Hidup Majemuk---Statue of Liberty.
Berkali-kali saya mengunjungi patung liberty, tapi sepertinya tak puas-puasnya untuk menikmati sejuknya udara dan pemandangan alam yang asri di Taman Liberty. Dari taman ini kita bisa melihat patung Lady Liberty dengan jelas, sebelum kita menaiki boat untuk bisa mencapai lokasi patung itu yang agak ketengah, seperti lagi berdiri di suatu pulau kecil.
“Berikan kepadaku kaum lesu, kaum miskinmu, kerumunan jelatamu…
Yang mendamba napas merdeka, kaum celaka yang ditolak…
Di pesisirmu yang sesak…
Kirimkan mereka kepadaku, kaum yang tidak terlindung…
Yang diombang-ambing tak menentu…
Aku mengacungkan lampuku di sisi gerbang kencana.”
Demikian terjemahan syair Emma Lazarus yang terukir pada Statue of Liberty atau Patung Kemerdekaan di pelabuhan New York. Patung ini menjadi monument lambang keterbukaan dan kemajemukan falsafah gaya hidup Amerika.
Patung wanita yang disebut Lady Liberty ini dibuat di Perancis oleh pemahat Bartholdi sebagai hadiah dari yakyat Perancis kepada rakyat Amerika. Bagian demi bagian dari tubuh Lady Liberty ini dengan berat ribuan ton diangkut naik kapal. Pada tahun 1886 patung ini berdiri megah setinggi 92 meter di pulau kecil Liberty Island di perbatasan New York dan New Jersey. Di tempat inilah para korban yang selamat pada peristiwa tenggelamnya kapal Titanic ditampung sementara.
Dari jauh patung ini menjadi fokus pertama yang dilihat oleh jutaan imigran dari dek kapal ketika mereka mendekati pantai. Patung ini melukiskan wanita dengan rantai belenggu yang putus pada kakinya. Ia memakai mahkota dengan tujuh ujung melambangkan tujuh samudera dan benua. Tangan kanannya mengacungkan obor yang menyala. Tangan kirinya memegang loh batu bertuliskan: July IV, MDCCLXXVI, yaitu tanggal proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 1776.
Pengarang Emma Lazarus menulis syair ini sebetulnya bukan untuk diukir pada Statue of Liberty. Ia menulisnya tiga tahun sebelum peresmian patung itu. Puisinya baru diukir kemudian, yaitu lima belas tahun setelah patung ini berdiri.
Kalau bukan untuk patung ini, untuk siapakah puisi ini ditulis? Emma menulisnya untuk para pembaca bukunya. Puisi yang dikutip pada patung itu hanyalah bagian akhir dari puisi seutuhnya. Puisinya yang lengkap berjudul “The New Colossus”.
Pesan puisi Emma adalah bahwa Amerika akan menjadi sebuah kolosus atau Negara Kolosal jika bersifat terbuka dan majemuk. Biarlah orang yang tertekan dan mendambakan kebebasan datang ke sini. Inilah negara bebas. Di sini tiap orang boleh menyatakan pendapat. Tiap orang boleh memilih agama yang disukainya. Tiap orang boleh berbeda. Biarlah orang miskin datang ke sini. Ini Negara demokratis. Di sini tiap orang punya kesempatan yang sama. Biarlah imigran dari segala penjuru datang ke sini. Meskipun berbeda bangsa, bahasa, budaya dan agama, tetapi di sini kita menjadi orang Amerika yang mempunyai impian yang sama, yaitu The American Dream. Di sini tiap orang berpacu dengan waktu mewujudkan impian itu, yaitu hidup maju dan bermutu. Setidak-tidaknya itulah harapan Emma dalam buku dan puisinya.
Masyarakat Amerika memang bersifat majemuk. Hampir tiap orang adalah keturunan asing. Saya memiliki teman-teman yang asal aslinya datang dari berbagai bangsa. Mulai dari Afrika, Asia sampai Eropa. Mulai dari Korea, Tailand, Jepang sampai Finlandia, Swedia dan Ukraina. Mulai dari Jawa, Bali, Aceh sampai ujung Sulawesi. Dari Sabang sampai Merauke. Akan tetapi sejauh mana hal itu sudah terwujud, setiap orang punya penilaian yang berbeda-beda.
Komunitas etnik ini sama sekali tidak menutupi jati dirinya. Sebaliknya, tiap etnik mempertahankan bahasa dan budayanya. Dan keaneka-ragaman itu adalah nilai tambah tersendiri. Orang Amerika tidak malu, malah bangga, bahwa masyarakatnya bersifat plural. Justru karena berbeda, semua diperkaya. Ketika tujuh astronot terbang ke ruang angkasa, ketujuh orang itu berasal dari tujuh etnik yang berbeda. Kemajemukan dimanfaatkan untuk kemajuan. Tiap pendatang asing (yang resmi) diberi kesempatan supaya kelak menjadi potensi yang berkontribusi.
Dimensi melindungi dan memberdayakan pendatang asing yang tak berdaya supaya kelak menjadi sumber daya, tersirat dalam kata-kata Emma Lazarus. Ia menyuarakan pembelaan untuk orang asing, karena kita juga dulu orang asing yang tak berdaya. Kata-kata Emma Lazarus telah menjiwai gaya hidup yang terbuka dan majemuk hingga kini. Ia sendiri tidak menyaksikan kejadian ketika syairnya diukir pada monument Statue of Liberty, sebab wanita pengarang keturunan Portugal dan Yahudi ini meninggal dunia empat belas tahun sebelumnya. Tetapi suaranya tetap bergema di tujuh samudera dan benua:
“Give me your tired, your poor, your huddled masses…
Yearning to breath free, the wretched refuse….
Of your teeming shore.
Send these, the homeless, tempest-toast to me,
I lift my lamp beside the golden door.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar