Sabtu, 23 Juni 2012

Cintai Budayamu, Hargai Budaya Orang Lain



 
Sejak kita dilahirkan sampai rambut kita beruban, kita sudah diperhadapkan dengan budaya. Kita bersinggungan dan bahkan hidup dalam lingkungan budaya tertentu. Budaya apa pun yang melingkupi setiap gerak langkah kita, haruslah kita hargai dan posisikan sebagai mana mestinya.
Sebagai buah dari enkulturasi, maka kita menjadi orang yang berbudaya. Hal itu tentu saja baik, namun serempak ada bahayanya bahwa kita hanya mengenal budaya kita sendiri dan buta terhadap budaya lain.

Menurut seorang filsuf terkenal bernama Aristoteles, demokrasi timbul dari ide yang mengatakan bahwa semua manusia yang dalam hal tertentu memiliki persamaan, sesungguhnya pada hakikatnya memang sama. Karena semua manusia sama-sama bebas maka semua manusia secara mutlak memiliki kesamaan hak. Nah, saya lalu berpikir apa kesamaan hak yang paling hakiki? Jawabannya adalah bahwa mereka berhak memilih. Apapun pilihan mereka itu adalah hak mereka yang harus kita hormati. Oleh sebab itu pula, apapun budaya yang melingkupi seseorang yang sudah dipilihnya, patut dan semestinya kita hormati. Sebagaimana mereka menghormati budaya kita. Atau adap istiadat yang kita anut. Kalau kita hendak memaksakan budaya kita supaya diikuti orang lain, itu berarti serempak kita sementara menolak keberagaman dan diversitykita sebagai suatu bangsa yang besar. Padahal di negeri sebesar Nusantara ini, multicultural dan diversity adalah sebuah keniscayaan.

Keragaman budaya atau “cultural diversity” di Indonesia adalah suatu kenyataan. Dan kenyataan ini tidak mesti dan tidak boleh kita tolak. Tapi memang pada satu sisi kenyataan itu bisa menjadi potensi yang teramat bagus. Potensi yang tidak berkesudahan kalau kita mampu mengelolanya, tapi di sisi lain dapat memunculkan konflik. Kenapa? Ya, kalau kita tidak mampu mengatur dan saling menghargai keberagaman budaya yang ada, dapat saja memicu suatu konflik. Kita harus memiliki apa yang saya istilahkan sebagai “multicultural management” dan “multicultural understanding.”


Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar di ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke, dapat dipastikan juga bahwa tingkat peradaban kelompok-kelompok suku-bangsa dan masyarakat itu berbeda-beda. Maka tidaklah berlebihan untuk menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman budaya atau tingkat heterogenitas yang tertinggi.

Bahkan menurut catatan historis, keragaman budaya yang kita miliki sudah menjada daya tarik dan daya pikat tersendiri bagi bangsa-bangsa lain. Mungkin tidak semua kita kenal dengan Cheng Ho. Ia ada seorang pemuda yang telah menempuh tujuh ekspedisi maritim untuk menemukan benua-benua. Walau secara tersembunyi tapi terlihat bahwa sebenarnya tujuan utama Cheng Ho melalui ekspedisi itu adalah untuk mengeksplorasi dan kalau mungkin untuk sekaligus mengeksploitasinya.

Tujuh kali Cheng Ho berlayar bolak-balik dalam kurun waktu 1405-1432. Di tiap negeri ia mempelajari seluk-beluk budaya setempat. Menurut catatan hariannya di Semarang ia terpesona menonton wayang kulit namun terkejut melihat keris di pinggang para pria. Di Surabaya ia terheran-heran melihat burung yang berbicara seperti manusia. Di Palembang dan Banda Aceh ia juga mendapatkan pengalaman budaya yang unik bagi dirinya. Ia juga mengamati kehidupan agama. Ia lalu memperkenalkan agama Islam, namun toleran terhadap agama lain. Di berbagai tempat ia membangun rumah ibadah untuk agama-agama lain. Di Sri Lanka terdapat prasasti doa Cheng Ho yang lintas agama. Data Ekspedisi Cheng Ho antara lain ada di buku setebal lima ratus halaman berjudul 1421—The Year China Discovered the World tulisan Gavin Menzies, seorang kapten kapal Inggris.

Dalam konteks masa kini, menurut saya ada tiga hal yang perlu kita ketahui sebagai wujud nyata dari kebudayaan yaitu pengetahuanbudaya, perilaku budaya atau praktek-praktek budaya yang masih berlaku, dan produk fisik kebudayaan yang berwujud artefak atau bangunan. Apa contohnya? Ya sebut saja antara lain produk kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai dan kepercayaan, rumah adat dan sebagainya.

Saya sebenarnya sangat berharap bahwa pemerintah (harus) punya andil dalam konteks menjaga keanekaragaman kebudayaan. Dan Anda mesti tahu bahwa andil pemerintah itu sangat penting! Dalam konteks ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata hubungan interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia. Tapi rupa-rupanya hingga saat ini pemerintah sepertinya kurang menjalankan fungsinya tersebut. Apakah pemerintah masih memandang sebelah mata potensi keragaman budaya yang kita miliki? Entahlah. I do really hope they’ll done better.

Contoh lain yang cukup menonjol adalah juga bagaimana misalnya karya-karya seni hasil kebudayaan yang dulunya harus dipandang dalam prespektif kepentingan pemerintah. Pemerintah menentukan baik buruknya suatu produk kebudayaan berdasarkan kepentingannya. Implikasi yang kuat dari politik kebudayaan yang dilakukan pada masa lalu (dimulai sejak masa Orde Baru) adalah penyeragaman kebudayaan supaya menjadi “Indonesia”. Dalam artian bukan menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang secara alami. Tapi terlalu dipaksakan untuk diseragamkan!

Kita harus berusaha untuk mempelajari dan menghargai keragaman budaya kita. Kita melihat kenisyaan adanya perbedaan tersebut, tapi kita melihatnya dengan mata iman, bahwa betapa indahnya perbedaan itu. Menghargainya dalam bingkai “Bhineka Tunggal Ika”. Bila kita sempat atau pernah bertempat tinggal beberapa tahun di tengah budaya lain di bumi pertiwi ini dan mengalami pengalaman hidup lintas budaya, maka sikap kita terhadap budaya lain menjadi terbuka dan kita mulai belajar menghargai budaya lain. Pengalaman dan pengetahuan itu akan membuka wawasan kita dan membuat kita kagum bahwa bangsa kita bersifat multikultural atau majemuk dalam budaya. Dengan demikian kita tidak lagi menilai budaya lain dengan ukuran kita sendiri.

Lantas kita mungkin sampai pada pertanyaan, Mana budaya yang benar? Kalau kita mulai memilih mana yang benar, maka pasti ada yang salah, padahal tidak ada yang salah! Karena tiap budaya bebas untuk berada sebagaimana adanya. Secara alamiah. Tidak perlu diseragamkan. Ini disebut relativisme kultural (cultural relativism), artinya budaya selalu bersifat relatif, sehingga tidak boleh diukur dengan ukuran tunggal. Menyangkal kemajemukan budaya adalah menyangkal hakikat bangsa kita. Menyangkal hakikat manusia, karena pada dasarnya kita memang adalah majemuk. Berbeda-beda tapi satu.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar