Teganya Dirimu, Jo!
Inginku berteriak malam iniKepada bintang – bintang
Dan bersama layang – layang ...
BIADAB !!! teriakku. Tapi aku hanya berteriak dalam hati. Lagipula hari ini sudah hampir tengah malam. Takut dikeroyok orang sekampung.
Tapi kalau aku ingat ulah si Tejo,, serasa ingin membunuhnya. Benar – benar brengsek.
***
“Wah,, sampai kapan ya aku selalu naksir orang begini. Gak pernah berani nembak cewek. Apa aku ini ga punya nyali ya?”, kataku pada diriku sendiri.
“Heh! Pagi – pagi ni anak udah ngelamun mulu. Sadar coy!”, bentak Tejo mengagetkan aku.
Aku hanya memandangnya dengan tersenyum. Belum sempat menjawab pertanyaan Tejo. Dia sudah duluan nyahut dengan kata – katanya yang menggelegar.
“Ah, kamu sih cemen, Wo’! makanya donk, biar kita anak desa, tapi jangan ketinggalan info donk! Dengerin tuh radio!! Payah kowe iku, Wo’ Bowo!!”.
Suara Tejo memang benar – benar keras seperti samber gledek. Sampai anak – anak melihat ke arahku. Jadi salah tingkah celingak – celinguk nih. Wah, malu banget rasanya. Aku segera pergi dari situ dengan sebelumnya menjitak jidat si Tejo.
Tejo memang sahabatku sejak kecil. Kami tinggal bersebelahan rumah. Tapi bedanya si Tejo anak orang berpunya. Sedang aku cuman anak seorang janda sederhana. Kami sudah seperti saudara sendiri. Kemana – mana pasti berdua. Tapi, kini aku lebih sering menyendiri karena aku kalah gaya sama si Tejo. Dan karena seorang gadis yang sempat mengalihkan dunia suramku menjadi begitu silau saat aku melihatnya meski dari kejauhan. Murni, oh Murni. Wajahmu mengalihkan duniaku. Rasanya mata ini gak butuh vitamin A lagi. Oh, pujaan hatiku, kalau setiap hari memandang wajahmu, aku gak usah makan sudah kenyang kok Mur! Itung – itung ngurangi jatah beras emakku.
Dan seperti saat ini, di kursi di bawah pohon. Aku melihatmu dari depan kelasku. Kau begitu mempesona. Bagaikan bidadari. Ehm, apa kamu benar – bidadari yang jatuh dari langit? Sehingga sayapmu telah patah ketika kau jatuh? Oh, kasihan. Kemarilah bidadari pujaan hatiku, pangeran tampan ini menunggumu.
“Pangeran – pangeran!! Siapa yang mau jadi pangeran? Kalau pangeran buruk rupa, ya memang kamu Wo’!”, bentak Pak Guruku.
Sentak aku kaget dan wajahku merah. Teman – teman sekelasku menertawakanku. Si Tejo menginjak kakiku. Sialan! Batinku mengumpat pada Tejo. Tapi aku sadar melihat pak Warno melotot dihadapanku.
“Apa kamu? Heh Bowo! Apa yang kamu pikirkan?! Waktunya pelajaran malah ngimpi! Kalau kamu mau jadi pangeran, silahkan keluar!”, bentak pak Warno.
“hah?! Apa Pak?”, jawabku terbata – bata.
“Keluar! Dasar budek. Apa yang ada di otakmu, hah??”, bentak pak Warno sambil memukul kepalaku menggunakan penggaris.
Teman – teman semakin hiruk pikuk menertawakanku. Aku jadi salah tingkah, dan segera keluar dari kelas.
“Siapa yang tertawa? Silakan keluar!”, bentak pak Warno keras. Aku lari sambil menutup telingaku.
“Wah, sial! Gara – gara kebayang Murni jadi gak konsen”. Kataku sambil tengok sana sini. Dan akhirnya berhenti terpaku pada sosok yang ku tunggu. Bibirku tersenyum lebar seperti orang gila. Hampir tertawa. Hahaha! Terbayang senyumnnya yang menawan. Oh, Murni, pujaan hati. Dia tersenyum ke arahku. Rasanya hatiku melayang di lautan mutiara. Wanginya seperti diantara pohon – pohon Cendana. Seketika perutku kenyang.
Murni tersenyum saat lewat di depanku. Dan tak pernah aku duga, dia menyapaku.
“hmm, maaf ya. Apa sampean Bowo temannya Tejo?”, tanyanya.
“eh, e,,e,,,i,,i,iya.”, jawabku sambil terbata – bata tak percaya.
“oh, kenapa di luar? Apakah gak da pelajaran ya?”, tanyanya lagi.
“He,, anu,, tadi,, ee,,, anu.. hhehe, “, kataku terbata – bata pula.
“Oh, ya sudah ya. Maaf mengganggu, aku mau kembali ke kelas. Permisi,” kata Murni sambil berlalu.
Aku masih bengong memandanginya. Tiba – tiba dia dikagetkan oleh suara seseorang..
“Woi!! Ngelamun aja kamu iki! Ayo ke kantin! Sudah waktunye isirahat neh Wo!!”, kata Tejo sambil teriak.
“Heh, dasar bocah edan! Kupingku sakit tau’ dengerin suaramu kaya gembreng! Wah,, bocah edan!”, kataku menimpali.
“Ah, sudahlah. Ayo capcus!”, jawab Tejo. Kamipun menuju kantin bersama teman yang lain.
***
“ah,, Murni, Murni. Kamu ini jadi anak kok manis banget ya. Udah pinter, manis, baik, ramah. Wah, bener – bener perfek. Hhaha”, pikirku sendirian di kamar sambil senyam senyum.
“Bowo! Sini bantuin emak ngangkat jemuran! Cepat kesini Wo!”, kata emak teriak – teriak dari luar. Aku pura – pura tak mendengarnya. Lebih asyik memandangi foto Murni di kalender. Fotonya yang berprestasi sebagai penari tingkat propinsi. ‘Aduh cantiknya’. Tak pernah ku rasa bosan dengan wajah Murni yang manis. Kalo aku semut, Murni itu gula. Tapi kalo gula yang manis pasti banyak semut yang mengincarnya. ‘wah, banyak saingan nih aku!’ ya sudahlah. Yang penting ‘faigting’ kata temen – temen yang sok pinter bahasa inggris itu.
Terus saja aku keasyikan memandangi foto si Murni bidadariku. Hmm,, tambah gila saja rasanya aku. Hingga aku tak menyadari ada emak disampingku..
“Dasar bocah lumuh! Sudah dipanggil belasan kali gak mau datang. Mau kamu apa? Ngimpi aja teros sana. Mandangin kalender kaya orang gila!”, kata emak sambil teriak dan njewer telingaku.
“Huuaaa!! Ampun Mak! Iya Mak, maafin Bowo!”, jawabku sambil teriak kesakitan.
“Ayo cepet sini bantuin emak ngangkat jemuranmu. Sudah gak mau nyuci sendiri disuruh bantuin ngangkat aja angel eram! Bocah ra duwe aturan!!”, teriak emak.
“Enggeh mak!”, jawabku sambil berlari.
***
“Wo, gimana perkembangannya? Udah berhasil ndeketin Murni belom? Udah aku bantuin loh ini. Hhehe”, kata Tejo di sekolah.
“Iya, tapi kayanya suliat amat ya? Pusing aku terus – terusan mikiran dia. Lagian aku nyadar juga aku cuman anak katrok”, jawabku.
“Hey! Jangan putus asa Wo’! coba dululah!”, jawab Tejo.
“Tapi aku nyadar Jo, aku cuman kaya gini. Lagian kamu udah lebih dekat ama Murni di les-an”, jawabku cemberut.
“Wah, kamu ini”, jawab Tejo dengan ekspresinya yang aneh.
“ Aku nyadar kok”, aku menunduk. Sepertinya Tejo memang benar ingin mendekatkanku dengan Murni. Tapi, aku lihat kenapa malah Tejo yang semakin dekat dengan Murni? Ini benar – benar mencurigakan. Masak pulang sekolah sama Murni si Tejo itu. Aku kan cemburu. Mana nilaiku jatuh semua neh gara – gara Murni. Wah, bisa – bisa madesu nih aku. Tejo benar – benar penghianat. Dia yang janji mau deketin aku sama Murni, malah dia yang nyerobot. Sialan!
Dan seperti yang aku takutkan. Saat pulang sekolah. Lagi – lagi si Tejo boncengan sama Murni. Alasannya sih, mau les. Alah, prek. Aku cuman bisa ngeliat doank.
“Wo’, aku duluan ya. Maaf ya Wo’, ngobrolnya lain kali aja”, kata Murni denga senyum manisnya.
“Iya,” jawabku singkat dengan senyuman paksaku. Aku lihat Tejo tak berkata apapun. Tapi, Murni kok pakek nyabuk si Tejo?
***
“Aaaarrrghhhh!!!!!! Brengsek kamu Jo! Teman macam apa kamu?”, teriakku sekeras – kerasnya. Haduh, pikirku sadar kalau aku kelepasan teriak. Dari belakang aku lihat ada segerombol 3 – 4 orang menegurku. Ternyata hansip. Hah, untung bukan orang sekampung.
“ Hoi!! Dasar bego! Siapa kamu? Ga tau apa malam – malam teriak kaya orang gila!”, teriak mereka bersamaan.
“ Tidaakkk!!!!”
# end #
Karya : Maslina Indriyana
Mau Cerpen mu dipublikasi di blog ini ? Klik Disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar