Senin, 11 Juni 2012

PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA


PERKEMBANGAN
MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam konteks Indonesia saat ini, Civic Education lebih tepat di terjemahkan sebagai ‘Pendidikan Kewargaan’ karena ia lebih menempatkan warga Negara sebagai subjek darin pada objek pembelajaran sebagaimana terjadi di masa lalu.
Di Indonesia, Pendidikan Kewargaan merupakan paradigm baru ‘Civics’ yang sudah di ajarkan di SMA sejak 1962. Sejak 1968, mata pelajaran  ‘Civics’ diganti dengan pendidikan Kewarganegaraan, yang isinya mencakup sejara Indonesia, geografi, ekonomi, politik dan pidato-pidato Presiden Soekarno.

B.     Rumusan Masalah
1.      Jelaskan pengertian masyarakat madani?
2.      Bagaimana Sejarah pemikiran masyarakat madani?
3.      Bagaimana masyarakat madani di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Masyarakat Madani
Wacana tentang masyarakat madani di Indonesia memiliki banyak kesamaan istilah dan penyebutan, namaun memiliki karakter dan peran yang berbeda satu dari yang lain.
Untuk pertama kali istilah Masyarakat Madani dimunculkanoleh Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana mentri Malaysia. Menurut Anwar Ibrahim, sebagaiman dikutip Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan  individu dengan kestabilan masyarakat.[1]
Menurutnya pula, masyarakat madani mempunyai ciri-cirinya yang khas: kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memahami dan menghargai. Lebih lanjut Ibrahim menegaskan, bahwa bahwa karakter masyarakat madani ini merupakan “guiding ideas”, minjam istilah Malik Bennabi, dalam melaksanakan ide-ide yang mendasari masyarakat madani, yaitu prinsip moral, keadilan, kesamaan, musyawara, dan demokrasi.[2]
Di bawah ini beberapa istilah dan penggagas yang mengacu pada pengertian masyarakat sipil, sebagaimana yang di rumuskan oleh Dawam Rahardjo.[3]


INDONESIA
ASING
Masyarakat Sipil
(Mansour Fakih)

Masyarakat Warga
(Soetandyo Wignyosubroto)

Masyarakat Kewargaan
(Franz-Magnis Suseno dan M. Ryas Rasyd)

Masyarakat Madani
(Anwar Ibrahim, Nurcholis Madjid, M. Dawan Rahardjo)

Civil Society (tidak diterjemahkan)
(M. AS. Hikam)
Koinonia Politike (Aristoteles)

Societas Civilis (Clcero)

Comonitas Civilis
Comonitas Politica
Societe Civile

Burgerlishe Gesellschaft
(Hegel)

Civil Society
(Adam Ferguson)

Civitas Etat

B.     Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society)
Dalam konteks sejarah, masyarakat madani merupakan impian sejarah yang ingin dilahirkan kembali sebagai tujuan akhir dalam konteks keindonesiaan. Substansi impian negeri masa lalu tersebut diciptakan sebagai upaya melahirkan kembali tatanan sosial dan maenstream poltok yang ada di Madinah pada era Rasulullah. Madinah dalam bahasa Arab adalah sama dengan polis dalam bahasa Yunani.[4]
Pada masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.[5]



C.    Masyarakat Madani Di Indonesia
Indonesia  memiliki tradisi kuat civil society (masyarakat madani). Bahkan jauh sebelum negara bangsa berdiri, masyarakat sipil telah berkembang pesat yang diwakili oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan  dan pergerakan nasional dalam perjuangan  merebut kemerdekaan. Selain berperan sebagai organisasi perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, organisasi berbasis islam, seperti Sarekat Islam (SI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah, telah menunjukkan kiprahnya sebagai komponen civil society yang penting dalam sejarah perkembangan masyarakat sipil di indonesia. Sifat kemandirian dan kesukarelaan para pengurus dan anggota organisasi tersebut merupakan karakter khas dari sejarah masyarakat madani di indonesia.[6]
Tentang masyarakat madani di indonesia, menurut Rahardjo, masih merupakan lembaga-lembaga yang dihasilkan oleh sistem politik represif. Ciri kritisnya lebih menonjol dari pada ciri konstruktifnya. Mereka, menurutnya, lebih banyak melakukan protes dari pada mengajukan solusi, lebih banyak menuntut dari pada memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah. 










BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa wacana tentang masyarakat madani di Indonesia memiliki banyak kesamaan istilah dan penyebutan, namaun memiliki karakter dan peran yang berbeda satu dari yang lain. Pada masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.



DAFTAR PUSTAKA

A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan, Jakarta: ICCE UIN SH Jakarta, 2008

Tim Penyusun MKD, Civic Education, Surabaya: IAIN SA Press, 2011

Tim Penyusun MKD, Pancasila, Surabaya: I


[1] Tim Penyusun MKD, Civic Education, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011) 139-140
[2] A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan, (Jakarta: ICCE UIN SH Jakarta, 2008) 193
[3] Ibid.,
[4] Tim Penyusun MKD, Pancasila, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011) 332-333
[5] A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan, (Jakarta: ICCE UIN SH Jakarta, 2008) 194
[6] Ibid., 204-205

Tidak ada komentar:

Posting Komentar