Generasi Bingung
Sambil tertawa beberapa orang dewasa menendang-nendang seekor kucing bagaikan bermain sepak bola. Kucing itu merintih kesakitan dan lalu mati tergelepar. Baguskah perbuatan mereka? Bisa jadi budaya di situ menganggap sikap kejam mereka terhadap kuncing sebagai perbuatan terpuji. Sebaliknya, dalam budaya lain itu merupakan perbuatan keji.
Itu adalah sebuah contoh tentang life values (hampir selalu ditulis dalam bentuk jamak). Nilai-nilai hidup adalah sejumlah sikap dan perbuatan yang kita junjung tinggi sebagai sesuatu yang patut dan mulia. Nilai-nilai hidup adalah kualitas yang kita anggap ideal untuk menjadi sifat, watak dan kepribadian kita. Nilai-nilai hidup yang kita pelajari dan kita anut menumbuhkan karakter, citra diri dan tujuan hidup kita. Nilai-nilai hidup menolong kita agar tidak bingung mebedakan mana yang baik dan mana yang keliru. Nilai-nilai hidup menghasilkan perilaku yang kita anggap baik dan juga dianggap baik oleh orang lain. Cirinya universal dan akseptabel menurut kemanusiaan yang beradab. Tapi semestinya kita sadar bahwa nilai-nilai hidup bukanlah bakat atau sifat. Riang atau murung adalah sifat dan pandai bernyanyi adalah bakat; bukan nilai hidup.
Apakah nilai-nilai hidup sama dengan moral? Hampir sama namun agak berbeda. Moral adalah bentuk primer yang mengatur hubungan antar orang supaya hubungan itu jangan menjadi kacau, buas dan biadab. Nilai-nilai hidup lebih luas dari moral. Harper Encyclopedia of Religious Education menulis, “Values is a broader term than morality since it includes not only moral values but aesthetic, cultural, educational, political and economic aspects as well.”
Samakah nilai-nilai hidup dengan agama? Tidak! Meskipun agama mengajarkan junjungan tertentu, namun junjungan itu belum universal. Seandainya sebuah agama mengajar umatnya untuk menista, mengejek orang-orang tidak berTuhan (atheis), maka junjungan itu hanya akseptabel dalam agama tersebut, namun tidak akseptabel di mata mungkin sebagian agama yang toleran terhadap orang ateis tersebut. Jadi belum bersifat universal.
Kalau begitu siapa yang menentukan nilai-nilai hidup? Yang menentukan adalah budaya kita, tepatnya budaya yang diteladankan kepada kita oleh orang tua, guru dan pemuka. Termasuk yang diteladankan oleh Nabi Muhammad, Yesus, atau Sidharta Gautama bagi para pengikutnya.
Nilai-nilai hidup itu bukan bawaan sejak lahir, melainkan produk dari pengaruh didikan yang kita terima. Sepanjang hidup kita. Sepanjang umur kita akan terus diwarnai oleh pengaruh itu. Namun usia yang paling peka dalam menyerap pengaruh itu adalah masa anak dan remaja.
Sekarang mari kita intip lebih jauh apa kira-kira contoh dari nilai-nilai hidup itu…Oooh ada banyak, diantaranya; Jujur, rendah hati, kerja keras, rasa tanggung jawab, adil, menghargai waktu, komitmen dan masih banyak lagi.
---Misalnya nilai dari hidup jujur itu. Jujur terhadap diri sendiri dan bisa dipercaya orang lain merupakan dasar integritas. Apa jadinya kalau tiap orang saling mencuri atau saling tidak jujur baik di sekolah, pemerintahan dan bahkan keluarga sendiri?
-----Atau nilai dari rendah hati. Rendah hati bukan rendah diri dengan selalu berkata “Aah, aku tidak bisa”. Rendah hati juga bukan berarti bangga. Ketika berprestasi kita patut bangga, namun tidak menghina mereka yang lebih rendah prestasinya. Rendah hati adalah mau mengaku salah, tahu keterbatasan diri, bisa mengagumi orang yang lebih unggul dan bisa menempatkan diri pada kedudukan yang lebih rendah. (Hal mana belum dimiliki oleh kebanyakan pemimpin dan penguasa di negeri ini).
Bagaimanakah cara mewariskan nilai-nilai hidup? Yang pasti bukan dengan nasihat!. Nah, di sini letak persoalan dan kendala pendidikan nilai-nilai hidup kita. Hidup ini penuh dengan nasihat, petuah, wejangan, pengarahan; tetapi apakah orang-orang itu sendiri melakukannya? Apakah mereka yang berkata-kata itu juga melakukan apa yang mereka ucapkan? Apakah mereka menjadi teladan?
Coba sekarang kita lihat kenyataannya… Ayah menyuruh anak rajin belajar, namun ia sendiri jarang baca buku. Guru mengajar murid untuk adil, namun ia sendiri pilih kasih. Pemuka agama berseru-seru agar umat saling menghargai, namun ia sendiri iri dan menjegal rekannya. Polisi menegur pengemudi, tetapi ia sendiri melanggar aturan lalu-lintas (banyak itu). Para pembesar berpidato agar rakyat cinta negeri ini, namun ia sendiri mencuri uang Negara (apalagi yang beginian). Wakil rakyat berkoar-koar memperjuangkan kesejahteraan rakyat tapi uang triliunan rupiah diperuntukkan demi kenyamanan dan gengsi mereka semata!
Maka bingunglah sebuah generasi. Mereka mendengar nasihat, namun tidak melihat teladan. “Jadi mana yang betul? Kenapa ia sendiri tidak melakukannya? Katanya tidak boleh, tetapi kenapa dibiarkan saja? Bukankah itu salah, tetapi kenapa lalu semuanya itu dianggap lumrah?”
Sebuah generasi sedang bingung. Jika sebuah generasi menjadi bingung, mungkinkah ia mewariskan nilai-nilai hidup dan teladan yang tidak membingungkan bagi generasi berikutnya?
******
Dedicated with respect to all my fellow pemerintah dan juga para wakil saya yang sebentar lagi bakalan duduk nyaman disinggahsananya. Di gedung yang kata teman saya “lambang ketamakan”, “simbol egoistis” dan “ menara kesombongan” itu.
Wassalam.
-MS-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar