Sabtu, 09 Juni 2012

undang-undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1976
TENTANG
NARKOTIKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu
pengetahuan;
b. bahwa sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama;
c. bahwa pembuatan, penyimpanan, pengedaran dan penggunaan narkotika tanpa
pembatasan dan pengawasan yang saksama dan bertentangan dengan peraturan yang
berlaku merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan
merupakan bahaya besar bagi peri kehidupan manusia dan kehidupan negara di bidang
politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia
yang sedang membangun;
d. bahwa untuk mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan
pengobatan dan atau ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-
bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari penggunaan dan
penyalahgunaan narkotika, serta rehabilitasi terhadap pecandu narkotika perlu ditetapkan
Undang-undang tentang narkotika yang baru, sebagai pengganti Verdoovende Middelen
Ordonnantie (Stbl. 1927 Nomor 278 Jo. Nomor 536) yang telah tidak sesuai lagi dengan
kemajuan teknologi dan perkembangan zaman.

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068);
3. Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1942);
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian
(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 245, Tambahan lembaran Negara Nomor 2289);
5. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan
(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 254, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2298);
6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran Negara Tahun 1963
Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2580);
7. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Tahun
1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2805);
8. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951);
9. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3039);
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika
1961, beserta Protokol yang mengubahnya (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3085).
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 Nomor 278 jo Nomor 536)
sebagaimana telah diubah dan ditambah.

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:
1. Narkotika adalah:
a. bahan-bahan yang disebut pada angka 2 sampai dengan angka 13;
b. garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina;
c. bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebutkan yang
dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat
ketergantungan yang merugikan seperti Morfina atau Kokaina;
d. campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan yang tersebut
dalam huruf a, b, dan c.
2. Tanaman Papaver adalah tanaman Papaver somniferum L, termasuk biji, buah dan
jeraminya.
3. Opium Mentah adalah getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver
somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkusan dan
pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinanya.
4. Opium Masak adalah:
a. Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan
pengolahan, khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian, dengan atau
tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud merubahnya menjadi suatu
ekstrak yang cocok untuk pemadatan;
b. Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa memperhatikan apakah candu
itu dicampur dengan daun atau bahan lain;
c. Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
5. Opium Obat adalah opium mentah yang telah mengalami pengolahan sehingga sesuai untuk
pengobatan, baik dalam bentuk bubuk atau dalam bentuk lain, atau dicampur dengan zat-zat
netral sesuai dengan syarat farmakope.
6. Morfina adalah alkaloida utama dari opium, dengan rumus kimia C17H19NO3.
7. Tanaman Koka adalah tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae.
8. Daun Koka adalah daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari
semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae, yang menghasilkan
kokaina secara langsung atau melalui perubahan kimia.
9. Kokaina Mentah adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun Koka yang dapat diolah
secara langsung untuk mendapatkan Kokaina.
10. Kokaina adalah Metil ester 1-bensoil ekgonina dengan rumus kimia C17H21NO4,
11. Ekgonina adalah 1-ekgonina dengan rumus kimia C9H15NO3H20 dan ester serta turunan-
turunannya yang dapat diubah menjadi Ekgonina dan Kokaina.
12. Tanaman Ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus Cannabis, termasuk biji
dan buahnya.
13. Damar Ganja adalah damar yang diambil dari tanaman Ganja, termasuk hasil
pengolahannya, yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.
14. Wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah daratan dan perairan Indonesia beserta udara di
atas wilayah daratan dan perairan Indonesia, instalasi di landas kontinen, demikian juga
kapal atau pesawat udara berbendera Indonesia yang berada di Wilayah lain dan tempat-
tempat yang menurut ketentuan yang berlaku termasuk wilayah Indonesia.
15. Impor, adalah memasukkan narkotika ke dalam wilayah Indonesia, termasuk memuat atau
menyimpannya di dalam pesawat udara atau kapal berbendera Indonesia di luar negeri yang
akan atau sedang menuju Indonesia.
16. Ekspor adalah mengeluarkan obat-obatan yang mengandung narkotika dari wilayah
Indonesia, termasuk memuat atau menyimpannya di dalam pesawat udara atau kapal
berbendera Indonesia yang akan atau sedang meninggalkan Indonesia.
17. Sertifikat Impor adalah keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan
mengenai, nama, jenis atau sifat dan jumlah atau berat narkotika yang disetujui untuk
diimpor, nama dan alamat importir dan eksportir, jangka waktu pelaksanaan impor dan
keterangan bahwa impor tersebut hanya untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan
ilmu pengetahuan.
18. Sertifikat Ekspor adalah keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh atau atas nama
pemerintah negara pengekspor mengenai nama, jenis atau sifat dan jumlah atau berat
narkotika yang disetujui untuk diekspor, nama dan alamat eksportir dan importir, jangka
waktu pelaksanaan ekspor dan lain-lainnya.
19. Izin Impor adalah izin khusus yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan setelah
memperoleh Keputusan Menteri Kesehatan untuk mengimpor narkotika.
20. Izin Ekspor adalah izin khusus yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan setelah
memperoleh Keputusan Menteri Kesehatan untuk mengekspor obat-obatan yang
mengandung narkotika.
21. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan nasional yang berbadan hukum yang memiliki
izin usaha perdagangan besar dari Menteri Perdagangan dan memiliki izin khusus dari
Menteri Kesehatan.
22. Pabrik Farmasi adalah perusahaan nasional berbadan hukum yang memproduksi, mengolah
dan atau merakit narkotika serta memiliki izin khusus dari Menteri Kesehatan.
23. Transito adalah pengangkutan narkotika melalui dan singgah di Indonesia, dengan atau
tanpa pindahnya sarana pengangkutan, antara 2 (dua) negara lain.
24. Alat Angkutan adalah setiap alat yang dapat mengangkut narkotika baik di darat, di air atau
di udara.
25. Nakhoda adalah setiap pemimpin atau yang menggantikannya dari suatu kapal atau
kendaraan air lainnya.
26. Kapten Penerbang adalah setiap pemimpin atau yang menggantikannya dari suatu pesawat
udara.
27. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan alat pengangkutan di darat.
28. Dokter adalah dokter umum, dokter ahli, dokter gigi dan dokter hewan yang berdasarkan
peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek pengobatan
sesuai dengan bidang kedokterannya.
29. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis akibat penggunaan atau
penyalahgunaan narkotika.
30. Rehabilitasi adalah usaha memulihkan untuk menjadikan pecandu narkotika hidup sehat
jasmaniah dan atau rohaniah sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali
ketrampilannya, pengetahuannya serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup.
Pasal 2
Menteri Kesehatan berwenang menetapkan:
i. alat-alat penyalahgunaan narkotika;
ii. bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai bahan dalam pembuatan narkotika;
sebagai barang di bawah pengawasan.

BAB II
NARKOTIKA UNTUK KEPENTINGAN PENGOBATAN DAN ATAU TUJUAN ILMU
PENGETAHUAN

Pasal 3
(1) Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu
pengetahuan.
(2) Menteri Kesehatan berwenang menetapkan narkotika tertentu yang sangat berbahaya
dilarang digunakan untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.

Pasal 4
(1) Untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan kepada lembaga ilmu
pengetahuan dan atau lembaga pendidikan dapat diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk
membeli, menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan, ataupun menguasai
tanaman Papaver, Koka dan Ganja.
(2) Lembaga yang menanam Papaver, Koka dan Ganja wajib membuat laporan tentang luas
tanaman, hasil tanaman dan sebagainya yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 5
(1) a. Menteri Kesehatan memberikan izin kepada apotik untuk membeli, meracik,
menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai, menjual,
menyalurkan, menyerahkan, mengirimkan dan membawa atau mengangkut narkotika
untuk kepentingan pengobatan;
b. Menteri Kesehatan memberikan izin kepada dokter untuk membeli, menyediakan,
memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai, menyalurkan, menyerahkan,
mengirim, membawa atau mengangkut dan menggunakan narkotika untuk kepentingan
pengobatan.
(2) a. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada pabrik farmasi tertentu untuk
membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai,
memproduksi, mengolah, merakit, menjual, menyalurkan, menyerahkan, mengirim dan
membawa atau mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu
pengetahuan;
b. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada pedagang besar farmasi tertentu
untuk membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai,
menjual, menyalurkan, menyerahkan, mengirim dan membawa atau mengangkut
narkotika untuk kepentingan pengobatan dan membawa atau mengangkut narkotika
untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
c. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada rumah sakit untuk membeli,
menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai, menyerahkan,
mengirim, membawa atau Mengangkut dan menggunakan narkotika untuk kepentingan
pengobatan;
d. Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada lembaga ilmu pengetahuan dan
lembaga pendidikan untuk membeli dari pedagang besar farmasi, menyediakan,
memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai dan menggunakan narkotika
untuk tujuan ilmu pengetahuan;
e. Izin khusus selain yang tersebut dalam pasal ini diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersendiri.


Pasal 6
(1) Apotik, pabrik farmasi, pedagang besar farmasi dapat membeli narkotika dari importir
pedagang besar farmasi tersebut dalam Pasal 9.
(2) Ketentuan-ketentuan tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh apotik, pabrik farmasi,
lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 7
(1) Yang dapat menyalurkan narkotika kepada pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) hanyalah apotik.
(2) Apotik dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar resep yang sama dari
seorang dokter atau atas dasar salinan resep dokter.

Pasal 8
(1) Narkotika dapat dipergunakan untuk pengobatan penyakit hanya berdasarkan resep dokter.
(2) Ketentuan-ketentuan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penderita penyakit yang
memerlukan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan.

Pasal 9
Untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan, narkotika hanya dapat diimpor
ke Indonesia oleh satu importir pedagang besar farmasi setelah memperoleh keputusan Menteri
Kesehatan dan mendapat izin impor dari Menteri Perdagangan.

Pasal 10
(1) Mengimpor narkotika yang dimaksud dalam Pasal 9 atau mentransito narkotika harus
disertai sertifikat impor yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.
(2) Sertifikat impor dapat diberikan, setelah diterima permohonan tertulis yang dilengkapi
dengan keterangan-keterangan yang diperlukan.
(3) Kepada instansi Bea dan Cukai yang bersangkutan dan kepada Pemerintah negara yang
mengekspor diserahkan masing-masing satu eksemplar tembusan sertifikat impor.

Pasal 11
Impor atau transito yang dimaksud dalam Pasal 10 harus disertai sertifikat ekspor atau salinannya
yang sah yang dikeluarkan oleh atau atas nama Pemerintah negara yang mengekspor.

Pasal 12
(1) Setelah narkotika tiba dan diterima, importir yang bersangkutan wajib melaporkannya
kepada Menteri Kesehatan.
(2) Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuknya memberikan catatan sebagai tanda
pengesahan di bagian belakang dari sertifikat ekspor atau salinannya yang sah tentang
nama, jenis atau sifat dan jumlah atau berat narkotika yang benar-benar diimpor menurut
kenyataan.

Pasal 13
(1) Setelah terlaksananya impor, maka sertifikat ekspor yang telah diberi catatan seperti
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), oleh Menteri Kesehatan dikirim kepada Pemerintah
negara yang mengekspor.
(2) Menteri Kesehatan memberitahukan kepada Pemerintah negara yang mengekspor, apabila
sertifikat impor telah daluwarsa dengan dilampiri dokumen-dokumen yang bersangkutan.

Pasal 14
Ekspor obat-obatan yang mengandung narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15
Impor Narkotika dan ekspor obat-obatan yang mengandung narkotika dilakukan melalui pelabuhan
internasional atau melalui perlabuhan internasional atau melalui pelabuhan lain dengan izin khusus
dari Menteri Kesehatan.

Pasal 16
Narkotika yang ada pada apotik, pedagang besar farmasi, pabrik farmasi, rumah sakit, persediaan
para dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, harus disimpan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 17
Menteri Kesehatan berkewajiban tiap tahun takwim menyusun rencana kebutuhan narkotika untuk
tujuan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan.

Pasal 18
(1) Importir yang dimaksud dalam Pasal 9 berkewajiban untuk menyusun dan mengirimkan
laporan bulanan kepada Menteri Kesehatan mengenai pemasukan dan pengeluaran
narkotika yang ada dalam penguasaannya, dengan tembusan kepada Menteri
Perdagangan.
(2) Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, lembaga ilmu pengetahuan
dan lembaga pendidikan yang dimaksud dalam Pasal 5, berkewajiban untuk menyusun dan
mengirimkan laporan bulanan kepada Menteri Kesehatan mengenai pemasukan dan
pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaannya.
(3) Jika dianggap perlu, dokter dapat diwajibkan untuk menyusun dan mengirimkan laporan
kepada Menteri Kesehatan mengenai pemasukan dan penggunaan narkotika yang ada
dalam penguasaannya.

Pasal 19
Bentuk dan isi laporan dimaksud dalam Pasal 18 dibuat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan.

BAB III
PENGANGKUTAN NARKOTIKA

Pasal 20
(1) Pemilik atau pemuat narkotika wajib memberitahukan kepada nakhoda, kapten penerbang
atau pengemudi tentang jenis dan jumlah narkotika yang akan diangkut untuk diimpor atau
diekspor maupun ditransito.
(2) Sebelum mengangkut narkotika para nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi wajib
meminta dari pemilik atau pemuat narkotika sertifikat impor atau sertifikat ekspor.
Pasal 21
(1) Pengangkutan narkotika di dalam negeri melalui udara, air, atau darat, selain harus sesuai
dengan ketentuan-ketentuan khusus yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, juga harus
memenuhi ketentuan-ketentuan umum yang berlaku bagi pengangkutan melalui udara, air
atau darat.
(2) Muatan narkotika harus disimpan pada kesempatan pertama di dalam peti besi (kluis) atau
tempat lain di dalam kapal dengan disegel bersama-sama oleh nakhoda dan pemilik atau
pemuatnya.
(3) Nakhoda membuat suatu berita acara tentang adanya muatan narkotika yang diangkutnya.
(4) Jika sebuah kapal mempunyai narkotika sebagai muatan dan atau sebagai persediaan
dalam apotik kapal, nakhoda berkewajiban untuk segera setelah tiba di suatu pelabuhan
melaporkan hal ini kepada dinas kesehatan setempat.
(5) Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda
dengan disaksikan oleh pejabat Bea dan Cukai.
(6) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak, wajib
membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan pengamanan dan pada kesempatan
pertama kapal singgah di pelabuhan segera melaporkan dan menyerahkan persoalan
tersebut kepada yang berwajib.
(7) Ketentuan lain yang berhubungan dengan pengangkutan narkotika diatur lebih lanjut oleh
Menteri Kesehatan.

Pasal 22
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 21 ayat (2) sampai dengan ayat (7) berlaku pula bagi
kapten penerbang untuk pengangkutan di udara dan bagi pengemudi untuk pengangkutan di darat.

BAB IV
PERBUATAN-PERBUATAN YANG DILARANG

Pasal 23
(1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan,
memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman
Ganja.
(2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik
atau menyediakan narkotika.
(3) Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau
menguasai narkotika.
(4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.
(5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual,
menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli
atau menukar narkotika.
(6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan
narkotika untuk digunakan orang lain.
(7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri.

Pasal 24
Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk pengobatan dilarang.

BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN DI DEPAN PENGADILAN
Pasal 25
(1) Perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke
Pengadilan guna mendapatkan pemeriksaan dan penyelesaian dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
(2) Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan terhadap tindak pidana yang
menyangkut narkotika dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekedar tidak
ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Pasal 26
Penyidik berhak untuk membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat
perhubungan lainnya, yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara-perkara yang
menyangkut narkotika yang sedang dalam penyidikan.

Pasal 27
Narkotika yang didapati dalam penyidikan atau contohnya diperiksa di laboratorium pemeriksaan
yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 28
Di depan Pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam
pemeriksaan, dilarang menyebut nama atau alamat atau hal-hal yang memberikan kemungkinan
dapat diketahuinya identitas pelapor.

Pasal 29
(1) Narkotika dan alat yang digunakan di dalam kejahatan yang menyangkut narkotika serta
hasilnya dapat dinyatakan dirampas untuk negara.
(2) Perampasan narkotika dan alat yang digunakan serta hasilnya yang bukan kepunyaan si
terdakwa tidak dilakukan apabila hak-hak pihak ketiga yang beriktikad baik akan terganggu.
(3) Jika dalam keputusan perampasan narkotika dan alat yang digunakan dalam kejahatan
termasuk milik pihak ketiga yang beriktikad baik, pemilik dapat mengajukan kepada
Pengadilan yang bersangkutan keberatan terhadap perampasan tersebut, dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan setelah pengumuman keputusan Hakim.
(4) Narkotika yang dinyatakan dirampas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi milik
negara, dan metal cara yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan Jaksa Agung
digunakan untuk keperluan negara atau segera dimusnahkan.

Pasal 30
Selain kepada penyidik umum yang mempunyai wewenang dalam penyidikan berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku, kepada pejabat kesehatan tertentu dapat diberi wewenang
penyidikan terbatas.

BAB VI
GANJARAN (PREMI)

Pasal 31
Kepada mereka yang telah berjasa dalam mengungkapkan kejahatan yang menyangkut narkotika,
diberi ganjaran yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PENGOBATAN DAN REHABILITASI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN
USAHA PENANGGULANGANNYA
Pasal 32
(1) Orang tua atau Wali dari seorang pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan pecandu tersebut kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan dan
wajib membawanya ke rumah sakit atau kepada dokter yang terdekat untuk mendapatkan
pengobatan dan perawatan yang diperlukan.
(2) Pecandu narkotika yang telah cukup umur wajib melaporkan diri kepada pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(3) Syarat-syarat untuk melaksanakan ketentuan tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 33
Hakim dalam memutus perkara pidana yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (7) dapat
memerintahkan yang bersalah untuk menjalani pengobatan dan perawatan atas biaya sendiri.

Pasal 34
(1) Pengobatan dan perawatan pecandu narkotika serta rehabilitasi bekas pecandu narkotika
dilakukan pada lembaga rehabilitasi.
(2) Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang lembaga rehabilitasi yang tersebut dalam
ayat (1), termasuk pendirian cabang-cabangnya di tempat-tempat yang diperlukan,
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(3) Dalam menyelenggarakan rehabilitasi diikutsertakan sebanyak mungkin lembaga-lembaga
dalam masyarakat yang berhubungan dengan masalah itu, baik milik Pemerintah maupun
swasta.

Pasal 35
Guna menanggulangi penyalahgunaan narkotika Pemerintah dapat mengadakan kerjasama
bilateral atau multilateral dengan negara lain atau badan internasional yang menangani masalah
ini.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 36
(1) Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (1):
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-
tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut tanaman Papaver.
(2) Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (2):
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut narkotika lainnya.
(3) Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (3):
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-
tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut narkotika lainnya.
(4) Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (4):
a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya
20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta
rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(5) Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (5):
a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya
20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta
rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;
b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(6) Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (6):
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-
tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut narkotika lainnya.
(7) Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (7):
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun apabila perbuatan
tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun apabila perbuatan
tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(8) Barangsiapa karena kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal
23 ayat (1) di atas tanah atau tempat miliknya atau yang dikuasainya, dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 37
Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 36 ayat (1) sampai
dengan ayat (7) dipidana dengan pidana penjara yang sama dengan pidana penjara bagi tindak
pidananya.

Pasal 38
Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut
dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) diancam dengan pidana sebagaimana tersebut
dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) ditambah dengan sepertiganya, dengan ketentuan
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 39
(1) Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) dapat
ditambah dengan sepertiga, jika terpidana ketika melakukan kejahatan, belum lewat 2 (dua)
tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan
padanya.
(2) Dalam hal pengulangan kejahatan yang dimaksud dalam ayat (1) diancam dengan pidana
denda, maka pidana denda tersebut dikalikan dua.

Pasal 40
Dokter yang dengan sengaja melanggar Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta
rupiah).

Pasal 41
Importir yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal
18 ayat (1) dan Pasal 19 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 42
(1) Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu
pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3) dan Pasal 19, dipidana dengan pidana kurungan
selama-lamanya 1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah).
(2) Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam tanaman Papaver,
Koka dan Ganja yang tidak melaksanakan kewajiban membuat laporan yang dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2), dipidana dengan pidana kuningan selama-lamanya 1 (satu) tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000, (satu juta rupiah).

Pasal 43
Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7)
dan Pasal 22, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 44
Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal-pasal 40, 41,
42 dan 43 dapat dikenakan pidana tambahan yang berupa pencabutan hak seperti diatur dalam
Pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ayat (1) ke 1 dan ke 6.

Pasal 45
Barangsiapa dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di depan Pengadilan perkara tindak pidana yang menyangkut narkotika, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
10.000.000.- (sepuluh juta rupiah).

Pasal 46
Setiap saksi yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang
tidak benar kepada penyidik dalam tindak pidana yang menyangkut narkotika, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah).
Pasal 47
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan di
depan Pengadilan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam Pasal 28 dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun.

Pasal 48
Barang siapa yang mengetahui tentang adanya narkotika yang tidak sah dan tidak melaporkan
kepada pihak yang berwajib dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000, (satu juta rupiah).

Pasal 49
Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana
dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum,
perseroan, perserikatan atau yayasan itu, maupun terhadap mereka yang memberi perintah
melakukan tindak pidana narkotika itu atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung
jawab dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun terhadap kedua-duanya.

Pasal 50
Semua perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut dalam Bab VIII Undang-undang ini
adalah kejahatan, kecuali yang tersebut dalam Pasal 47 adalah pelanggaran.

Pasal 51
(1) Terhadap warganegara asing yang melakukan tindak pidana yang menyangkut narkotika
dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dilakukan
pengusiran keluar wilayah Indonesia.
(2) Warganegara asing yang pernah melakukan tindak pidana yang menyangkut narkotika, baik
di wilayah Indonesia maupun di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Indonesia.

Pasal 52
Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat dicantumkan
ancaman pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 53
Untuk tindak pidana yang tidak diatur di dalam Undang-undang ini diperlakukan ketentuan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 54
Selama peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang ini
belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang narkotika yang ada pada waktu Undang-undang
ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 55
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 26 Juli 1976
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 26 Juli 1976
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUDHARMONO, SH.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1976 NOMOR 37
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1976
TENTANG
NARKOTIKA

UMUM
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika sebelum Undang-undang ini
berlaku, ialah Verdoovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad 1927 Nomor 278 jo Nomor 536)
yang telah diubah dan ditambah, beserta peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh Menteri
Kesehatan.
Ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, berhubung dengan
perkembangan lalu-lintas dan adanya alat-alat perhubungan dan pengangkutan modern yang
menyebabkan cepatnya penyebaran/pemasukan narkotika ke Indonesia, ditambah pula dengan
kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup
memadai untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan.
Peraturan perundang-undangan tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman karena
yang diatur di dalamnya hanyalah mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, yang di
dalam peraturan itu dikenal dengan istilah Verdoovende Middelen atau obat bius, sedangkan
tentang pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur.
Narkotika merupakan salah satu obat yang diperlukan dalam dunia pengobatan, demikian juga
dalam bidang penelitian untuk tujuan pendidikan, pengembangan ilmu dan penerapannya.
Meskipun ada bahayanya, namun masih dapat dibenarkan penggunaan narkotika untuk
kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan, maka dalam
Undang-undang ini dibuka kemungkinan untuk mengimpor narkotika, mengekspor obat-obatan
yang mengandung narkotika, menanam, memelihara Papaver, Koka dari Ganja.
Disamping manfaatnya tersebut, narkotika apabila disalahgunakan atau salah pemakaiannya,
dapat menimbulkan akibat sampingan yang sangat merugikan bagi perorangan serta menimbulkan
bahaya bagi kehidupan serta nilai-nilai kebudayaan. Karena itu penggunaan narkotika hanya
dibatasi untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
Penyalahgunaan pemakaian narkotika dapat berakibat jauh dan fatal serta menyebabkan yang
bersangkutan menjadi tergantung pada narkotika untuk kemudian berusaha agar senantiasa
memperoleh narkotika itu dengan segala cara, tanpa mengindahkan norma-norma sosial, agama
maupun hukum yang berlaku.
Dalam pada itu tidak mustahil, kalau penyalahgunaan narkotika adalah merupakan salah satu
sarana dalam rangka kegiatan subversi.
Di dalam Undang-undang ini diatur pelbagai masalah yang berhubungan dengan narkotika,
meliputi pengaturan mengenai:
1. Ketentuan tentang pengertian dan jenis narkotika.
2. Ketentuan tentang kegiatan yang menyangkut narkotika seperti: penanaman, peracikan,
produksi, perdagangan, lalu-lintas, pengangkutan serta penggunaan narkotika.
3. Ketentuan tentang wajib lapor bagi orang atau badan yang melakukan kegiatan-kegiatan
sebagai tersebut dalam angka 2.
4. Ketentuan yang mengatur mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan
Pengadilan dari perkara yang berhubungan dengan narkotika yang karena kekhususannya
dan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di depan Pengadilan, memerlukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang
berlaku.
Meskipun diadakan penyimpangan dan pengaturan khusus, tidak berarti bahwa hak azasi
tersangka/terdakwa tidak dijamin atau dilindungi, bahkan diusahakan sedemikian rupa,
sehingga penyimpangan dan pengaturan khusus itu tidak merupakan penghapusan seluruh
hak azasi tersangka/terdakwa, melainkan hanya pengurangan yang terpaksa dilakukan demi
menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya yang ditimbulkan karena penyalahgunaan
narkotika.
Ketentuan tersebut antara lain ialah, bahwa dalam pemeriksaan di depan Pengadilan, saksi
atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan
dilarang dengan sengaja menyebut nama, alamat atau hal lain yang memberi kemungkinan
dapat diketahui identitas pelapor (Pasal 28).
5. Ketentuan yang mengatur tentang pemberian ganjaran (premi).
6. Ketentuan tentang pengobatan dan rehabilitasi pecandu narkotika.
7. Ketentuan lain yang berhubungan dengan kerjasama internasional dalam penanggulangan
masalah yang ditimbulkan oleh narkotika.
Guna memberikan efek preventif yang lebih tinggi terhadap dilakukannya tindak pidana tersebut,
demikian pula untuk memberikan keleluasaan kepada alat penegak hukum dalam menangani
perkara tindak pidana tersebut secara efektif, maka ditentukan ancaman hukuman yang diperberat
bagi pelaku tindak pidana, lebih-lebih dalam hal perbuatan tersebut dilakukan terhadap atau
ditujukan kepada anak-anak di bawah umur.
Karena Indonesia merupakan negara peserta dari Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta
Protokol yang Mengubahnya, maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini telah pula
disesuaikan dengan hal-hal yang diatur di dalam Konvensi tersebut.

PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Dalam pasal ini dimuat pengertian dan istilah-istilah teknis yang digunakan dalam Undang-undang
ini, antara lain mengenai tanaman-tanaman dari zat-zat yang termasuk ke dalam pengertian
narkotika.
Bahan-bahan dan sediaan-sediaan serta campuran-campurannya tersebut dapat diubah atau
ditambah oleh Menteri Kesehatan disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan di bidang obat-obatan.
Pasal ini memungkinkan Menteri Kesehatan menetapkan bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai
pengganti narkotika, baik yang berasal dari tanaman maupun yang dibuat secara sintetis sebagai
narkotika. Pengangkutan yang dimaksud dalam Nomor 23 dan 24, termasuk membawa,
menyimpan dan menyediakan.

Pasal 2
Yang dimaksud dengan alat-alat yang dapat dipergunakan untuk penyalahgunaan narkotika adalah
alat-alat pemadatan, alat suntik dan alat-alat lainnya yang dipergunakan dengan berbagai cara
untuk memasukkan narkotika ke dalam tubuh manusia.

Pasal 3
Dalam rangka mencegah dan melindungi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat buruk
yang sangat merugikan bagi perorangan dan merupakan bahaya bagi peri kehidupan manusia dan
kehidupan negara, Pemerintah perlu diberi wewenang untuk menetapkan berbagai narkotika
tertentu sebagai narkotika yang dilarang digunakan dalam pengobatan dan ilmu pengetahuan,
seperti Diasetil Morfina (Heroina) dan lain-lain.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Pemberian izin khusus ini dimaksudkan untuk memperketat pengawasan terhadap peredaran dan
penggunaan narkotika. Apotik dan dokter yang karena pekerjaannya dapat dianggap harus
diperkenankan menerima, menyimpan dan menyerahkan narkotika untuk keperluan pengobatan
tidak memerlukan izin khusus melainkan izin biasa.
Izin bagi dokter tidak merupakan izin tersendiri melainkan merupakan bagian dari izin melakukan
pekerjaan dokter (acte van toelating). Hal ini berlaku bagi dokter-dokter yang belum memiliki izin
pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini. Dokter yang telah mempunyai izin tersebut di
atas pada waktu berlakunya Undang-undang ini dianggap telah mempunyai izin yang dimaksudkan
dalam Pasal 5 ayat (1) sub b dan tunduk pada ketentuan-ketentuan bagi dokter sebagaimana
diatur dalam Undang-undang ini.
Yang dimaksud rumah sakit dalam pasal ini meliputi unit-unit kesehatan lainnya.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Maksudnya untuk menjamin pengawasan yang ketat agar resep dokter tidak
disalahgunakan.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Untuk mengimpor narkotika secara khusus diperlukan izin impor dari Menteri Perdagangan setelah
memperoleh keputusan Menteri Kesehatan, karena Menteri Kesehatan mengetahui kebutuhan
nasional akan narkotika.
Mengingat pentingnya impor narkotika dan untuk pengetatan maka keputusan hanya dapat
dilakukan oleh Menteri Kesehatan sendiri.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Setelah importir menerima pengiriman narkotika, ia harus segera memeriksa apakah jenis, mutu
dan jumlah atau bobot narkotika yang diterimanya telah sesuai dengan yang tersebut dalam
sertifikat ekspor.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Yang dapat diekspor hanyalah obat-obatan yang mengandung narkotika.

Pasal 15
Yang dimaksud dengan pelabuhan internasional dalam pasal ini adalah pelabuhan laut dan
pelabuhan udara internasional.
Pasal 16
Maksud pasal ini ialah untuk mengamankan narkotika agar tidak dengan mudah digunakan oleh
orang yang tidak berhak.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Maksud adanya kewajiban untuk menyusun dan mengirim laporan adalah agar Menteri Kesehatan
setiap waktu dapat mengetahui tentang persediaan narkotika yang terdapat pada importir dan
pedagang besar farmasi.
Laporan tersebut berupa daftar catatan yang disusun secara terperinci.
Agar dapat dicegah penyalahgunaan narkotika, maka tembusan laporan yang dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini selain disampaikan kepada Menteri Perdagangan disampaikan pula kepada
Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 19
Bentuk dan isi laporan ditentukan oleh Menteri Kesehatan agar terdapat keseragaman.

Pasal 20
Yang dapat diekspor hanyalah obat-obatan yang mengandung narkotika.

Pasal 21
Pasal ini berintikan jaminan bahwa pengangkut baik di darat, di air maupun di udara, bertanggung
jawab dan wajib menempuh prosedur yang telah ditentukan, demi pengamanan lalu-lintas
narkotika di Indonesia.

Pasal 22
Pasal ini berintikan jaminan bahwa pengangkut baik di darat, di air maupun di udara, bertanggung
jawab dan wajib menempuh prosedur yang telah ditentukan, demi pengamanan lalu-lintas
narkotika di Indonesia.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Maksudnya untuk mencegah penyalahgunaan pemakaian narkotika dan agar semata-mata
diberikan hanya kepada penderita yang memerlukan pengobatan dan atau untuk keperluan
pengobatan.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Ketentuan pasal ini mengatur, bahwa hanya surat-surat dan kiriman melalui dinas pos dan alat-alat
perhubungan lainnya yang dicurigai atau diduga keras berhubungan langsung dengan tindak
pidana narkotika dapat dibuka untuk diperiksa.

Pasal 27
Laboratorium pemeriksa adalah laboratorium Pemerintah seperti Laboratorium Farmasi Nasional,
Laboratorium kriminil dan lain-lain dan narkotika yang didapati dalam penyelidikan disimpan
dengan segel dalam tempat tertentu dengan disaksikan oleh tersangka.

Pasal 28
Pasal ini dimaksud untuk memberikan perlindungan terhadap pelapor, ialah mereka yang
memberikan keterangan mengenai suatu tindak pidana narkotika, agar supaya pelapor tidak takut-
takut akan diketahui nama dan alamatnya yang mungkin akan membahayakan keselamatannya,
apabila ia dikenal oleh umum.
Karena sangat diharapkan laporan-laporan tentang tindak pidana narkotika yang telah dilakukan
atau diduga telah dilakukan, maka perlulah diberikan perlindungan terhadap para pelapor tersebut
yang sungguh-sungguh akan membantu usaha pemeriksaan tindak pidana narkotika.
Supaya perlindungan ini dapat dijamin, maka saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan
perkara yang sedang dalam pemeriksaan wajib merahasiakan nama, alamat atau hal-hal yang
memungkinkan diketahuinya pelapor, baik dalam fase pemeriksaan pendahuluan maupun di depan
Pengadilan.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Maksud dari pasal ini ialah memberikan wewenang penyidikan terbatas, karena keahliannya dapat
membantu dalam memperlancar pemeriksaan. Wewenang penyidikan yang diberikan kepada
pejabat kesehatan meliputi:
a. Menyita atau memerintahkan penyerahan semua barang-barang yang bersangkutan dengan
penyalahgunaan narkotika.
b. Minta memperlihatkan semua dokumen-dokumen yang menurut pandangan mereka
diperlukan untuk menjalankan tugas dengan baik.
c. Memasuki semua tempat yang diperlukan untuk menjalankan tugas dengan baik. Mereka
yang menjalankan tugas ini dapat minta bantuan pejabat-pejabat lain yang mempunyai
wewenang.

Pasal 31
Pasal ini maksudnya untuk memberikan gairah bagi berhasilnya penyidikan tindak pidana narkotika
yang sangat tertutup dan pelik masalahnya.

Pasal 32
Untuk membantu Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya narkotika, dalam hal ini
khusus pecandu narkotika, maka diperlukan pengikut sertaan masyarakat dan disamping itu orang
tua/wali guna meningkatkan pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.

Pasal 33
Hakim dalam memutus perkara pidana yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (7) dapat:
a. Memerintahkan yang bersalah itu dimasukkan dalam lembaga rehabilitasi pecandu narkotika
dengan tidak memidananya, dan atau
b. memidana yang bersalah.
Pasal ini berdasarkan pikiran bahwa pecandu narkotika itu selain orang yang melanggar ketentuan
Pasal 23 ayat (7), juga merupakan korban penyalahgunaan narkotika.
Pasal 34
Oleh karena pengobatan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika tidak hanya menjadi
tugas dan tanggung jawab Pemerintah akan tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat
pada umumnya maka dipandang perlu adanya lembaga rehabilitasi tersebut.
Pasal ini dimaksudkan untuk lebih menjamin koordinasi di dalam usaha pengawasan dan
penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika, mengingat bahwa masalah ini menyangkut
berbagai segi sosial dan melibatkan berbagai instansi Pemerintah dan Swasta secara fungsionil.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Menurut pasal ini percobaan melakukan tindak pidana narkotika, diancam dengan pidana yang
sama dengan tindak pidananya, karena dianggap bahwa percobaan itu sendiri sudah berbahaya.

Pasal 38
Pasal ini dimaksudkan untuk lebih melindungi generasi muda yang akan datang, mengingat bahwa
kelompok masyarakat yang paling rawan terhadap bahaya penyalahgunaan narkotika adalah
anak-anak yang belum cukup umur, maka orang yang menyebabkan terjerumusnya anak-anak
tersebut perlu dijatuhi hukuman yang lebih berat lagi. Pemidanaan terhadap pembujukan dilakukan
apabila perbuatan tersebut telah mempunyai akibat.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Pasal-pasal ini maksudnya untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di depan Pengadilan.

Pasal 46
Pasal-pasal ini maksudnya untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di depan Pengadilan.

Pasal 47
Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi pelapor.

Pasal 48
Maksud dari pasal ini agar setiap tindak pidana narkotika tidak terluput dari penyidikan.

Pasal 49
Ketentuan pasal ini adalah untuk mencakup kemungkinan dalam hal tindak pidana narkotika
dilakukan oleh badan hukum, perseroan, perserikatan orang yang lainnya, atau yayasan, maka
terhadap badan-badan tersebut maupun pengurusnya dapat dikenakan pidana.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud pengusiran di sini adalah pengusiran setelah yang bersangkutan selesai
menjalani pidana.
Ayat (2)
Ayat ini untuk mencegah kemungkinan orang yang bersangkutan mengulangi lagi
melakukan tindak pidana narkotika di Indonesia.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3086

Tidak ada komentar:

Posting Komentar