Mulai hari Jumat (1/6/2012), layanan pesan singkat atau SMS gratis antaroperator tidak ada lagi. Kementerian Komunikasi dan Informatika kini menerapkan interkoneksi SMS berbasis biaya yang dinilai lebih adil bagi operator dan menguntungkan masyarakat.
Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Gatot S Dewa Broto, Kamis (31/5), menyampaikan, penerapan kebijakan interkoneksi berbasis biaya pada SMS ini menyusul layanan telekomunikasi berbasis suara berdasarkan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi yang telah berlaku sejak April 2008.
Gatot menerangkan, layanan SMS antaroperator berdasarkan skema sender keep all (SKA) yang berlaku selama ini dinilai tidak adil. Keuntungan hanya dinikmati operator pengirim SMS, sedangkan operator penerima tidak mendapatkan keuntungan dan hanya kebanjiran lalu lintas SMS. Padahal, penggunaan jaringan membutuhkan biaya operasional.
”Bayangkan, dalam sehari saja terdapat sekitar 400-500 juta SMS per operator. Lalu lintas SMS yang padat ini bisa mengganggu kualitas jaringan,” ujar Gatot.
Sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab juga biasanya memanfaatkan layanan SMS gratis ini untuk mengirimkan SMS spam, penipuan, atau promo kepada konsumen.
Menurut Gatot, dengan SMS berbasis biaya ini, operator penerima SMS akan mendapat Rp 23 per SMS. Angka Rp 23 per SMS ini merupakan hasil perhitungan biaya interkoneksi SMS tahun 2010 yang dilakukan konsultan independen.
Harapannya, tercipta keadilan pada penyelenggara layanan SMS. Operator penerima SMS juga mendapatkan keuntungan dari tarif SMS.
Selain memberikan keadilan bagi operator, SMS berbasis biaya ini juga dinilai memberikan keuntungan bagi konsumen. Keuntungan yang akan dinikmati masyarakat dari SMS berbasis biaya ini adalah kualitas jaringan yang bagus.
Di samping itu, jumlah SMS spam, penipuan, atau promo yang tidak dikehendaki juga akan berkurang.
”Kami berharap jumlah SMS spam akan jauh berkurang setelah SMS berbasis biaya ini berlaku,” kata Gatot.
Meski demikian, Gatot menegaskan, penerapan interkoneksi SMS berbasis biaya ini bukan berarti pemerintah menaikkan tarif ritel SMS. Pemerintah tidak berwenang mengatur tarif ritel SMS. Operatorlah yang menetapkan tarifnya sendiri berdasarkan skema SMS berbasis biaya ini.
Kepala Divisi Komunikasi Perusahaan Telkomsel Ricardo Indra menilai, penerapan SMS berbasis biaya ini merupakan sesuatu yang wajar dalam bisnis.
”Ketika ada SMS keluar dari alat produksi kami ke alat produksi operator lain wajar, kan, kalau dikenakan biaya,” katanya seperti dikutip dai Kompas.com.
Indra menilai, kebijakan SMS berbasis biaya ini diyakini telah dipertimbangkan masak-masak sehingga akan menguntungkan semua pihak.
Manager Public Relation XL Axiata Henry Wijayanto mengatakan, pada prinsipnya operator akan mematuhi kebijakan yang ditentukan pemerintah. ”Kami juga telah mempersiapkan diri untuk memenuhi kebijakan itu,” ujarnya.
Pemerintah mulai Jumat ini memang mulai memberlakukan aturan baru skema interkoneksi SMS, yang sebelumnya SKA menjadi berbasis biaya.
Pemerintah telah mengumumkan rencana untuk mengubah skema menjadi berbasis biaya sejak 11 Desember 2011. Maka, sebenarnya ada waktu lebih dari lima bulan untuk mempersiapkan diri menghadapi regulasi baru.
Dahulu, skema SKA diambil dengan pertimbangan bahwa lalu lintas SMS antaroperator akan berimbang karena pelanggan akan saling mengirimkan SMS. Namun, ternyata ada operator tertentu yang terganggu oleh lalu lintas SMS yang terlalu besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar