Wakil Ketua Umum Bidang Program dan Kerjasama GAPMMI, Lena Prawira, menjelaskan bahan pangan yang paling banyak diimpor adalah terigu dan gandum. Meski tak menyebutkan angka pasti, Lena menjelaskan hingga saat ini impor terigu masih lebih besar dibanding gandum.
Sementara untuk produk bahan tambahan pangan, meliputi sekuestran pewarna sintetik, pengeras, pengawet, antioksidan, pengatur keasaman, penyedap atau penguat rasa, pemutih, pemanis. Untuk produk lokal hanya pemanis saja yang cukup memiliki peran. Namun itu hanya sebatas gula tebu, bukan pemanis buatan. Sementara sisanya impor lebih mendominasi.
"Produk bahan tambahan pangan yang cukup baik dari dalam negeri adalah kecap, dan varian penyedap rasa," ujar dia saat dihubungi VIVAnews, Selasa, 17 Juli 2012.
Beberapa bahan produk pangan yang masih bisa bertahan adalah tepung terigu, meski sebagian kebutuhan masih diimpor. Produk lainnya yaitu tepung beras, cokelat, dan kopi.
Mayoritas pengusaha memilih impor bahan makanan karena tidak belum ada produksi dalam negeri. Sementara produk dari luar negeri menawarkan barang dengan pilihan lebih banyak. Bila pabrik lokal menyediakan, harus bersaing dengan produk impor dari segi kualitas dan harga.
Sedangkan untuk produk pangan jadi, presentase impor masih relatif kecil yaitu sekitar 20 persen dari keseluruhan produk pangan yang beredar. Namun beberapa tahun ini produk pangan jadi impor semakin banyak, terutama berasal dari Malaysia dan China.
Sementara dalam diskusi menyambut pelaksanaan Food Ingredients Asia 2012 Oktober mendatang, Lena menyampaikan kalangan pengusaha umumnya mendatangkan bahan pangan dari kawasan Eropa, Amerika, dan China. "Namun dari China, meskipun lebih murah kita masih bermasalah dengan sertifikasi halal," ujar Lena.
Padahal jika saja bahan baku pangan bisa diproduksi dan diperoleh dari dalam negeri, harga produk pangan di Indonesia bisa turun sampai kisaran 10-20 persen.
Lena mengungkapkan, para pengusaha produk pangan masih sering berhadapan dengan masalah impor. Selain tarif tinggi yang harus dibayarkan untuk produk yang didatangkan dari luar negeri, pengusaha makanan juga senantiasa berhadapan dengan ketidakpastian nilai tukar rupiah. Kedua hambatan itu yang membuat para pengusaha produk pangan ini menghadapi ketidakpastian harga.
Idealnya, ujar Lena, pemerintah membuka keran lebih lebar bagi para investor yang ingin mengalokasikan dananya untuk membangun pabrik bahan pangan. Langkah itu akan banyak membantu para pengusaha makanan dan minuman di tanah air.
"Tentu, jika ada produksi dalam negeri itu bisa lebih memberikan kepastian harga bahan pangan," kata dia
Industri pangan dalam negeri membutuhkan dukungan dari pemerintah baik sisi teknologi, insentif, pengurangan pajak atau infrastruktur. "Sejauh ini belum ada keberpihakan dari pemerintah untuk bahan pangan dan tambahan pangan ini," ujarnya.
Mengapa investasi bidang bahan pangan sedikit?
Direktur Southeast Asian Food & Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center Institut Pertanian Bogor Purwiyatno Hariyadi mengatakan Indonesia memiliki bahan melimpah dalam bahan-bahan untuk produk pangan (food ingredients). Namun ia heran mengapa tidak ada pihak tertarik untuk berinvestasi bidang food ingredients di Indonesia.
"Padahal dari semua segi Indonesia sangat siap. Dari segi bahan mentah kita berlimpah dan dari segi ahli itu juga bukan hal yang sulit" ujarnya di Jakarta, Selasa, 17 Juli 2012.
Ingredients adalah bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi pangan. Bahan-bahan itu bisa berupa bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong.
Profesor rekayasa pangan ini menilai seharusnya Indonesia mampu untuk membuat pabrik yang memproduksi food ingredients. Dari sisi ilmu pengetahuan juga dipandang tidak sulit. Sedangkan Indonesia juga kaya akan bahan mentah. Ditambah keunikan khusus karena letak Indonesia yang merupakan daerah tropis.
Beberapa bahan produk pangan yang masih bisa bertahan adalah tepung terigu, meski sebagian kebutuhan masih diimpor. Produk lainnya yaitu tepung beras, cokelat, dan kopi.
Mayoritas pengusaha memilih impor bahan makanan karena tidak belum ada produksi dalam negeri. Sementara produk dari luar negeri menawarkan barang dengan pilihan lebih banyak. Bila pabrik lokal menyediakan, harus bersaing dengan produk impor dari segi kualitas dan harga.
Sedangkan untuk produk pangan jadi, presentase impor masih relatif kecil yaitu sekitar 20 persen dari keseluruhan produk pangan yang beredar. Namun beberapa tahun ini produk pangan jadi impor semakin banyak, terutama berasal dari Malaysia dan China.
Sementara dalam diskusi menyambut pelaksanaan Food Ingredients Asia 2012 Oktober mendatang, Lena menyampaikan kalangan pengusaha umumnya mendatangkan bahan pangan dari kawasan Eropa, Amerika, dan China. "Namun dari China, meskipun lebih murah kita masih bermasalah dengan sertifikasi halal," ujar Lena.
Padahal jika saja bahan baku pangan bisa diproduksi dan diperoleh dari dalam negeri, harga produk pangan di Indonesia bisa turun sampai kisaran 10-20 persen.
Lena mengungkapkan, para pengusaha produk pangan masih sering berhadapan dengan masalah impor. Selain tarif tinggi yang harus dibayarkan untuk produk yang didatangkan dari luar negeri, pengusaha makanan juga senantiasa berhadapan dengan ketidakpastian nilai tukar rupiah. Kedua hambatan itu yang membuat para pengusaha produk pangan ini menghadapi ketidakpastian harga.
Idealnya, ujar Lena, pemerintah membuka keran lebih lebar bagi para investor yang ingin mengalokasikan dananya untuk membangun pabrik bahan pangan. Langkah itu akan banyak membantu para pengusaha makanan dan minuman di tanah air.
"Tentu, jika ada produksi dalam negeri itu bisa lebih memberikan kepastian harga bahan pangan," kata dia
Industri pangan dalam negeri membutuhkan dukungan dari pemerintah baik sisi teknologi, insentif, pengurangan pajak atau infrastruktur. "Sejauh ini belum ada keberpihakan dari pemerintah untuk bahan pangan dan tambahan pangan ini," ujarnya.
Mengapa investasi bidang bahan pangan sedikit?
Direktur Southeast Asian Food & Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center Institut Pertanian Bogor Purwiyatno Hariyadi mengatakan Indonesia memiliki bahan melimpah dalam bahan-bahan untuk produk pangan (food ingredients). Namun ia heran mengapa tidak ada pihak tertarik untuk berinvestasi bidang food ingredients di Indonesia.
"Padahal dari semua segi Indonesia sangat siap. Dari segi bahan mentah kita berlimpah dan dari segi ahli itu juga bukan hal yang sulit" ujarnya di Jakarta, Selasa, 17 Juli 2012.
Ingredients adalah bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi pangan. Bahan-bahan itu bisa berupa bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong.
Profesor rekayasa pangan ini menilai seharusnya Indonesia mampu untuk membuat pabrik yang memproduksi food ingredients. Dari sisi ilmu pengetahuan juga dipandang tidak sulit. Sedangkan Indonesia juga kaya akan bahan mentah. Ditambah keunikan khusus karena letak Indonesia yang merupakan daerah tropis.
Ia mencontohkan seperti buah manggis memiliki potensi untuk dikembangkan karena kulitnya mengandung anti oksidan tinggi. Kulit manggis menghasilkan antioksiden 10 kali lebih banyak dari yang dihasilkan blueberry dan cherry. "Padahal di luar negeri blueberry dan cherry merupakan sumber antioksidan utama yang dipakai produk pangan," ujarnya.
Rendahnya investasi itu juga dikarenakan masih sedikit pengetahuan yang dimiliki investor dan pengusaha Indonesia terkait bidang ini. Keduanya belum mengetahui betapa besarnya keuntungan bisnis ini.
Source:viva
Rendahnya investasi itu juga dikarenakan masih sedikit pengetahuan yang dimiliki investor dan pengusaha Indonesia terkait bidang ini. Keduanya belum mengetahui betapa besarnya keuntungan bisnis ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar