Senin, 11 Juni 2012

Sasaran Pengetahuan



Sasaran Pengetahuan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangan dunia filsafat terutama dalam dunia filsafat ilmu hakikat-hakikat kebenaran sangat penting dan berperan sekali terhadap mencari kebenaran tersebut di dalam suatu masalah pokok. Setiap kebenaran harus diserap oleh kebenaran itu sendiri serta kepastian dari pengetahuan tersebut, dari suatu hakikat kebeneran merupakan suatu obyek yang terus dikaji oleh manusia terutama para ahli filsuf, karena hakikat kebenaran ini manusia akan mengalami pertentangan batin yakni konflik spikologis.
Menurut para ahli filsafat, kebenaran bertingkat-tingkat bahkan tingkatan tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain serta tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.

B.  Rumusan Masalah
§  Bagaimanakah instrumen atau sarana pengetahuan itu?


BAB II
PEMBAHASAN
Instrumen pengetahuan merupakan alat yang digunakan oleh manusia untuk memperoleh pengetahuan. Sesuai dengan hukum kausalitas bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, pengetahuan pun juga demikian. Pengetahuan merupakan sesuatu yang sifatnya aksidental dan pasti mempunyai sebab atau pun sumber. Selain memiliki sumber, dalam pengetahuan tentunya juga terdapat alat-alat yang dipergunakan untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri.
      Para filusuf menyebutkan beberapa instrumen pengetahuan, yaitu :
1.   Alat Indera
Manusia sebagai wujud materi tidak akan lepas hubungan interaktif dengan materi yang lain. Dalam hubungannya dengan materi lain itu diperlukan sebuah alat yang disebut dengan indera.
Manusia memiliki pancaindera, yaitu indera penglihatan, pendengaran, perasa, peraba, dan penciuman. Selanjutnya, untuk memperoleh pengetahuan yang sempurna beragam indera tersebut harus ada pada manusia. Apabila manusia kehilangan satu bentuk indera, maka ia kehilangan satu ilmu. Seperti yang dikatakan Aristoteles “Barang siapa yang kehilangan satu indera, maka ia kehilangan satu ilmu”.[1]
Satu contoh, jika seseorang dilahirkan dalam keadaan buta. Maka ia tidak mungkin dapat mengetahui macam-macam warna, berbagai bentuk dan jarak. Mustahil jika manusia lain dapat menjelakan masalah itu kepada orang yang sejak lahir buta. Di sinilah letaknya bahwa indera merupakan syarat untuk bisa mengetahui dan memahami sesuatu, tetapi bukan menjadi syarat mutlak dalam mendapatkan sebuah pengetahuan.[2]
Suatu pengalaman pancaindera dapat dibenarkan, jika: [3]
a)      Objek harus disesuaikan dengan indera kita : warna-warna inframerah atau objek-objek mikroskopik  tidak cocok bagi indera kita, begitu pula dengan objek-objek yang terlalu jauh.
b)      Organ indera harus normal dan sehat
Seiring dengan perkembangannya, persepsi yang mengandalkan pancaindera  pun perlahan mulai melemah.[4] Karena pancaindera manusia tidak sempurna dan sifatnya sangat terbatas.
1.1     Pandangan Sensualisme (Al-hissiyyin)
Kaum sensualisme, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indera saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indera realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja yaitu, menyusun dan memilah. Jadi yang paling berperan adalah indera.[5]
Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indera tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi (tidak dapat bersentuhan dengan indera) tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.
2.   Rasio (Akal Pikiran)
Rasio merupakan instrumen untuk memperoleh pengetahuan di samping alat indera. Rasio digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban suatu masalah pengetahuan. Pendekatan sistematis yang menggunakan rasio disebut pendekatan rasional. Dengan kata lain pendekatan rasional disebut dengan metode deduktif yang dikenal dengan Silogisme Aristoteles, karena memang dirintis oleh Aristoteles.[6]
Pada dasarnya sejak bayi hingga kanak-kanak kita hanya mampu memperoleh pengetahuan tentang diri dan objek-objek pengetahuan di sekitar kita melalui pengetahuan pancaindera (empirism).[7] Ketika dewasa kita mengetahui bahwa tidak semua pengetahuan yang diperoleh dari pancaindera tersebut dapat dipercaya atau dipedomani kebenarannya. Karena dalam hal tertentu hal pengalaman inderawi justru menipu, bahkan menyesatkan kita. Memasuki masa aqil-baligh pengetahuan kita semakin berkembang, penalaran kita mampu mengantarkan kita ke arah pengetahuan yang lebih tinggi serta mampu menyalahkan pengetahuan yang telah kita tangkap melalui inderawi. Dengan kata lain, semakin jauh manusia mengandalkan hidupnya pada pikirannya maka semakin lemah kemampuan pancainderanya. [8]
2.1     Pandangan Rasionalisme
            Plato dan Descartes mengemukakan bahwa alat untuk mendapatkan pengetahuan hanyalah rasio. Menurut Descartes, indera hanyalah berupa alat pelengkap kerja, bukan merupakan alat untuk mendapatkan sebuah pengetahuan.
            Rasio mampu menembus batas fisik bahkan sampai pada hal-hal yang bersifat metafisik. Akal pikiran selalu meragukan kebenaran pengetahuan inderawi sebagai pengetahuan yang semu dan menyesatkan. Dengan kata lain rasio cenderung memberikan pengetahuan yang lebih umum, objektif dan pasti, serta yang bersifat tetap, tidak berubah-ubah. Sehingga dapat diyakini kebenarannya meskipun bersifat apriorik-deduktif, dalam arti belum tentu dialami secara inderawi.[9]

3.   Hati (Intuisi)
Di atas telah dibahas instrumen pengetahuan, yaitu alat indera dan rasio (akal pikiran). Ada dua pendapat yang saling membenarkan pendapat mereka. Di satu sisi terdapat penganut pandangan sensualisme dan di sisi lain juga terdapat penganut pandangan rasionalisme, dan keduanya saling membenarkan pandangan masing-masing.
Namun ada juga yang tidak berpendapat di antara kedua pendapat tersebut, tidak mengatakan indera dan juga tidak mengatakan rasio, melainkan ada instrumen pengetahuan yang ke-3 yaitu hati (intuisi).
Beberapa ilmuwan barat mempercayai bahwa satu-satunya instrumen pengetahuan yaitu hati. Di antaranya seperti William James (ahli jiwa dan filsuf asal Amerika), Pascal (ahli matematika), Alexis Carrel, dan juga Bergson.
Menurut mereka, bahwa apa yang dikatakan tentang indera dan rasio tersebut sebenarnya bukanlah alat pengetahuan, melainkan hanya sekedar alat untuk mengarungi kehidupan. Dengan kata lain indera dan rasio bukanlah alat untuk mendapatkan pengetahuan. Alat untuk mendapatkan pengetahuan hanyalah hati.
Melalui yang ditangkap oleh indera dan akal pikiran, kemudian pengetahuan dapat dimiliki lewat hati. Pengetahuan melalui hati dapat diraih jika memenuhi syarat-syarat :[10]
1)      Hati harus bersih dari kemaksiatan
2)      Memfokuskan hati ke alam yang lebih tinggi
3)      Mengosongkan hati dari fanatisme, dan
4)      Mengikuti aturan-aturan sayr dan suluk
Seseorang yang hatinya seperti yang diuraikan di atas akan terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaan-Nya. Sebaliknya jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan terhalang dari manusia.
Beberapa sifat yang menjadi penghalang pengetahuan, seperti:[11] sombong, fanatisme, taqlid buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena ilmu, jiwa yang lemah (jiwa yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar), dan mencintai materi secara berlebihan.[12]
3.1     Pandangan Theosopi
Kaum empiris memandang bahwa ada itu sama dengan materi, sehingga sesuatu yang inmateri adalah tidak ada. Maka pengetahuan tentang inmateri pun juga tidak mungkin ada. Sebaliknya pandangan theosopi meyakini bahwa ada hal yang lebih luas dari sekedar materi, mereka meyakini keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan ini tidak mungkin melalui indera tetapi melalui akal atau hati.[13]
Tentu yang dimaksud pengetahuan melalui hati ini adalah pengetahuan tentang realita inmateri eksternal, kalau yang inmateri internal seperti rasa sakit, sedih, senang, lapar, haus, dan hal-hal intuitif lainnya sudah diyakini keberadaannya oleh semua orang tanpa terkecuali
 

BAB III
PENUTUP
A.    Analisis
Instrumen pengetahuan, merupakan berbagai alat yang diperlukan oleh manusia untuk mendapatkan sebuah pengetahuan. Dalam hal ini terdapat 3 instrumen yang diperlukan manusia untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu : alat indera, rasio (akal pikiran), dan hati (intuisi).
Alat indera, yakni dalam hubungan interaksi dengan materi lain yang terdapat di sekitar. Karena manusia hidup berdampingan dengan manusia dan objek-objek lain di sekitarnya. Oleh karena itu indera berperan dalam memperoleh suatu pengetahuan. Namun indera manusia manusia tidak sempurna dan sangat terbatas.
Karena terbatasnya indera yang dimiliki manusia, maka dibutuhkan instrumen pengetahuan yang lebih mendekati kebenaran yaitu rasio (akal pikiran). Melalui akal pikiran kita bisa menjangkau pengetahuan yang lebih luas dibandingkan pengetahuan yang kita peroleh melalui pengetahuan inderawi. Dengan rasio ini, kita memperoleh suatu pengetahuan melalui proses penalaran oleh akal pikiran yang kita miliki.
Selain  kedua instrumen yang telah disebutkan, masih terdapat instrumen pengetahuan yang bisa mempercayai keberadaan benda inmateri yaitu hati (intuisi). Hati mampu mengetahui hal yang menurut indera tidak pernah berwujud.
B.     Simpulan
Instrumen pengetahuan merupakan alat yang digunakan oleh manusia untuk memperoleh pengetahuan.
Untuk memperoleh pengetahuan yang sempurna beragam indera harus ada pada manusia. Apabila manusia kehilangan satu bentuk indera, maka ia kehilangan satu ilmu. Pandangan yang mendukung hal ini adalah pandangan sensualisme.
Rasio dibutuhkan untuk memperoleh pengetahuan yang benar, karena tidak semua pengetahuan yang diperoleh dari inderawi dapat dipercaya atau dipedomani kebenarannya. Dalam hal tertentu pengalaman inderawi justru menipu, bahkan menyesatkan. Pandangan yang mendukung hal ini adalah pandangan rasionalisme.
Namun masih ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya indera dan rasio bukanlah alat pengetahuan, melainkan hanya sekedar alat untuk mengarungi kehidupan. Dengan kata lain, indera dan rasio bukanlah alat untuk mendapatkan pengetahuan dan alat untuk mendapatkan pengetahuan hanyalah hati. Pandangan yang mendukung hal ini adalah pandangan theosopi. Dalam theosopi keberadaan ragam inmateri diyakini, mereka menganggap ada yang lebih luas dari sekedar materi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Rasyidin. Falsafah Pendidikan Islami. Bandung : Citapustaka Media
Perintis.2008.
Hadi, Hartono. Epistimologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta : Kanisius. 2001.
Qomar, Mujamil. Epistimologi Pendidikan Islam. Jakarta : Erlangga. 2006.
Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan.  Jogjakarta : Ar-Ruzz. 2005.
Sumiasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Prespektif. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.2009.
http://atangs.edublogs.org/materi-kuliah/filsafat-dan-etika-ilmu/makalah-filsafat-ilmu/



[2] Ibid,.
[3] Hartono Hadi.  Epistimologi Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta : Kanisius. 2001),hal.80
[4] Jujun S. Sumiasumantri. Ilmu dalam Prespektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2009),
hal.17
[5] http://atangs.edublogs.org/materi-kuliah/filsafat-dan-etika-ilmu/makalah-filsafat-ilmu/

[6] Mujamil Qomar. Epistimologi Pendidikan Islam(Jakarta: Erlangga.2006),hal.12
[7] Al-Rasyidin. Falsafah Pendidikan Islami(Bandung: Citapustaka Media Perintis.2008),hal.51
[8] Jujun S. Sumiasumantri. Ilmu dalam Prespektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2009),
hal.17
[9] Suparlan Suhartono. Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jogjakarta: Ar-Ruzz. 2005), hal.53

[10] http://atangs.edublogs.org/materi-kuliah/filsafat-dan-etika-ilmu/makalah-filsafat-ilmu/
[11] Ibid,.
[12] Ibid,.
[13] Ibid,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar