvensional terletak pada penetapan bunga yang besarnya sudah ditetapkan / ditentukan di awal transaksi dilakukan. Sedangkan pada obligasi syariah saat dilakukan transaksi (jual beli) belum ditentukan besarnya bunga. Yang ditentukan adalah berapa proporsi pembagian hasil apabila mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang.
Perbedaan obligasi konvensional dengan obligasi syari’ah dapat dilihat di bawah ini :
Keterangan

Obligasi Syari’ah

Obligasi Konvensional
Haraga Penawaran
100%
100%
Jatuh Tempo
5 tahun
5 tahun
Pokok Obligasi saat jatuh tempo
100%
100%
Pendapatan
Bagi hasil
Bunga
Return
15,5 – 16% indikatif
15,5 – 16% tetap
Rating
AA+
AA+
Tabel 1. Perbedan antara Obligasi Syari’ah dengan Obligasi Konvensiaonal
Namun dalam obligasi syari’ah lebih kompetitif dibanding obligasi konvensional, sebab :
1.      Kemungkinan perolehan dari bagi hasil pendapatan lebih tinggi daripada obligasi konvensional
2.      Obligasi syari’ah aman karena untuk mendanai proyek prospektif
3.      Bila terjadi kerugian (di luar control), investor tetap memperolah aktiva
4.      Terobosan paradigma, bukan lagi surat utang, tapi surat investasi. 
  1. Karakteristik Obligasi Syari’ah
Obligasi syari’ah memiliki beberapa karakteristik. Pertama, Obligasi syari’ah menenkankan pendapatan investasi bukan berdasar kepada tingkat bunga (kupon) yang telah ditentukan sebelumnya. Tingkat pendapatan dalam obligasi syari’ah berdasar kepada tingkat rasio bagi hasil (nibah) yang besarnya telah disepakati oleh pihak emiten dan investor.
Kedua, dalam sistem pengawasannya selain diawasi oleh pihak Wali Amanat maka mekanisme obligasi syari’ah juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syari’ah(di bawah Majelis Ulama Indonesia) sejak dari penerbitan obligasi sampai akhir dari masa penerbitan obligasi tersebut. Dengan adanya sistem ini maka prinsip kehati-hatian dan perlindungan kepada investor obligasi syari’ah diharapkan bisa lebih terjamin.
Ketiga, jenis industri yang dikelola oleh emiten serta hasil pendapatan perusahaan penerbit obligasi harus terhindar dari unsure non halal.
Secara umum, ketentuan mekanisme mengenai obligasi syari’ah sebagai berikut :
a.       Obligasi syari’ah haruslah berdasarkan konsep syari’ah yang hanya memberikan pendapatan kepada pemegang obligasi dalam bentuk bagi hasil atau revenue sharing serta pembayaran utang pokok pada saat jatuh tempo.
b.      Obligasi syari’ah mudharabah yang diterbitkan harus berdasarkan pada bentuk pembagian hasil keuntungan yang telah disepakati sebelumnya serta pendapatan yang diterima harus bersih dari unsure non halal.
c.       Nisbah (rasio bagi hasil) harus ditentuakan sesuai kesepakatan sebelum penerbitan obligasi tersebut.
d.      Pembagian pendapatan dapat dilakukan secara periodic atau sesuai ketentuan bersama, dan pada saat jatuh tempo hal itu diperhitungkan secara keseluruhan.
e.       Sistem pengawasan aspek syari’ah dilakuakn oleh DPS atau oleh Tim Ahli Syari’ah yang ditunjuk oleh DSN MUI
f.       Apabila perusahaan penerbit obigasi melakuakn kelalaian atau melanggar syarat perjanjian, wajib dilakukan pengembalian dana investor dan harus dibuat surat pengakuan utang.
g.      Apabila emiten berbuat kelalaian atau cedera janji maka pihak investor dapat menarik dananya.
h.      Hak kepemilikan obligasi syari’ah mudharabah dapat dipindahtangankan kepada pihak lain sesuai kesepakatan akad perjanjian.
  1. Prinsip Transaksi, Aplikasi, dan Penerbitan Obligasi Syari’ah
Prinsip utama dalam transaksi obligasi syari’ah adalah harus mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadist serta ilmu fiqh. Hal serupa juga terjadi dalam penerbitan saham yang berbasis pada Jakarta Islamic Index (JII) dan rekasadana syari’ah serta perbankan syari’ah.
Tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syari’ah karena ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi. Syarat-syarat untuk dapat menerbitkan obligasi syari’ah adalah :[11]
1.      Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No. 20/DSN-MUI/IV/2001. fatwa ini menjelaskan bahwa jenis kegiatan uasaha yang bertentangan dengan syari’ah adalah :
a.       Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
b.      Usaha lembaga keuangan konvensional (riba) termasuk perbankan dan asuransi konvensioanl
c.       Usaha yang memproduksi, mendistribusikan, serta memperdagangakan makanan dan minuman haram
d.      Usaha yang memeproduksi dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.
2.      Peringkat investmen grade-nya harus :
a.       Memiliki fundamental usaha yang kuat
b.      Memiliki fundamental keuangan yang kuat
c.       Memeriki citra yang baik bagi public
3.      Keuntuangan tamabahan jika termasuk dalam komponen Jakarata Islamic Index (JII)
Dalam penerbitan obligasi syari’ah, sebelum ditawarkan kepada investor harus melalui tahap-tahap sebagai berikut : [12]
1.      Emiten melalui Underwriter menyerahkan proposal penerbitan obligasi syari’ah kepada DSN/MUI
2.      Pihak penerbit melakukan presentasi proposal di Badan pelaksana Harian DSN
3.      DSN mengadakan rapat dengan tim ahli DPS, dan hasil menyatakan opini syari’ah terkait proposal yang diajukan.
Setelah disetujui oleh DSN, maka proses penawarannya sebagai berikut :
1.      Emiten menyerahkan dokumen yang diperlukan untuk penerbitan obligasi syari’ah kepada underwriter (wakil dari emiten)
2.      Underwriter melakukan penawaran kepada investor
3.      Bila investor tertarik, maka akan menyerahkan dananya kepada emiten melalui Underwriter
4.      Emiten akan membayarkan bagi hasil dan pembayaran pokok kepada investor.
  1. Strktur Obligasi Syari’ah
Obligasi syari’ah sebgai bentuk pendanaan (financing) dan sekaligus investasi (investment) memungkinkan beberapa bentuk stuktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan pada riba. Berdasarkan pengertian tersebut obligasi syari’ah dapat memberikan :
1.      Bagi hasil berdasarkan akad mudharabah/ muqaradah/ qiradh  atau musyarakah adalah kerjasama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan term indicative (indiaksi waktu) / expected return (tingkat pengembalian yang diharapkan)  karena sifatnya yang floating (mengambang) dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
2.      Margin /fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istishna atau ijarah, dengan kadar murabahah/salam/istihna sebagai benmtuk jual beli dengan skema cost plus basis,  (penambahan biaya) obligasi jenis ini akan memberikan fixed return (pengembalian tetap).
  1. Bentuk – bentuk Obligasi Syari’ah
Melalui Fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002, DSN sebenarnya mengkatagorikan tiga jenis pemeberian keuntungan kepada investor pemegang Obligasi Syari’ah. Pertama, adalah berupa bagi hasil kepada pemegang Obligasi Mudharabah atau Musyarakah. Kedua, keuntungan berupa margin bagi pemegang Obligasi Murabahah, Salam, atau Istshna’. Ketiga, berupa fee (sewa) dari asset yang disewakan untuk pemegang Obligasi dengan akad Ijarah.
Obligasi syari’ah dapat diterbitkan dengan menggunakan prinsip mudharabah, musyarakah, ijarah, istisna, salam, dan murabahah. Tetapi diantara prinsip-prinsip instrumen obligasi ini yang paling banyak dipergunakan adalah obligasi dengan insturmen prinsip mudharabah dan ijarah : [13]
A.     Obligasi Mudharabah
 Obligasi syari’ah mudharabah adalah obligasi syari’ah yang mengunakan akad mudharabah. Akad mudharabah adalah akad kerjasama antara pemilik modal (shahibul maal / investor) dengan pengelola (mudharib / emiten). Ikatan atau akad mudharabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau percampuran berupa hubungan kerjasama antara pemilik usaha dengan pemilik harta, dimana pemilik harta (shahibul maal) hanya menyediakan dana secara penuh (100%) dalam suatu kegiatan usaha dan tidak boleh secara aktif dalam pengelolaan usaha. Sedangkan pemilik usaha (mudharib / emiten) memberikan jasa, yaitu mengelola harta secara penuh dan mandiri.
Dalam Fatwa No. 33 / DSN-MUI / X / 2002 tentang obligasi syariah mudharabah, dinyatakan antara lain bahwa:[14]
a.       Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatn kepada pemegang obligasi syariah merupakan bagi ahsil, margin atau fee serta membayar dana obligasi pada saat obligasi jatuh tempo.
b.      Obligasi syariah mudharabah adalah obligasi syariah yang berdasarkan akad mudharabah dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI No. 7 / DSN-MUI / IV / 2000 tentang Pembiayaan Mudharabah.
c.       Obligasi mudharabah emiten bertindak sebagai mudharib (pengelola modal), sedangkan pemegang obligasi mudharabah bertindak sebagai shahibul maal (pemodal).
d.      Jenis usaha emiten tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
e.       Nisbah keuntungan dinyatakan dalam akad.
f.       Apabila emiten lalai atau melanggar perjanjian, emiten wajib menjamin pengambilan dana dan pemodal dapat meminta emiten membuat surat pengakuan utang.
g.      Kepemilikan obligasi syariah dapat dipindahtangankan selama disepakati dalam akad.
Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan struktur obligasi mudharabah, di antaranya : [15]
a.       Obligasi syariah mudharabah merupakan bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka waktu yang relatif panjang.
b.      Obligasi syariah mudharabah dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing), seperti pendanaan modal kerja ataupun capital expenditure.
c.       Mudharabah merupakan percampuran kerjasama antara modal dan jasa (kegiatan usaha), sehingga membuat strukturnya memungkinkan untuktidak memerlukan jaminan (collateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas aset yang didanai.
d.      Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur murabahah dan ba’i bi’thaman ajil menjadi mudharabah dan ijarah.
Adapun ketentuan atau mekanisme obligasi syariah mudharabah adalah :
·         Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan.
·         Rasio atau presentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue sharing) atau keuntungan (profit sharing). Namun berdasarkan fatwa No. 15/DSN-MUI/IX/2000 bahwa yang lebih maslahat adalah penggunaan revenue sharing.
·         Nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara konstan, meningkat, ataupun menurun dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.
·         Pendapatan bagi hasilmerupakan jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten kepadapemegang obligasi syariah. Bagi hasil yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan / keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
·         Pembagian hasil pendapatan atau keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kwartalan, maupun bulanan).
·         Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.
Produk obligasi mudharabah juga dapat dikonversi menjadi saham setelah dalam jangka waktu tertentu dengan persetujuan pemiliknya. Sehingga pemilik surat ini berubah menjadi musyarrik muaqqat (mitra kerjasama kontemporer) bagi perusahaan. Dalam keuntungan investasinya menjadi pemilik saham atau mitra kerjasama selamanya.
Pada prinsipnya, obligasi mudharabah yang dikonversi menjadi saham sama dengan obligasi mudharabah baik yang muthlaqah maupun muqayyadah. Persamaan adalah sama-sama menggunakan prinsip musyarakah dan al-ghunm bi alghurm dalam hal pembagian keuntungan, sehingga dalam hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah Islam dalam distribusi keuntungan investasi.
Adapun ketentuan-ketentuan yang berlaku berkaitan dengan konversi obligasi mudharabah menjadi saham adalah:[16]
a.       Wajib menjaga kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk pertambahan modal sesuai dengan undang-undang negara tempat perusahaan yang mengeluarkan obligasi.
b.      Wajib menjaga keseimbangan keuangan dengan sumber-sumbernya, baik dari dalam maupun dari luar.
c.       Tanggal dan syarat-syarat konversi menjadi saham harus dijelaskan, serta jangka waktu yang mana pemilik surat obligasi tersebut meminta untuk mengkonversikan ke dalam saham.
d.      Wajib menjelaskan kadar batas maksimal pengeluaran bagi saham yang baru jika ada.
e.       Penjelasan tanggal pengembalian harga obligasi dalam kondisi tidak dikonversikan ke dalam saham.
Meskipun telah berhasil diterbitkan, namun obligasi syari’ah Mudharabah menghadapi beberapa kendala. Kendala ini bervariasi sehingga diperlukan uoaya pembenahan untuk dapat lebih efektif  sebagaimana yang bentuk aslinya. Kendala tersbut antara lain :[17]
1.      Syari’ah
·      Revenue dan Profit sharing
Masalah syariah yang muncul bersama Obligasi Mudharabah adalah masalah distribusi pendapatan, apakah menganut profit sharing atau revenue sharing. Fatwa DSN No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah menyebutkan bahwa Revenue Sharing lebih maslahat digunakan dalam pembagian pendapatan. Tidak banyak yang tahu bahwa pemilihan revenue sharing sebagai system yang lebih maslahat merujuk kepada dimensi waktu ketika fatwa itu ditetapkan. Pada saat itu apabila bagi untung diterapkan maka tingkat keuntungan yang diberikan bank syariah kepada nasabah akan lebih kecil dari tingkat suku bunga di pasar.
Penyebutan revenue sharing (bagi hasil) sendiri sebenarnya kurang tepat bila mengacu kepada Mudharabah karena istilah yang digunakan dalam bahasa Arabnya adalah “ribh” yang berarti keuntungan. Dan Mudharabah adalah akad usaha yang apabila mendapat keuntungan (ribh) -yang berarti pendapatan dikurangi biaya- dibagi menurut kesepakatan di muka antara sahibul mal dan mudharib
·      Profit Kuartal sebelumnya
Masalah kedua adalah ketika penerbitan obligasi mudharabah dilakukan, perusahaan memerlukan jangka waktu tertentu untuk menggunakan dana itu dalam usahanya agar mendapatkan keuntungan yang kemudian dibagikan kepada pemegang obligasi. Padahal tradisi yang berlaku dalam obligasi mengharuskan perusahaan membayar kupon (bunga) setiap tiga bulan.
·      Jaminan
2.      Finance
Masalah terbesar yang masih dihadapi oleh praktek keuangan Islam, termasuk di dalamnya perbankan, adalah belum ada ukuran (benchmark) untuk melakukan discounting, terutama ketika sebuah obligasi syariah akan dilepas ke pasar sekunder.
3.      Legal
Belum ada satupun ketentuan yang mengatur tentang Obligasi Syariah dari otoritas yang berwenang. Sehingga ketentuan tentang obligasi syariah mengacu kepada ketentuan tentang obligasi konvensional.
4.      Akuntansi
Perlakuan akuntansi oleh para penerbit masih diperlakukan sebagai hutang. Tidak seperti dalam perbankan yang telah memiliki standar akuntansi tersendiri untuk perbankan syari’ah pasar modal syari’ah belum memiliki standar akuntansi tersendiri. Praktek akuntansi yang digunakan para pelaku pasar mengacu kepada standar akuntansi perusahaan. Akibatnya pencatatan obligasi mudharabah diakui sebagai hutang yang diterima perusahaan melalui penjualan surat berharga, sedangkan oleh pemegang obligasi sebagai piutang yang dimiliki karena membeli surat berharga.
Contoh
Sebagai contoh Berlian Laju Tanker telah menerbitkan Obligasi Mudharabah senilai Rp. 100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatatkan di BES ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil bedasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau kapal lain yang beroperasi unttuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun sesuai pendapatan. [18]
B.     Obligasi Ijarah
Obligasi Ijarah adalah obligasi syari’ah berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah disertai dengan adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.
Ketentuan akad ijarah sebagai berikut :
a.    Objeknya dapat berupa barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerak, harta perdagangan) maupun berupa jasa.
b.   Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.
c.    Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
d.   Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa / upah.
e.    Pemakai manfaat (penyewa) harus menjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga.
f.    Pembeli sewa haruslah pemilik mutlak.
Berdasarkan Fatwa sewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syari’ah Ijarah, telah ditegaskan beberapa hal mengenai obligasi syari’ah ijarah, sebagai berikut :[19]
a.    Obligasi Syari’ah adalah suatu surat berharaga jangka panjang berdasarkan prinsip syar’ah yang dikeluarkan oleh Emiten kepada pemegang obligasi syari’ah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dan obligasi pada saat jatuh tempo.
b.   Obligasi Syari’ah Ijarah adalah Obligasi Syari’ah bedasarkan akad ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2009 tentang pembiayaan Ijarah.
c.    Pemegang Obligasi Syari’ah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai musta’jir (penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai mu’jir (pemberi sewa).
d.   Emiten dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa ataupun menyewakan kepada pihak lain dan dapat pula bertindak sebagai penyewa.
Dalam Fatwa DSN-MUI No. 41/DSN-MUI/III/2004 tersebut telah dikemukakan hal-hal yang menyangkut ketentuan khusus, yakni :
a.       Akad yang digunakan dalam Obligasi Syari’ah Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa MUI No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan ijarah, terutama mengenai rukun dan syarat akad
b.      Objek Ijarah harus berupa manfaat yang dibolehkan
c.       Jenis usaha yang dilakukan emiten tdak boleh bertentangan dengan syari’ah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI No. 20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi unruk Reksadana Syari’ah dan Fatwa DSN-MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syari’ah di Bidang Pasar Modal.
d.      Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI, baik untuk yang telah ada  maupun asset yang akan diadakan untuk disewakan.
e.       Pemegang OSI sebagai pemilik asset (a’yan) atau manfaat (manafi’) dalam menyewahkan (Ijarah) asset atau manfaat yang menjadi haknya kepda pihak lain dilakukan melalui emiten sebagai wakil
f.       Emiten yang bertindak sebagai wakil dari Pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain
g.      Dalam hal emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan (‘iwadh ma’lum) sebagaimana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain
h.      Pengawasan aspek syari’ah dilakukan oleh DPS atau Tim Ahli Syari’ah yang ditunjuk oleh DSN-MUI, sejak proses emisi Obligasi Syari’ah Ijarah dimulai
i.        Kepemilikan Obligasi Syari’ah Ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.       
Secara teknis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
·         Investor dapat bertindak sebagai penyewa (mustajir) Sedangkan emiten dapat bertindak sebagai wakil investor. Dan propery owner, dapat bertindak sebagai orang yang menyewakan (mujir). Dengan demikian, ada dua kali transaksi dalam hal ini; transaksi pertama terjadi antara investor dengan emiten, dimana investor mewakilkan dirinya kepada emiten dengan akad wakalah, untuk melakukan transaksi sewa menyewa dengan property owner dengan akad ijarah. Selanjutnya, transaksi terjadi antara emiten (sebagai wakil investor) dengan property owner (sebagai orang yang menyewakan) untuk melakukan transaksi sewa menyewa (ijarah).
·         Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek sewa tersebut kepada emiten. Atas dasar transaksi sewa menyewa tersebut,
maka diterbitkanlah surat berharga jangka panjang (obligasi syariah ijarah), dimana atas penerbitan obligasi tersebut, emiten waib membayar pendapatn kepada investor berupa fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Seperti juga dalam obligasi syariah Mudharabah, Obligasi Syariah Ijarah menghadapi tantangan dan kendala yang tidak sedikit. Berikut ini adalah diantaranya:[20]
1.   Syari’ah
ü  Ada beberapa Issu syariah yang menjadi perdebatan dalam penerbitan obligasi syariah ijarah.;
Wakil yang kemudian menjadi penyewa. Dalam salah satu modus obligasi syariah ijarah, emiten bertindak pertama kali selaku wakil dari pemegang obligasi syariah untuk menyewa/membeli asset dari pihak ketiga. Lalu setelah transaksi itu dilakukan, emiten bertindak selaku penyewa.
Sebenarnya pola ini adalah pola umum yang terjadi dalam perbankan syariah, terutama murabahah, dimana bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang yang akan dibelinya sendiri dari bank. Hal ini dilakukan mengingat adanya berbagai kendala di sisi perpajakan dan legal system.
Penyewa yang menyewakan. Di salah satu modus yang lain dari obligasi syariah ijarah, terdapat struktur dimana pihak penyewa menyewakannya kembali kepada pihak ketiga. Dalam literatur syariah kasus ini dikenal dengan Almustajir yu’jir. Sebagian besar ulama membolehkan praktek ini dengan syarat bahwa penyewa kedua hanya bertanggungjawab kepada penyewa pertama.
Tingkat sewa berubah menurut kesepakatan. Nilai sewa yang berubah-ubah setelah jangka waktu tertentu. Dikhawatirkan hal ini mengakibatkan emiten membayar harga yang lebih tinggi tanpa diduga sebelumnya. Kondisi seperti ini lazim dalam syariah disebut gharar (ketidaktahuan/ketidaktentuan) salah satu kondisi yang menyebabkan sebuah akad batal demi hukum, karena dikhawatirkan merugikan salah satu pihak.
Sebagian ulama modern membolehkan sewa Ijarah berubah menurut jangka waktu tertentu, apabila disepakati oleh kedua belah pihak, tanpa harus menghentikan akad dan memulainya dengan akad baru berdasarkan tingkat sewa baru.
2.   Finance
Reference untuk menentukan tingkat fee ijarah (sewa) belum tersedia. Seringkali para praktisi obligasi syariah merujuk kepada tingkat keuntungan di pasar uang, yang tentunya berdasarkan sukubunga pinjaman untuk berbagai jangka waktu.
3.   Legal
Seperti halnya Obligasi Syariah Mudharabah, sampai saat ini belum ada satupun ketentuan yang mengatur tentang Obligasi Syariah Ijarah. Padahal seperti yang dikemukakan di muka, ada beberapa perbedaan fundamental antara obligasi yang berdasarkan syariah dengan obligasi biasa.
4.   Pajak
Kendala lainnya adalah pengenaan pajak kepada sewa guna karena ia merupakan obyek pajak. Akibatnya, penerbitan obligasi syariah selau dibayangi kekhawatiran akan pengenaan pajak atas fee ijarah (sewa).
5.   Akuntansi
Sebagaimana halnya dalam Mudharabah, belum ada ketentuan akuntansi yang mengatur dan mengikat para emiten dan pemegang obligasi syariah tentang perlakukan Obligasi Syariah Ijarah. Perlakuan akuntansi untuk obligasi syariah Ijarah adalah surat berharga yang diterbitkan pada pembukuan emiten, sedangkan untuk pemegang obligasi, obligasi syariah Ijarah adalah surat berharga yang dibeli.
Contoh
Penerapan akad ijarah untuk obligasi syariah dapat merujuk pada penerbitan obligasi ijarah Matahari Departemen Store. Perusahaan ritel ini mengeluarkan obligasi ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah, dimana Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan akad wakalah, dimana atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee ijarah) dan pokok dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun.[21]
Tabel 2. Ringkasan Obligasi dan Sukuk[22]

Obligasi Konvensional
Syari’ah Mudharabah
Syari’ah Ijarah
Akad (transaksi)
Tidak ada
Mudharabah/Bagi hasil
Ijarah / sewa
Jenis Transaksi
-
Uncertainty Contract
Certainty Contract
Sifat
Surat Hutang
Investasi
Investasi
Harga Penawaran
100%
100%
100%
Pokok Obligasi saar Jatuh Tempo
100%
100%
100%
Kupon
Bunga
 Pendapatan /Bagi hasil
Imbalan / fee
Return
Float / Tetap
Indikatif berdasarkan Pendapatan/Income
Ditentukan seelumnya
Fatwa DSN
Tidak ada
NO. 33/DSN-MUI/IX/2002
No. 41/SN-MUI/III/2004
Jenis Investor
Konvensional
Syari’ah/Konvensional
Syrai’ah/Konvensional

Ada beberapa akad penting yang dapat menjadi basis pengembangan obligasi syariah:[23]
1.      Akad mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (sahibul maal, investor) menyediakan modal sedangkan pihak kedua (mudharib, emiten) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai dengan kesepakatan dimuka yang dituangkan dalam kontrak.
2.      Musyarakah merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
3.      Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang/jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut.
4.      Murabahah adalah akad jual beli barang dimana pembeli dapat membayar harga barang yang disepakati pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Penjual dapat menambah marjin pada harga pokok barang yang dijual tersebut.
5.      Salam merupakan kontrak jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
6.      Istishna merupakan akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli) dengan pembuat (penjual).
 Karena akad tersebut banyak, namun sampai saat ini baru dua jenis obligasi syariah yang sedang berkembang di Indonesia, yaitu: obligasi mudharabah dan ijarah. Keduanya sesuai kaidah syariah namun berbeda dalam penghitungan, penilaian dan pemberian hasil (return).
  1. Kendala dan Strategi Pengembangan Obligasi Syari’ah
Kendala dalam pengembangan obligasi syariah diantaranya sebagai berikut :[24]
a.    Belum banyak masyarakat yang paham tentang keberadaan obligasi syariah, apalagi sistem yang digunakannya. Hal tersebut tidak lepas dari ruang sosialisasi obligasi syariah yang dikondisikan hanya terbatas oleh para pemodal yang memiliki dana lebih dari cukup.
b.   Masyarakat dalam menyimpan dananya cenderung didasarkan atas pertimbangan pragmatis. Hal ini yang menjadikan tren tingkat bunga yang cenderung bisa dipastikan di masa yang akan datang menjadikan investor lebih memilih obligasi konvensional daripada obligasi syariah.
c.    Di usia yang masih relatif muda dan sistem yang berbeda, obligasi syariah dikondisikan untuk menghadapi masyarakat yang kurang percaya akan keberadaan sistem yang belum ia kenal.
Sedangkan usaha yang perlu dilakukan untuk menjawab kendala-kendala obligasi syariah adalah sebagai berikut :
a.    Langkah-langkah sosialisasi dilakukan untuk membangun pemahaman masyarakat akan keberadaan obligasi syariah di tengah-tentah masyarakat. Keterlibatan praktisi, akademisi dan ulama sangat diperlukan dalam usaha-usaha obligasi syariah.
b.   Usaha untuk menarik pasar emosional secara statistik relative lebih sedikit daripada pasar rasional. Oleh karenanya obligasi syariah tidak bisa hanya sekedar menunggu sampai adanya perubahan paradigma setidaknya obligasi syariah mampu menangkap kondisi yang ada sebagai peluang yang bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitasnya.
c.    Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, usaha untuk meningkatkan profesionalitas, kualitas, kapabilitas, dan efisiensi untuk selalu dilakukan oleh obligasi syariah.
Tabel Daftar Obligasi Syari’ah
Nama Obligasi
Emiten / Penerbit
Waktu Penerbitan
Bank Bukopin Syari’ah Mudharabah
PT. Bank Bukopin
Tahun 2003
Bank Muamalat Syari’ah Mudharabah
PT. Bank Muamalat
Indonesia Tbk
Tahun 2003
BSM Syari’ah Mudharabah
PT. Bank Syariah
Mandiri
Tahun 2003
Cilandra Perkasa Syari’ah Mudharabah
PT. Cilandra
Perkasa
Tahun 2003
Indosat Syari’ah Mudharabah
PT. Indosat Tbk.
Tahun 2002
PTPN VII Syari’ah Mudharabah
PTPN VII
Tahun 2004
Obligasi Syari’ah Ijarah I Matahari Putra Prima
PT. Matahari Putra
Prima
Tahun 2004
Obligasi Syari’ah Ijarah Sona Topas
Tourism Industri
PT. Sona Topas
Tourism Industri
Tahun 2004
Berliana I Syariah
Ijarah
PT. Berlian Laju
Tanker
Tahun 2004
HITS I Syariah
Ijarah

Tahun 2004
INdorent Syariah
Ijarah
PT. INdorent
Tahun 2004
Citra Sari Makmur I
Syariah Ijarah
PT. Indofood Tbk
Tahun 2004
Obligasi Syariah
Berliana Laju
Tanker
PT. Berliana Laju
Tanker
Tahun 2003


 

BAB III
KESIMPULAN
1.      Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. (Merujuk kepada Fatwa DSN No. 32/DSN-MUI/IX/2002). Obligasi syariah dapat diterbitkan dengan menggunakan prinsip mudharabah, musyarakah, ijarah, istisna, salam, dan murabahah. Tetapi diantara prinsip-prinsip instrumen obligasi ini yang paling banyak dipergunakan adalah obligasi dengan insturmen prinsip mudharabah dan ijarah
2.      Jenis-jenis Obligasi Syari’ah yang berkembang di Indonesia
Obligasi Mudharabah, adalah obligasi syariah yang mengunakan akad mudahrabah. Akad mudharabah adalah akad kerjasama antara pemilik modal (shahibul maal / investor) dengan pengelola (mudharib / emiten). Ikatan atau akad mudahrabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau percampuran berupa hubungan kerjasama antara pemilik usaha dengan pemilik harta, dimana pemilik harta (shahibul maal) hanya menyediakan dana secara penuh (100%) dalam suatu kegiatan usaha dan tidak boleh secara aktif dalam pengelolaan usaha. Sedangkan pemilik usaha (mudharib / emiten) memberikan jasa, yaitu mengelola harta secara penuh dan mandiri.
Obligasi Ijarah, obligasi syariah berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambilmanfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah disertai dengan adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.



DAFTAR PUSTAKA

Adrian, Sutedi. Aspek Hukum Obligasi dan Sukuk. Jakarta : Rineka Cipta. 2001.
Ahmad, Kamaruddin.  Dasar-dasar Manajemen Investasi. Jakarta: Rineka Cipta. 2001.
Antonio, Syafi’i. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani. 2001.
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syari’ah Lingkup dan Peluang Tantangan dan Praktek. Jakarta : Pustakan Alvabet. 1999
Brilyan Rahmat, dkk, “Obligasi Syari’ah”, dalam http://hendrakholid.net/blog/2009/05/12/obligasi-syariah/ (20 Maret 2010)
Cecep Maskanul Hakim, “Obligasi Syari’ah di Indonesia: Kendala dan Prospek”, dalam http://ekonomi-keuangan-syariah.blogspot.com/2009/02/ (20 Maret 2010)
Departemen Agama RI,Al qur an dan Terjemahnya. Jakarta : Pelita. 1979.
Firdaus, Muhammad, dkk. Konsep Dasar Obligasi Syari’ah. Jakarta : Renaisan. 2005.
Http://www.scribd.com/doc/8584138/Kumpulan-Fatwa-DSNMUI-20002007  (20 Maret 2010)
Huda, Nurul dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syari’ah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2007
Nadjib, Mochammad,dkk. Investasi Syari’ah. Yogyakarta. Kreasi Kencana. 2008.
Nasrudin, M. Irsan dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta : Prenada Media. 2004.
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Edisi 2. Yogyakarta : Ekonisia. 2007.
Sumito, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 1996.



[1] al-Qur’an, 6 : 2
[2] Kamaruddin Ahmad, Dasar-dasar Manajemen Investasi (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 54.
[3] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syari’ah (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2007), 122
[4] Adrian Sutedi, Aspek Hukum Obligasi dan Sukuk (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 95-96
[5] Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), 167
[6] Zainul Arifin, Memahami Bank Syari’ah Lingkup dan Peluang Tantangan dan Praktek.  (Jakarta: Pustakaan Alvabet, 1999), 224.  
[8] M. Irsan Nasrudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 206
[9] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Edisi 2 (Yogyakarta: Ekonisia,2007),  222
[10] Warkum Sumito, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga Teerkait (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 17
[11] M. Nadjib, dkk, Investasi Syari’ah (Yogyakarta: Kreasi Kencana, 2008), 348-349
[12] Brilyan Rahmat, dkk, “Obligasi Syari’ah”, dalam http://hendrakholid.net/blog/2009/05/12/obligasi-syariah/  (20 Maret 2010)

[13] Muhammad Firdaus, dkk, Konsep Dasar Obligasi Syari’ah (Jakarta: Renaisan, 2005),  29
[15] M. Nadjib, dkk, Investasi Syari’ah (Yogyakarta: Kreasi Kencana, 2008),  353-354
[16] Ibid. 354-355
[17] Cecep Maskanul Hakim, “Obligasi Syari’ah di Indonesia: Kendala dan Prospek”, dalam http://ekonomi-keuangan-syariah.blogspot.com/2009/02/obligasi-syariah-di-indonesia-kendala.html (20 Maret 2010)

[20] Cecep Maskanul Hakim, “Obligasi Syari’ah di Indonesia: Kendala dan Prospek”, dalam http://ekonomi-keuangan-syariah.blogspot.com/2009/02/obligasi-syariah-di-indonesia-kendala.html (20 Maret 2010)
[22] Ibid
[23] Ibid.
[24] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Edisi 2 (Yogyakarta: Ekonisia,2007), 228-229

Tidak ada komentar:

Posting Komentar