Minggu, 03 Juni 2012

Jadilah Orang Baik Terhadap Semua Perbedaan


Jadilah Orang Baik Walaupun Berbeda

Menjadi orang yang baik adalah impian semua umat manusia di dunia ini. Entahkah ia miskin atau kaya, raja atau rakyat jelata, semuanya tentu ingin menjadi orang baik yang baik-baik saja hidupnya. Tapi apa sih kriteria menjadi orang baik itu? Apakah karena dianya dekat dengan Sang Pencipta? Atau karena sikapnya yang santun? Karena ia orang yang bijaksana, dan selalu berpikir bahwa dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara? Ataukah orang baik itu adalah mereka yang tekun dan rajin beribadah? Mungkin saja semuanya itu betul, tapi bagi saya semuanya itu masih kurang kalau belum ditambah dengan sikap menghargai dan mau menerima perbedaan.

Bagi umat muslim, prinsip-prinsip yang sudah dijunjung oleh Nabi Muhammad seperti aturan paten yang memang tidak bisa di rubah. Bahwa pada dasarnya manusia hidup di dunia ini hanyalah untuk berbuat baik. Lihatlah dan dengarlah ceramah-ceramah agama yang selalu dan selalu saja “menyuruh” orang untuk selalu dekat dengan Tuhan. Memikirkan akhirat adalah hal yang utama dan selalu diajar-ajarkan. Terus terang saja walau saya bukan muslim tapi saya kagum dengan sosok-sosok seperti Aa. Gym, Alm. Zainuddin MZ, Gus Dur, Cak Nur, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang mengajarkan banyak kebaikan tanpa pernah menyepelekan tentang betapa pentingnya menghargai perbedaan.

Bagi umat kristiani tentu saja keteladanan Yesus Kristus harus terus dipelajari, dan bukan hanya itu saja, tapi juga supaya diusahakan sebisanya untuk mengejahwantahkan dalam perbuatan setiap hari. Segala kebaikan yang Ia ajarkan. Segala teladan yang Ia sudah tunjukkan. Termasuk bagaimana mengasihi sesama manusia, dan bukan hanya sesama manusia yang seagama saja. Mengasihi sesama manusia, titik! Bukan sesama orang Kristen saja.


Saya begitu yakin bahwa semua orang pada dasarnya baik dan bijaksana. Bukankah mereka rela banting tulang dan bekerja keras bukan untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk hidup dan kehidupan orang lain. Ketika mereka mau tersenyum dan menyapa orang lain juga adalah contoh klise bahwa manusia sebenarnya dapat menjadi baik dan semakin baik lagi kalau mereka sendiri mau untuk itu. Bahkan ada penelitian yang mengatakan sejahat apapun manusia itu tetaplah masih ada butir-butir kebaikan dalam dirinya. Bahwa manusia yang jahat sekalipun, tetaplah pantas dan layak mendapatkan cinta dan kasih.

Di India ada sebuah penjara yang paling angker. Anda mungkin sudah pernah mendengar penjara bernama Tihar di pusat New Delhi India. Di situ sudah terkenal sebagai penjara paling mengerikan, kotor, rusak dan penuh kejahatan terselubung. Makanan yang dimasak di dapur penjara itu untuk makanan para narapidana adalah sayur mayur saja, tapi menurut kesaksian beberapa narapidana justru terlihat seperti non vegetarian food karena sayurannya sudah dipenuhi banyak serangga.

Nah, di dapur itu yang menjadi juru masaknya adalah seorang narapidana yang bisa masak, tapi ia tidak dibayar. Ironisnya, narapidana yang tidak dibayar untuk masak memasak itu adalah juga orang yang menyebarkan dan menularkan kuman, cacing, dan bakteri karena kukunya tidak pernah dipotong, tangan dan baju tidak pernah dicuci, serta rambut yang kusut dan kumal. Pokoknya serba kotor dan menjijikkan. Tukang masak di penjara itu tidak pernah diperiksa kesehatannya, padahal ada yang akhirnya ketahuan menderita penyakit TBC dan infeksi saluran penapasan, serta penyakit-penyakit menular lainnya. Jadi inilah gambaran betapa jorok dan kotornya penjara tersebut.

Penjara Tihar juga sangat terkenal dengan berbagai tragedi yang menyayat hati. Di situ juga sering terjadi peperangan antar geng, tempatnya para narapidana yang menjalankan praktek pemerasan dari balik jeruji, sarana korupsi yang sudah luar biasa merajalela oleh para aparat, serta kekerasan dan penganiayaan. Tempat yang sangat layak disebut neraka. Lalu apakah ribuan orang dibalik jeruji besi itu lantas bukan siapa-siapa lagi, dan pantas dihabisi saja? Atau dikucilkan, dibiarkan, dan dibuang saja?

Bagi Dr. Kiran Bedi jawabannya adalah ”tidak!” Mereka tetap pantas dikasihani dan dikasihi. Kiran Bedi adalah seorang Inspektur Jendral yang ditugasi untuk memimpin penjara paling angker Tihar tersebut. Sewaktu baru ditunjuk, sebagai orang baru ia berkeyakinan sangat teguh bahwa ia akan bisa menjadikan penjara itu menjadi Nirvana atau sorga bagi banyak orang. Anda mau tahu apakah ia berhasil atau tidak? Setelah bertahun-tahun memimpin penjara Tihar, wanita itu akhirnya berhasil mengubah penjara itu menjadi ’sorga’ bagi setiap penghuni di dalamnya. Ia melakukan semuanya itu dengan segala cinta dan kasih yang ia miliki. Cinta dan kasih yang tulus seperti yang dipunyai seorang Mother Theresa. Mereka memperjuangkan amanat cinta kasih itu tanpa pernah membeda-bedakan. Bagi mereka itulah arti menjadi orang baik.

Dr. Kiran Bedi dianugerahi penghargaan Tom Gitchoff Award pada tahun 2001 di Amerika Serikat, karena dianggap telah berhasil mengubah secara signifikan kualitas keadilan di India. Keberhasilannya membuat Tihar menjadi Nirvana juga menjadi sorotan banyak media masa kala itu. Bahkan ada sebuah kesaksian dari bekas narapidana di penjara itu yang menulis seperti ini:

”Aku menyangka Nirvana itu hanya ada ketika nyawaku telah tiada, namun ternyata aku salah. Nirvana tidak hanya berada di alam sana. Ialah Tihar, sebuah Nirvana di balik jeruji besi.”

Manusia dengan latar belakang yang berbeda baik dari segi suku, ras, agama, dan warna kulit adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Semua hal berbeda itu sudah ada sebelumnya dan seorang anak manusia harus belajar untuk menerima semuanya itu dengan hati yang terbuka. Karena dihadapkan pada aneka kenyataan perbedaan yang terberi ini, manusia belajar untuk menyesuaikan diri agar bisa berelasi dengan sebaik mungkin dan secara harmonis dengan yang lain (yang berbeda dengan dirinya). Dengan demikian, realitas perbedaan tidak bisa dihapus sama sekali dari muka bumi ini demi sebuah harmoni palsu yang ingin dibangun. Sebab harmoni sejati dibangun bukan di atas kesamaan, tetapi di atas perbedaan. Kalau itu bisa terpahami dengan benar, maka menjadi orang yang baik bukan lagi sekedar slogan atau fatamorgana semata. Menjadi orang baik seperti apa yang dicontohkan Dr. Kiran Bedi boleh pula kita alami, lalui, bahkan lakukan dalam hidup kita yang singkat ini.

