BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an bukanlah merupakan sebuah buku dalam pengertian umum, karena ia tidak pernah diformulasikan, tetapi diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW. Sesuai dengan situasi yang menuntutnya. Al-Qur’an sendiri sangat menyadari kenyataan ini sebagai sesuatu yang akan menimbulkan keusilan dikalangan pembantahnya (Q.S. Al-Furqan [25] : 32 ). Seperti yang diyakini sampai sekarang, pewahyuan Al-Qur’an secara total dan secara secara sekaligus itu tidak mungkin, karena Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi kaum muslimin secara erangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian asbab an-nuzul ?
2. Apa saja macam asbab an-nuzul ?
3. Redaksi apa yang digunakan dalam periwayatan asbab an-nuzul ?
4. Apa saja problematika dan solusi periwayatan asbab an-nuzul ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ASBAB AN-NUZUL
Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi, asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu dapat disebut asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya, ungakapan asbab an-nuzul khusus digunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an, seperti halnya asbab al-wurud secara khusus digunakan sebagai sebab-sebab terjadinya hadis.
Banyak pengertian terminologi yang dirumuskan oleh para ulama, di antaranya :
1. Menurut Az-Zarqani:
“Asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hokum pada saat peristiwa itu terjadi.”[1]
2. Ash-Shabuni:
“Asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.”[2]
3. Manna’ Khalif al-Qattan:
“Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”[3]
4. Subhi as-Salih
“Asbab an-nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas tehadap hokum-hukum ketika peristiwa itu terjadi.”[4]
Berdasarkan beberapa pendapat sebagaimana disebutkan diatas, secara umum para ulama’ berpendapat bahwa berkaitan dengan latar belakang turunnya, ayat-ayat al-Qur’an turun dengan dua cara. Pertama, ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah tanpa suatu sebab atau peristiwa tertentu yang melatarbelakangi . Kedua, ayat-ayat yang diturunkan karena dilatarbelakangi oleh peristiwa tertentu. Berbagai hal yang menjadi sebab turunnya ayat inilah yang kemudian disebut dengan “asbab an-nuzul”. Dengan demikian “asbab an-nuzul” adalah suatu konsep, teori, atau berupa berita tentang sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa ayat maupun rangkaian ayat.
B. MACAM- MACAM ASBAB AN NUZUL
Jenis-jenis Asbabun nuzul dapat dikatagorikan kedalam beberapa bentuk sebagai berikut:[5]
1. sebagai tanggapan atas suatu peristiwa
Misalnya Urwah bin zubair mengalami kesulitan dalam memahami hukum fardhu sa’i , antara shafa dan marwah.
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah . Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.”(Q.S Al-Baqarah: 158)
Urwah bin zubair kesulitan memahami “tidak ada dosa” (لا جناح) didalam ayat ini. Ia lalu menanyakan kepada Aisyah perihal ayat tersebut, lalu Aisyah menjelaskan bahwa peniadaan dosa disitu bukan peniadaan hukum fardhu, peniadaan disitu dimaksudkan sebagai penolakan terhadap keyakinan yang telah mengakar dihati kaum muslimin ketika itu, bahwa melakukan sa’i antara shofa dan marwah termasuk perbuatan jahiliyah. Keyakinan ini di dasarkan atas pandangan bahwa pada masa sebelum islam, dibukit shofa terdapat sebuah patung yang disebut isaf dan dibukit marwah ada sebuah patung yang disebut nailah. Jika melakukan sa’i antara dua bukit itu orang-orang jahiliyah sebelumnya mengusap kedua patung tersabut. Ketika umat islam lahir, patung tersebut dihancurkan, dan sebagian umat islam enggan melakukan sa’i ditempat itu, maka turunlah ayat ini.
Misalnya Urwah bin zubair mengalami kesulitan dalam memahami hukum fardhu sa’i , antara shafa dan marwah.
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah . Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.”(Q.S Al-Baqarah: 158)
Urwah bin zubair kesulitan memahami “tidak ada dosa” (لا جناح) didalam ayat ini. Ia lalu menanyakan kepada Aisyah perihal ayat tersebut, lalu Aisyah menjelaskan bahwa peniadaan dosa disitu bukan peniadaan hukum fardhu, peniadaan disitu dimaksudkan sebagai penolakan terhadap keyakinan yang telah mengakar dihati kaum muslimin ketika itu, bahwa melakukan sa’i antara shofa dan marwah termasuk perbuatan jahiliyah. Keyakinan ini di dasarkan atas pandangan bahwa pada masa sebelum islam, dibukit shofa terdapat sebuah patung yang disebut isaf dan dibukit marwah ada sebuah patung yang disebut nailah. Jika melakukan sa’i antara dua bukit itu orang-orang jahiliyah sebelumnya mengusap kedua patung tersabut. Ketika umat islam lahir, patung tersebut dihancurkan, dan sebagian umat islam enggan melakukan sa’i ditempat itu, maka turunlah ayat ini.
2. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan yang kepada Rasul
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan ; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua , Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Q.S An-nisa: 11)
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan ; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua , Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Q.S An-nisa: 11)
Ayat tersebut turun untuk memberikan jawaban secara tuntas terhadap pertanyaan Jabir kepada Nabi, sebagaimana diriwayatkan Jabir: “Rasulullah datang bersama Abu Bakar, berjalan kaki mengunjungiku (karena sakit) diperkampungan Banu Salamah. Rasulullah menemukanku dalam keadaan tidak sadar, sehingga Beliau meminta agar disediakan air, kemudian berwhudhu, dan memercikkan sebagian pada tubuhku. Lalu aku sadar, dan berkata: “Ya Rasulullah! Apakah yang Allah perintahkan bagiku berkenaan dengan harta benda milikku?” Maka turunlah ayat diatas.
3. Sebagai jawaban dari pertanyaan Rasul
“dan tidaklah Kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (Q.s Maryam:64)
Ayat tersebut turun untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan Nabi, sebagaimana diriwayatkan ibn Abbas bahwa Rasulullah bertanya kepada malaikat jibril,”Apa yang menghalangi kehadiranmu, sehingga lebih jarang muncul ketimbang masa-masa sebelumnya?”
“dan tidaklah Kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (Q.s Maryam:64)
Ayat tersebut turun untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan Nabi, sebagaimana diriwayatkan ibn Abbas bahwa Rasulullah bertanya kepada malaikat jibril,”Apa yang menghalangi kehadiranmu, sehingga lebih jarang muncul ketimbang masa-masa sebelumnya?”
4. Sebagai tanggapan atas pertanyaan yang bersifat umum
Ayat al-qur’an di turunkan untuk memberi petunjuk perihal pertanyaan yang bersifat umum, yang muncul di kalangan sahabat nabi, Contoh:
“mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S Al-baqarah: 222)
Ayat ini turun perihal pertanyaan yang bersifat umum dari kalangan sahabat Nabi, sebagaimana diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas bahwa dikalangan Yahudi, apabila wanita mereka (istri) sedang haid, mereka tidak makan bersama istri mereka, atau juga tidak tinggal serumah. Para sahabat yang mengetahui masalah itu kemudian bertanya kepada Rasulullah tentang hal ini, maka turunlah ayat diatas.
Ayat al-qur’an di turunkan untuk memberi petunjuk perihal pertanyaan yang bersifat umum, yang muncul di kalangan sahabat nabi, Contoh:
“mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S Al-baqarah: 222)
Ayat ini turun perihal pertanyaan yang bersifat umum dari kalangan sahabat Nabi, sebagaimana diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas bahwa dikalangan Yahudi, apabila wanita mereka (istri) sedang haid, mereka tidak makan bersama istri mereka, atau juga tidak tinggal serumah. Para sahabat yang mengetahui masalah itu kemudian bertanya kepada Rasulullah tentang hal ini, maka turunlah ayat diatas.
5. Sebagai teguran kepada Nabi
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.” (Q.S ’abasa: 1-2)
Orang buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-ajaran tentang Islam, lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan berpaling dari padanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah s.a.w.
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.” (Q.S ’abasa: 1-2)
Orang buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-ajaran tentang Islam, lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan berpaling dari padanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah s.a.w.
C. REDAKSI YANG DIGUNAKAN DALAM PERIWAYATAN ASBAB AN NUZUL
Asbab al nuzul diketahui melalui beberapa bentuk susunan redaksi. Bentuk-bentuk redaksi itu akan memberikan penjelasan apakah suatu peristiwa itu merupakan asbab al nuzul atau bukan.Redaksi dari riwayat-riwayat yang shahih tidak selalu berupa nash sharih (pernyataan yang jelas) dalam menerangkan sebab turunnya ayat. Diantara nash ersebut ada yang menggunakan pernyataan yang konkret, dan ada pula yang menggunakan bahasa yang samar, yang kurang jelas maksudnya. Mungkin yang dimaksudkannya adalah sebab turunnya ayat atau hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
Redaksi yang digunakan para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya Alquran tidak selamanya sama.[6] Redaksi-redaksi itu berupa beberapa bentuk. pertama, redaksi asbab al nuzulberupa ungkapan yang jelas dan tegas, seperti نزلت هذه الأية كذا . Kedua, redaksi asbab al nuzul tidak ditunjukkan dengan lafadz sebab, tetapi dengan menggunakan lafadz fa ta’qibiyah yang masuk kedalam ayat yang dimaksud secara langsung setelah pemaparan suatu peristiwa atau kejadian. Ketiga, asbab al nuzuldipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini rosulullah ditanya oleh seseorang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang baru diterimanya. Keempat, asbab al nuzul tidak disebutkan dengan redaksi sebab secara jelas, tidak dengan menggunakan fa ta’qibiyah yang menunjukkan sebab, dan tidak pula berupa jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan, akan tetapi dengan redaks iنزلت هذه الأية فى كذا . Redaksi seperti itu tidak secara definitif menunjukkan sebab, tetapi redaksi itu mengandung dua kemungkinan, yaitu bermakna sebab turunnya (tentang hukum kasus) atau persoalan yang sedang dihadapi.
D. PROBLEMATIKA DAN SOLUSI ASBAB AN NUZUL
Asbab al nuzul sebagai suatu peristiwa sejarah tentu memiliki problematika dalam mengungkapkan segala peristiwa dan kejadian dari suatu sebab turunnya ayat Alquran. Tidak semua hadis tentang asbab al nuzul sanadnya muttasil, tetapi ada juga yang sanad periwayatannya terputus, atau kisah-kisahnya kurang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.[7]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa Al-Qur’an bukanlah merupakan sebuah buku dalam pengertian umum, karena ia tidak pernah diformulasikan, tetapi diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW.
Jenis-jenis Asbabun nuzul dapat dikatagorikan kedalam beberapa bentuk sebagai berikut:
1. sebagai tanggapan atas suatu peristiwa
2. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan yang kepada Rasul
3. Sebagai jawaban dari pertanyaan Rasul
4. Sebagai tanggapan atas pertanyaan yang bersifat umum
5. Sebagai teguran kepada Nabi
DAFTAR PUSTAKA
Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009
Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, Surabaya: IAIN SA Press, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar