Situs populer Time membuka ulasannya dengan kejadian tahun 1990, ketika wartawan Irlandia, Susan Jane-Beers, melihat sebuah klinik jamu di sudut Jakarta. Seorang "pasien" yang mengeluh nyeri lutut kronis karena usia, yang belum bisa disembuhkan oleh obat-obatan konvensional, pulih setelah beberapa kali minum jamu. Jane-Beers memutuskan untuk mencobanya.
Setelah tiga hari hanya mengonsumsi sepertiga dari dosis yang diresepkan, rasa sakit telah hilang. Ia terheran-heran dengan "kapsul ajaib" berisi ramuan herbal yang diberikan.
Setelah itu Jane-Beers menghabiskan sepuluh tahun meneliti asal-usul, mitos, dan resep dijaga ketat dan aplikasi komersial jamu di Jawa, di mana tanaman telah digunakan untuk tujuan pengobatan sejak zaman prasejarah. Hasilnya, tahun 2001 ia menerbitkan buku dalam bahasa Inggris, Jamu: The Ancient Art of Herbal Healing. Bukunya menjadi buku laris yang paling banyak dibaca di luar Indonesia sejak Herbarium Amboinense, katalog tanaman yang diselesaikan oleh ahli botani Jerman Georg Rumphius pada 1690, lebih dari tiga abad sebelumnya.
Jamu, tulis Time, menjadi sebuah terapi holistik berdasarkan pada pemikiran bahwa jika penyakit datang dari alam, biarkan alam pula yang menyembuhkan. Bahan-bahan alami secara definisi murah tersedia secara luas dan sederhana: pala untuk mengobati insomnia, jambu biji untuk diare, kapur untuk meningkatkan berat badan, dan kemangi untuk menghilangkan bau badan.
Jamu juga telah digunakan untuk mengobati kanker. Dalam bukunya, Jane-Beers menulis tentang dukun di Kota Yogjakarta yang berhasil menyembuhkan kasus kanker serviks terminal dengan teh yang terbuat dari sirih, ramuan tertentu, dan daun misterius bernama "benala". Dikombinasikan dengan diet kacang kedelai yang ketat, pasien dikatakan telah sembuh total dalam 18 bulan.
Terdengar masuk akal? Sebuah studi 2011 oleh Department of Food Science and Technology di Virginia Tech menemukan bukti yang menunjukkan ekstrak dari buah sirsak menghambat pertumbuhan kanker payudara. Sementara kunyit terbukti sebagai salah satu bagian pengobatan untuk Alzheimer.
"Kedokteran Barat mencoba menghancurkan kanker, tapi pada saat yang sama ia menghancurkan unsur-unsur tubuh lainnya. Jamu membantu tubuh memproduksi antibodi sendiri untuk melawan kanker dengan sendirinya," kata Bryan Hoare, manajer di MesaStila, retret kesehatan di Jawa Tengah. "Datang dari Bumi, jamu juga membuat Anda merasa baik dan mengalami perasaan positif."
Tapi jika jamu adalah peluru ajaib, mengapa tidak lebih dikenal di Barat, di mana obat-obatan Asia alam seperti sistem ayurveda India dan penyembuhan herbal Cina telah semakin populer selama bertahun-tahun?
Jawabannya dapat ditemukan di jalan-jalan Indonesia, di mana jamu dikonsumsi secara teratur oleh 49 persen dari populasi. Industri jamu Indonesia bernilai US$ 2,7 miliar, mulai dari pelangsing, kosmetik, hingga jamu untuk bayi dan ibu melahirkan.
"Indonesia mungkin telah geli ketika Viagra dirilis pada 1998," Jane-Beers berkomentar. Jauh sebelum Viagra, katanya, Indonesia sudah mengenal banyak varian obat kuat: pasak bumi, kuku bima, hingga minyak super ereksi. "Mereka memiliki solusi Sendiri selama bertahun-tahun."
Asal tahu saja, jamu kini mulai bertebaran di supermarket dan toko-toko di negara-negara seperti Inggris. Terobosan sudah dilakukan pengusaha spa di Melbourne, Australia, yang mengembangkan pijat asli Indonesia dengan dipadu ramuan yang mengandung kunyit, daun sirih, dan kulit telur. Ada juga ramuan lain yang membantu wanita mendapatkan kembali vitalitasnya dengan cepat, meningkatkan laktasi, dan menghilangkan angin, pusing, sakit, dan nyeri.
"Ini mengejutkan bahwa kini (jamu dan ramu-ramuan) telah tersebar di seluruh Australia," kata pasangan Jessica Koh. "Tapi mengherankan juga justru masih asing bagi sebagian besar penduduk setempat." Demikian Time menutup laporannya.
-tempo.co-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar