Jumat, 01 Juni 2012

Kaya Hati Miskin Harta?

Judul di atas itu hanyalah sebuah istilah belaka. Tapi istilah itu sesungguhnya akan terlihat makna dan kebenarannya pada beberapa gambaran pengalaman dan kenyataan masing-masing kita. Di manapun kita tinggal, kita akan terus bersinggungan dengan dua kata ini: Miskin - Kaya. Dan keabsahan dari apa yang saya tulis itu akan dibuktikan seiring berjalannya waktu. Bahwa mind-set kita pun tidak terlepas dari pergulatan antara miskin dan kaya. Mau tetap miskin atau ingin menjadi orang superkaya? Tanpa sadar juga kita mulai mengotak-ngotakkan dan mengelompokkan antara si miskin dan si kaya.

Di negara super maju seperti Amerika yang sangat kaya ternyata masih banyak bentuk kemiskinan lainnya. Yang paling mencolok adalah kebersamaan kekeluargaan. Miskinnya kebersamaan keluarga. Miskinnya kekeluargaan dalam kebersamaan dan kebersamaan dalam kekeluargaan. Apa maksudnya? Begini, di negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip liberasi atau kebebasan itu ternyata ada hukum tak tertulis tapi tersurat yang intinya bahwa anak berusia di atas 18 tahun sudah harus berdiri sendiri. Harus mandiri.

Anak yang sudah menikah “tabu” untuk tetap tinggal di bawah “asuhan” orang tua atau tinggal seatap di rumah mertua, hal mana mengandung dua kecenderungan anggapan. Pertama, hal itu dianggap baik karena menunjukkan tingkat kemandirian seseorang. Kedua, terlihat penonjolan kenegatifan cara berpikir, bahwa tingkat kekerabatan dan kerukunan keluarga yang kurang peduli dan kurang erat lagi. Dan tentu saja akan menampak di situ unsur individualitas yang tinggi. Pokoknya kalau sudah keluar rumah ”who cares” apa yang mau terjadi. Memang untuk urusan sekolah pun sejak masih kecil anak-anak sudah dilatih. Di banyak sekolah dasar di Amerika, budaya mandiri itu sudah diajarkan. Dilarang saling pinjam pensil, penghapus, penggaris, atau apa pun. Tiap murid harus mandiri. Barang siapa meminjam sesuatu dari kawan dihukum oleh guru. Tapi untuk sekolah dasar di banyak desa di Indonesia masih sangat kental budaya pinjamnya. Murid-murid merasa saling pinjam justru menunjukkan kekerabatan.


Ada banyak pengalaman penulis bersinggungan langsung dengan hal-hal seperti itu. Bahwa ternyata sifat bebas itu akan terbawa setelah seorang anak meningkat remaja dan akhirnya ia diharuskan keluar rumah mencari dan memperjuangkan kemandiriannya sendiri. Lantas kemudian efeknya ternyata tak sedikit yang justru menciptakan lahirnya sikap kurang peduli pada lingkup keluarga. Tidak semua memang, tapi tidak sedikit yang bersifat kurang pedulian dan tak mau tahu. Pernah beberapa kali berkunjung ke panti-panti asuhan, dalam acara-acara tertentu, saya melihat dan berbincang dengan oma-oma dan opa-opa di sana. Hampir semua yang ada di situ berkata sedih sambil menengok ke luar jendela. Katanya mereka berharap siapa tahu ada anak atau cucu mereka yang sekiranya datang mengunjungi mereka. Tapi tak satu jua yang datang. Mereka sedih, sendirian dalam penantian yang tak pasti. Lain Padang lain Belalang. Itu sudah lumrah di mana saja bahwa memang lain daerah lain karakternya, lain sofa lain keempukannya, lain kepala lain kutunya.

Di Indonesia, bahkan ada yang sudah menikah pun masih tinggal bersama keluarga. Terlihat betul bentuk keakraban dan saling mengasihi itu masih sangat kental (walau ada yang akan membantah bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar, tapi itulah yang masih begitu kentara.) Bahkan ada seorang professor pendidikan di Amerika yang pernah berkata, bahwasanya ia ‘iri’ melihat tingkat kebersamaan dalam lingkup keluarga-keluarga di Indonesia. Bagi dirinya, rata-rata mereka yang sudah dewasa (bahkan yang sudah menikah) tapi masih serumah sama orang tuanya adalah menunjukkan sikap toleran dan saling peduli. Rukun dan memiliki sikap mau berbagi. Walaupun tidak semua anak yang mau seperti itu, tapi kebanyakan memang tidak mempermasalahkan apakah orang tua mereka yang tinggal bersama mereka, atau sebaliknya. Pendek kata, tinggal serumah pun bukan sesuatu yang tabu dan harus dihindari. Apalagi bagi mereka yang masih sangat tradisional dan hidup di pedesaan. Kebenaran anggapan-anggapan tersebut tentu tidaklah mutlak. Bahwa kecenderungan-kecenderungan yang ada tidak serta-merta boleh digeneralisasi sebagai sebuah kenyataan yang absolute.

Tapi pendapat-pendapat tersebut bukan juga sesuatu yang obsolete. Sebab masih banyak seperti apa yang saya tuliskan itu Anda dapat jumpai di sana-sini. Nah, lantas apakah bentuk-bentuk kecenderungan itu boleh dikatakan terjadi karena secara kasat mata kita melihat orang Amerika lebih mementingkan ‘kerja otak’ ketimbang ‘kerja hati’? Dan Indonesia adalah sebaliknya? Bagaimana pendapat Anda? Lalu kemudian apa boleh dikatakan bahwa Amerika yang kaya raya itu ternyata miskin sifat kekeluargaan, mereka yang sudah beranjak dewasa menjadi minus terhadap rasa kebersamaan dan kekeluargaan, kurangnya rasa kepedulian terhadap kerabat atau yang masih ada pertalian saudaraan? Sebaliknya di Indonesia negara yang katanya masih kalah jauh dari Amerika dalam banyak hal ternyata sangat kaya akan rasa persaudaraan dalam keluarga? Masih cenderung sederhana dalam cara berpikir tapi sangat perhatian dan pedulian pada tataran antar sanak keluarga? Pernyataan-pernyataan ini tentu akan memancing reaksi yang berbeda-beda, tapi juga boleh dijadikan sebuah titik loncat menjembatani dua budaya yang sungguh berbeda. Berbeda secara asal maupun secara laku.

Saya percaya bahwa budaya yang berkembang itu tentu ada positif dan negatifnya masing-masing. Apapun pertimbangannya, dua kebiasaan yang berbeda itu patut dihargai sepenuh-penuhnya, apalagi jika terjadi perkawinan silang antar warga dua negara yang berbeda budaya dan adat kebiasaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar