Senin, 19 Desember 2011

White House for Protest?

Banyak pilihan untuk berwisata. Apapun dan kemanapun pilihan kita, tentu saja ada alasan masing-masing kenapa pilihan tersebut kita ambil. Kali ini saya ingin mengajak Anda untuk mengunjungi Gedung Putih (White House), yang merupakan tempat nomor satu di Amerika. Ia menjadi nomor satu, karena di tempat inilah semua presiden Amerika ‘bekerja’ dan tinggal secara bergantian. Di bawah atap gedung inilah orang nomor satu itu berteduh.

Gedung ini menjadi menarik bukan hanya karena arsitekturnya yang bergaya Georgia Neoklasik, tapi juga kejadian-keadian di seputaran gedung ini. Gedung yang sudah berdiri selama tidak kurang dari 200 tahun ini tepatnya berada di Pennsylvania Avenue. Washington DC. Menurut catatan, bahwa yang menjadi arsitek pembangunan gedung ini adalah seorang warga Amerika keturunan Irlandia bernama James Hoban.


Nah, di dalam gedung putih ini ada ruangan yang dinamakan Blue Room. Ruangan ini dikenal juga sebagai pusat dari Lantai Negara. Selama bertahun-tahun, bentuk oval dari ‘Ruang Biru’ selalu saja menarik perhatian siapapun yang melihatnya. Secara turun temurun Blue Room ini telah  menjadi tempat spesial bagi presiden untuk secara resmi menerima tamu. Atau juga kunjungan resmi dari kepala-kepala negara dan pemerintahan negara lain.

Lalu di ruang mana orang nomor satu di Amerika itu bekerja? Ada sebuah ruang bernama Oval Office, di situlah tempat yang menjadi kantor pribadinya. Ruang ini terletak di tengah West Wing, dari sini juga presiden bisa langsung masuk ke Ruang Kabinet. Kalau ada pidato khusus yang sering ditayangkan TV, hampir selalu mengambil tempat di ruangan kerjanya itu. Icon keseluruhan gedung putih sebenarnya ada di Oval Office ini.
Semenjak beberapa tahun terkahir, jarak kunjungan wisatawan semakin dibatasi. Tapi bagi para wisatan mungkin saja itu bukan soal, sebab masih banyak tempat wisata lainnya di seputaran DC yang tak kalah menarik. Bahkan bagi saya, mengunjungi gedung putih tidak melulu adalah untuk melihat gedungnya. Yang lebih menarik adalah apa yang sedang terjadi di sekitarnya.



Saat itu saya dan sebagian wisatawan Eropa dan Asia yang berkunjung ke White House, sangat tertarik justru dengan apa yang saya istilahkan sebagai “wisata protes” atau “wisata demo”. Kenapa begitu? Jelas sekali bahwa karena inilah tempat berkantornya orang nomor satu di Amerika, maka sudah biasa, sangat lumrah bahwa hampir setiap saat ada saja yang melakukan aksi protes dan demonstrasi di depan maupun belakang gedung ini. Kita dapat melihat gedung ini dari sisi depan maupun belakang soalnya.
Melakukan aksi protes dan demonstrasi sering menjadi pusat perhatian para wisatawan, tentu saja dengan penjagaan polisi dan pihak keamanan gedung putih atau Secret Service. Kalau Anda membawa kamera yang bisa dizoom dengan jarak yang cukup, maka akan terlihat beberapa anggota Secret Service bersenjata lengkap lalu-lalang di atas atap gedung ini. Herannya, dengan penjagaan seperti itu, baru-baru ini surat kabar memberitakan bahwa telah ditemukan peluru yang ditembakkan seseorang ke arah gedung putih, namun terhalang kaca anti peluru. Menurut berita, orangnya sudah tertangkap.


Pernah ada aksi protes semasa Bush memerintah, ia dituding sebagai penjahat perang. Orang-orang dan komunitas ‘anti war’ menentangnya habis-habisan. Aksi itu mendapat sambutan meriah dan serius oleh banyak wisatawan. Seorang yang katanya berasal dari Costarica mengatakan kepada saya “I hate war. I will never ever tolerate war for any reason”. Ia lalu mengajak saya untuk berfoto diantara para pemrotes tersebut.

Wisata ke gedung putih tentu mendapat banyak hikmah positif. Bahwa di balik kemegahan dan kekuasaan para pejabat tinggi negara yang berdiam di dalam gedung itu, di luar gedung terdapat sejumlah orang yang berteriak-teriak menuntut keadilan, menuntut persamaan dan kesetaraan, ada yang minta pembukaan lapangan kerja baru, ada yang menagih janji kampanye. Ada yang protes keras terhadap kebijakan perang. Kebisingan dan riuh rendahnya protes dan demo itu sepertinya sudah menjadi sarapan pagi dan makan siang, bukan hanya bagi para wisatawan, tapi juga mereka yang ada dalam gedung berwarna putih itu. Ada yang membawa spanduk-spanduk berisi protes mereka, pamphlet, bahkan ada yang berdandan bagai badut.


Eh, lagi asyik foto-foto, tiba-tiba segerombolan anjing-anjing pelacak lewat, wah bagus banget bentuk badannya. Entah lagi dalam rangka latihan, atau ada kepentingan lain, anjing-anjing itu dibawa naik ke sebuah mobil truk. Anjing yang memiliki penciuman 1000 kali lebih tajam dari manusia itu tentu sudah dilatih sangat lama dan ketat. Bahkan bukan hanya di DC, di banyak airport di Amerika mereka juga sering dipergunakan. Para petugas sangat membutuhkan penciuman mereka yang sangat tajam itu. Seorang kawan asal Ghana sempat nyerocos, “Seekor anjing aja bisa masuk bebas ke dalam sana, kenapa saya tidak boleh yah?” Dasar!
Sekarang mari kita memutar agak kebelakang, di situ juga sering terlihat ada kelompok-kelompok yang lebih kecil menggelar aksi protes mereka, walau tentu saja tak semeriah yang di depan. Di sini masih lebih banyak kumpulan-kumpulan orang yang hobby foto, santai-santai, dan ada juga sebagian yang melakukan aksi negosiasi bisnis. Tidak terlalu jauh dari tempat ini terlihat menjulang tinggi bangunan berbentuk seperti Monas. Ini mungkin adalah Monas-nya Washington DC.

Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa gedung tempat orang nomor satu ini bekerja adanya di Washington DC sebuah propinsi yang biasa-biasa saja, tidak besar dan tidak terlalu ramai. Kenapa bukan di New York, Chicago, atau California, Florida, dan sebagainya? Tapi itulah mungkin bedanya dengan yang di Indonesia.
Di Indonesia Istana Presiden itu adanya di Jakarta, pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis dan belanja. Kota-kota besar di Indonesia sepertinya “harus” menjadi ibukota propinsi. Sebut saja Surabaya, Medan, Palembang, Manado, Ambon, dan semua kota besar lainnya, pusat belanja dan bisnis itulah yang kemudian menjadi ibu kota propinsi. Jakarta menjadi ibu kota negara. Semuanya disatukan di kota besar.
Hal itu tidak terjadi di Amerika. Semua ibu kota propinsi, adalah kota-kota kecil. Lihat saja, New Jersey memiliki banyak kota besar seperti Newark, Atlantic City, dan lainnya tapi ibu kotanya justru kota tua dan kecil, rumah-rumahnya banyak yang sudah berusia ratusan tahun, bernama Trenton. New York memiliki Manhattan, tapi ibu kota New York adalah kota kecil bernama Albany. Ibu kota negara juga dipilih Washington, DC. Itu semua karena mereka menjadikan ibu kota ‘hanya’ sebagai pusat pemerintahan semata, terpisah dengan pusat belanja dan dagang yang dipenuhi mall-mall raksasa dan supermarket-supermarket besar. Kota-kota yang terbilang tenang dan bebas dari hiru-pikuk itulah yang dijadikan ibu kota.
Oleh karena itu jangan heran kalau Anda berkunjung ke Washington, yang ditemui kebanyakan adalah kantor-kantor. Pusat perkantoran dan pemerintahan negara ada di sini. Hanya beberapa blok dari White House juga ada gedung parlemen, Capitol Hill. Dan terlihat juga berdiri megah tapi agak menyeramkan gedung milik FBI. Begitu banyak headquarter kantor-kantor pemerintahan, bank, maupun kantor swasta lainnya ada di sini.

Akhirnya, betapa kita akan tergerak hatinya melihat kekontrasan keadaan di sekeliling gedung putih, kemegahannya yang dibayang-bayangi protes, demostrasi dan kecaman. Di sisi lain juga di beberapa sudut jalan sekitar gedung putih, masih saja terlihat para anak-anak jalanan dan pengemis duduk meminta belas kasihan setiap yang lewat. Ternyata, dimana pun di ujung bumi ini dua sisi mata uang yang kontras selalu berlaku. Ada kemegahan ada kekurangan. Ada yang begitu kaya, tapi ada juga yang sangat miskin. Ada yang menolak, ada yang menerima. Ada yang setuju, ada pula yang tidak.
Inilah perjalan wisata yang olehnya saya mendapat banyak masukan, wawasan, dan pengalaman. Sebelum beranjak pulang, teman saya yang dari Ghana itu bilang, “I’ll standing here still, to protest him to not let me in!” Dasar sableng! Ia lalu kutingggal pergi menuju mobil yang diparkir lumayan jauh di ujung lorong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar