Senin, 11 Juni 2012

Pandangan-pandangan filsafat Aliran empirisme


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembicaraan tentang filsafat islam  tidak bisa terlepas dari pembicaraan filsafat secara umum. Akan tetapi, berfikir filsafat dalam arti berfikir bebas dan mendalam atau radikal yang tidak dipengaruhi oleh dogmatis dan tradisi disponsori oleh filosof-filosof yunani.
 
B.     Rumusan  Masalah
1.      Jelaskan pengertian dari aliran empirisme?
2.      Sebutkan dan jelaskan kritikan Hume terhadap agama?
3.      Bagaimana pendapat Jhon Locke dan David Hume tentang aliran Empirisme? 




BAB II
PEMBAHASAN

1.    PENGERTIAN ALIRAN EMPIRISME
Aliran empirisme berasal dari kata yunani empeiria yang berarti “pengalaman inderawi”. Empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan dan  yang di maksudkan degannya baik pengalaman lahiria yang menyangkut dunia maupun pengalaman batinia yang menyangkut prribadi manusia saja.[1]
Tidak mengherankan bila rasionalisme dan emperisme masing-masing mempunyai pendirian yang sangat berlainan tentang sifat pengenalan manusiawi. Rasionlisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja. Sebaliknya, empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Seperti kita lihat pada rasionalisme di daratan Eropa, pada empirisme Inggrispun masalah subtansi ramai di bicarakan.
Paham ini di plopori oleh Francois Bacon. Bacon telah memberi pandangan baru yang cukup berarti bagi dunia ilmu dan kehidupan manusia. Tugas yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan adalah mengusahakan penemuan-penemuan yang meningkatkan kemakmuran dan hidup yang enak. Hingga kini penemuan-penemuan yang ada terjadi karena kebetulan saja. Mulai sekarang penemuan-penemuan harus di lakukan karena tugas dan secara metodis. Agar supaya tugas itu dapat di laksanakan, perlukan:
a.       Bahwa alam di wawancarai
b.      Bahwa orang bekerja menurut suatu metode yang benar
c.       Bahwa orang bersikap pasif terhadap bahan-bahan yang di sajikan alam
Artinya, orang harus menghindarkan diri dari mengemukakan prasangka-prasangka terlebih dahulu. Hal ini di pandang perlu guna mencegahtimbulnya gambaran-gambaran yang keliru[2].

David Hume adalah tokoh filsafat barat yang mengembangkan filsafat empirisisme Locke dan Berkley secara konsekuen. Menurut David Hume, Manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengatamatan. David Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih member keyakinan di banding kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat [3].

2.      KRITIKAN HUME TERHADAP AGAMA
kritik hume terhadap agama tampaknya tidak seluruhnya dapat di pertanggung jawabkan. Hume terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan tentang teologi. Di antara kritikan hume yang tidak relevan itu adalah:
pertama, hume cenderung mempertentangkan dua bentuk-bentuk teisme yang monopolar dan mengabaikan sintesis dipolar. Dalam hal ini ada dua polar, yaitu mistisme dan antropomorpisme. Dalam mistisme, Tuhan berada dalam konsepsi yang negative dan sempurna, sedangkan antropomorpisme, Tuhan berada dalam konsepsi positif, tetapi tidak sempurna.tuhan adalah sempurna, abadi, dan wajib ada.
Kedua, hume mengabaikan peranan akal dalam menangkap realitas. Padahal akal mampu menghubungkan kejadian-kejadian yang lampau dengan kejadian yang sekarang dan bahkan meramalkan sesuatu untuk yang akan datang. Akal merupakan salah satu anugra Allah Swt. Yang paling istemewa bagi manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termaksud dirinya sendiri.[4]    Akal yang demikian mampu mencapai wujud yang tidak bermateri, yaitu, Tuhan. Jadi, tuhan secara priori mampu dijelaskan oleh kekuatan akal. Dengan demikian, kesimpulan Hume tentang daya dan kemampuan akal terkesan sangat dangkal dan tergesa-gesa.
Ketiga, Hume terlalu meredusir semua realitas dalam kajian empiris, sehingga dia terjerumus pada determinisme empiris. Realitas alam menjadi sempit dan kecil, serta mutlak dan tidak perna berubah. Padahal realitas sangat luas dan di luar alam empiris masih terdapat wujud lain.[5]

3.    PENDAPAT JOHN LOCKE, DAVID HUME          DAN THOMAS HOBBES

A.    John Locke
Locke menyatakan bahwa semua pemikiran dan gagasan kita berasal dari sesuatu yang telah kita dapatkan melalui indra. Sebelum kita merasakan sesuatu, pemikiran kita merupakan “tabularasa” atau kertas kosong. Ia sama kosongnya seperti ruangan yang belum dilengkapi perabot. Namun, kemudian kita merasakan sesuatu. Kita melihat dunia di sekililing kita, mencium, mengecap, merasa, dan mendengar.dan tidak ada yang melakukan semua ini secara lebih bersemangat disbanding bayi. Dengan cara ini, muncullah apa yang di sebut Locke gagasan-gagasan indra sederhana.[6] Akan tetapi, pikiran tidak hanya bersikap pasif menerima informasi dari luar. Beberapa aktifitas berlangsung di dalam pikiran pula. Gagasan-gagasan dari indra itu diolah dengan cara berpikir, bernalar, memercayai, dan meragukan. Dengan demikian, menimbulkan apa yang dinamakannya perenungan. Jadi, dia membedakan antara pengindraan dari’perenungan’. Akan tetapi, analisis akhir, semua bahan bagi pengetahuan kita tentang dunia kita dapatkan melalui pengindraan. Oleh karena itu, pengetahuan yang tidak dapat dilacak kembali pada pengindraan sederhana adalah pengetahuan yang keliru sehingga harus kita tolak.
Demikianlah, pernyataan diatas menjawab pertanyaan tentang dari mana kita mendapatkan gagasan-gagasan kita.
Locke juga mengakui apa yang dinamakannya pengetahuan intuitif, atau demontratif. Misalnya, dia berpendapat bahwa prinsip-prinsip etika tertentu berlaku untuk semua orang. Locke juga percaya, sama dengan rasionalistik bahwa akal manusia mampu mengetahui bahwa Tuhan itu ada.[7]

B.     David Hume
Menurut Hume dalam budi kata tidak ada suatu ide yang tidak sesuai dengan empression yang dikarenakan “hsl” di luar kita. Apa saja yang merupakan pengetahuan itu hanya di sebabkan oleh pengalaman./”Hal” nya sendiri tidak dapat di kenal, hanya mendapat impression itu. Adapun yang bersangkutan dengan indera kita itu sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut.[8]
Alat indera kita menyampaikan kepada kita tentang warna, ukuran, kandungan, tetapi baik indera maupun akal tidak memberitahukan kepada kita tentang sifat-sifat itu mengenai caranya menjadikan kita kenyang dan badan menjadi kuat. Jadi, tidak ada yang kita ketahui mengenai hubungan antara sifat-sifat objek itu dengan akibat yang ditimbulkannya. Jiwa tidak mempunyai pedoman untuk membentuk konklusi mengenai hubungan yang konsisten dan teratur, yang sebelumnya yang disangka bahwa jiwa dituntun oleh sifat-sifat objek dalam memahami dam memprediksi sebab-akibat. Sama halnya dengan pengalaman masa lalu, ia hanya dapat memberi arah dan informasi mengenai objek pada saat dialami, tetapi bagaimana pengalaman itu itu dikenakkan pada masa  depan atau pada objek lain, yang antara keduanya mempunyai kemiripan lahiriah, kita tidak tahu.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa filsafat empirisme membuka jalan menuju skeptic seluas-luasnya. Di sana-sini, hal itu dirasakan benar sehingga derajat ilmupun mungkin merosot. Sebab, bagaimana ilmu itu mendasarkan pengetahuan atas pengalaman, ia selalu mempergunakan putusan-putusan yang berlaku umum dengan memakai pengertian-pengertian yang umum pula.[9]



C.   Thomas Hobbes
Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun alatnya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan kata-kata yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian; ruang, waktu, bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran kita.[10]

Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.
Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes menyatakan bahwa tidak ada yang universal kecuali nama belaka. Konsekuensinya ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan benar atau tidak benar itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas di dalam pikiran orang.
Pandangan Thomas Hobbes sangat mekanistik. Karena mrupakan bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. Ini yang menyebabkan Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini menyebabkan adanya ungkapan homo homini lupus yang berarti bahwa manusia adalah srigala bagi manusia lain.

 

BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa rasionalisme dan emperisme masing-masing mempunyai pendirian yang sangat berlainan tentang sifat pengenalan manusiawi Rasionlisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja. Sebaliknya, empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.

DAFTAR PUSTAKA


Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama,  Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1993

K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Jogjakarta: Kanisius, 1975

Moh. Ma’mun, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia, 2007

Sirajuddin,  Filsafat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004

Sudarsono, Ilmu Filsafat, Jakarata: Renika Cipta, 2008


[1] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Jogjakarta: Kanisius, 1975) 50
[2] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) 316-317
[3]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999) 108
[4]Sirajuddin,  Filsafat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004) 1
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999) 112-113
[6] Moh. Ma’mun, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 161
[7] Ibid., 163
[8] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarata: Renika Cipta, 2008) 321
[9] Moh. Ma’mun, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 167
[10] Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,(Yogyakarta: Kanisius, 1993) 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar