Sabtu, 29 September 2012

Refleksi Hari Gerakan 30S/PKI

Memori kelam atas peristiwa berdarah pada 30 September 1965 yang dimotori PKI, hingga detik ini masih saja terus melekat di bawah alam sadar masyarakat Indonesia. Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G30S/PKI (Gestapu) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 september sampai awal 1 Oktober, di mana tujuh pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kondisi ini tidak lepas dengan hegemoni menakutkan oleh rezim pemerintahan Orde Baru (Orba) yang menanyangkan film bertema pemberontakan G30S/PKI sebagai menu tontonan wajib. Ini yang kemudian memunculkan sebuah pola pikir (mindset) atas cara pandang masyarakat Indonesia dalam menilai Soekarno dan PKI.

Akibatnya, tanpa disadari selama berpuluh tahun publik tanah air telah masuk perangkap skenario politik pemerintah Orba. Inilah hegemoni yang paling mutakhir Orba pada masa itu.

Ernesto Laclau & Chantal Moliffe, menjelaskan bahwa konsep hegemoni muncul bukan sebuah tipe relasi baru yang memiliki identitas yang spesifik, namun untuk mengisi sebuah kekosongan yang terbuka dalam merantai keniscayaan sejarah. Memang G30S/PKI merupakan sebuah peristiwa gerakan tak manusiawi terkait pembantaian terhadap tujuh jenderal Indonesia, di mana jasad tersebut dimasukkan ke dalam sumur lubang buaya.

Ketujuh jenderal yang menjadi target operasi PKI adalah Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani, Letjen TNI Anumerta MT Haryono, Letjen TNI Anumerta S Parman, Letjen TNI Anumerta Suprapto, Mayjen TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, dan Kapten Czi Anumerta Pierre Tendean.

Dinamika Sejarah yang Timpang

Mengutip Karl Popper, meskipun sejarah tidak memiliki tujuan, kita dapat menempakan tujuan-tujuan kita ke dalamnya; dan meskipun sejarah tidak memunyai arti, kita dapat memberikan arti kepadanya. Kaitannya dengan ini, aksi yang disebut-sebut sebagai gerakan untuk melakukan kudeta terhadap negara (G30S/PKI) bagaimanapun menjadi penanda sejarah atas proses peralihan kekuasan.

Pembantaian jenderal yang kemudian jasadnya dimasukkan ke sumur lubang buaya, adalah sedikit dari kisah kejam yang ditampilkan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah kendali Soeharto. Benar kiranya pendapat seorang aktivis Indonesia Soe Hok Gie dalam sebuah artikelnya berjudul Kuli, Penguasa atau Pemegang Saham (Zaman Peralihan: 1999).

Bahwa sebenarnya dalam tragedi G30S/PKI telah terjadi transaksi kotor kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Pasalnya, Gie melihat, proses peralihan kekuasaan ini tidak didasarkan pada niatan untuk mengembangkan masyarakat, namun sekadar perebutan kekuasan politik, dengan retorika menyelamatkan rakyat yang hanya sebatas alibi.

Dalam konteks ini, PKI sendiri mempunyai kepentingan dalam penumpasan tersebut. Bila dilacak akarnya, PKI adalah pendukung terkuat Soekarno, sebaliknya, Soekarno sendiri pendukung terkuat PKI demi sebuah citra bagi dunia internasional bahwa Indonesia tidak mudah dimasuki pengaruh Amerika Serikat.

Karena PKI takut kehilangan dukungan dari presiden, maka PKI harus secepatnya menumpas Dewan Jenderal sebelum Dewan Jenderal menggulingkan Soekarno. Dari hal tersebut tampak bagaimana spekulasi politik "dagang sapi" diperagakan dan memang situasi saat itu sangat gaduh. Maka, direncanakanlah sebuah aksi untuk menumpas Dewan Jenderal.

Akhirnya, para pemimpin PKI sepakat tanggal yang tepat untuk melakukan aksi adalah pada 30 September. Para pemimpin PKI melakukan rapat tentang aksi yang bakal mereka lakukan. Sedikit pun mereka tidak menyinggung nama Soeharto karena memang Soeharto kala itu bukan siapa-siapa. Dia tidak lain hanyalah seorang prajurit TNI berpangkat tinggi yang tidak diperhitungkan dan tidak penting sama sekali.

Di sisi lain, Soeharto sendiri juga mengetahui tentang adanya resolusi Dewan Jenderal dan mengetahui bahwa PKI akan melancarkan aksi untuk menumpasnya. Namun, dia hanya diam. Soeharto juga memiliki kepentingan jika PKI berhasil. Kepentingan Soeharto sebenarnya adalah agar dia mulai dianggap penting dan kembali diperhitungkan di kancah percaturan negeri ini, sehingga dia bisa mendapat jabatan yang lebih penting dari jabatan yang dia pegang saat itu.

Dia biarkan PKI melakukan aksinya dengan membunuh para perwira tinggi TNI yang memang memegang jabatan penting di negara. Dengan demikian, akan semakin berkurang saingan bagi Soeharto untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dan lebih penting dari sekadar panglima Kostrad.

Melihat kenyataan itu, peristiwa G30S/PKI tidak disia-siakan oleh Soeharto. Terbukti pasca peristiwa 1965 Soeharto dengan mengatasnamakan mandat surat supersemar, ia menduduki kekuasan tertinggi negeri ini. Secara historis, dinamika politik kekuasaan di negeri ini menyimpan persoalan-persoalan pelik, yang dibalut dengan jubah kepahlawanan. Kondisi ini tak lepas dari rezim pasca-Demokrasi Terpimpin Soekarno dengan PKI-nya, yang kemudian masuk Orde Baru di bawah Soeharto juga tak kalah mengerikan.

Bagaimana pembantaian dan penindasan hak terjadi di mana-mana. Singkat kata, momentum memperingati G30S/PKI kali ini bisa dijadikan sebagai starting point untuk lebih arif dan bijak dalam melihat realitas dinamika sejarah bangsa ini.
source

Tidak ada komentar:

Posting Komentar