Saya pernah mendengar sebuah pandangan yang mengatakan bahwa katanya kenapa sih kita tidak membuat sebuah pembaharuan dengan cara homogenisasi terhadap perbedaan itu agar bisa mengurangi ketegangan dan konflik? Seperti apa misalnya? Ya, katanya lebih baik semua manusia tidak beragama saja, agar bisa hidup damai, rukun, dan tentram dengan tetangganya. Lebih baik menjadi atheist. Bagi saya sikap, dan cara pandang seperti itu adalah kekanak-kanakkan, dan terlalu pragmatis dalam menyikapi perbedaan. Atau ada juga yang menganjurkan, supaya damai di bumi akan tercipta, maka lebih baik semua orang memeluk satu agama yang sama. Itu adalah cara dan sikap yang tidak benar. Untuk kita menjadi seorang yang baik, haruskah karena memiliki persamaan?

Bukankah daripada berusaha mati-matian untuk menciptakan homogenisasi terhadap sebuah kenyataan yang sudah pasti sangat heterogen, yang sebenarnya sudah Tuhan ciptakan dengan amat sangat indah, adalah lebih realistis dan acceptable jika manusia belajar untuk menghadapi kenyataan hidup  yang serba berbeda dan jamak ini sebagai sebuah kekayaan.

Kita harusnya memandang perbedaan itubukan sebagai “momok yang menakutkan”, karena kalau itu yang terjadi maka jelas akan menghambat ruang gerak dalam berelasi satu sama lain. Sebagai pemeluk agama, ras yang berlainan, datang dari budaya yang tak sama, status sosial yang bertolak belakang, yang memang sampai kapan pun tidak akan menjadi satu dan sama, marilah kita belajar untuk memandang yang lain sebagai “sesama saudara ciptaan Tuhan”. Sesuatu yang indah dan baik yang sudah Tuhan berikan. Ingatlah bahwa ketika Tuhan menciptakan manusia pertama itu, Adam dan Hawa, IA melihat bahwa ciptaanNya itu sungguh teramat baik. Kita ini adalah mahluk mulia, seberapa pun perbedaan kita, tetaplah saudara di dalam DIA.

Yang lain itupun (baca: yang berbeda), akan kita anggap sebagak kawan dan bukan lawan yang harus ditaklukan dan dikalahkan. Hidup ini bukan soal kalah-menang, bukan soal menakhlukan yang berbeda dengan saya agar menjadi sama dengan saya, masuk dalam kelompok saya, menganut agama saya, mengikuti budaya saya, dan sebagainya. Menjadi orang baik itu bukan ketika kita berhasil membuat banyak orang mengubah diri mereka untuk menjadi sama seperti kita. 

Kita sebenarnya bisa menciptakan atau menghadirkan surga di bumi ini. Sebagaimana Dr. Kiran menghadirkan surga di penjara Tihar, kita pun dapat menghadirkan surga di mana pun kita berada. Tapi bagaimana mungkin bisa menjadi tempat yang nyaman dihuni jika di mana-mana terjadi gontok-gontokkan, perang, pembunuhan, penghancuran, karena tidak bijak menyikapi perbedaan? Bagaimana bumi bisa menjadi tempat yang layak dihuni, jika bumi terus dirusak dengan cara-cara sadis hanya karena masalah perbedaan?

Andai saja semakin banyak orang menyadari dan menghargai bahwa perbedaan itu kekayaan yang bisa membentuk sebuah simfoni kehidupan yang indah, maka semua makluk tidak perlu menantikan menikmati surga sesudah kematian tetapi bisa mulai mengecapi nikmatnya surga itu saat ini dan di sini, di bumi ini. Kenikmatan surga yang sesungguhnya bisa dinikmati Anda dan saya, selama hayat masih dikandung badan. Selama kita masih hidup. Tapi menghadirkan surga di bumi ini akan menjadi sulit terwujud karena manusia terlalu picik dalam menyikapi semua perbedaan. Manusia belum mampu menjadi orang baik bila berhadapan dengan orang lain yang berbeda dengan dirinya.

***
 

“ Hargailah perbedaan, maka engkau akan dihargai oleh DIA yang sudah menciptakan kita secara berbeda “ --- Michael Sendow

Tidak ada komentar:

Posting Komentar