Menertawakan Diri Sendiri Itu Penting.
Kepala orang ini tiba-tiba ada di dalam tubuh seekor kalkun raksasa. Di hari yang lain ia secara tiba-tiba berada di dalam kamar operasi dan bertindak sebagai seorang dokter, duh! Betapa kagetnya pasien ketika melihat siapa dokter di hadapannya itu. Ia juga pernah makan ikan hias hidup-hidup saking laparnya dan tidak ada lunch bagi dirinya. Ikan itu diselip di antara roti tawar miliknya berikut selembar sayur kol. Itulah beberapa adegan lucu seorang Rowan Atkinson yang berperan sebagai Mr.Bean.
Kita sering dibuat tertawa oleh adegan-adegan film lucu. Salah satunya adalah film Mr.Bean ini. Adegan lucu Mr.Bean bahkan membuat kita terbahak tanpa mendengar ia berbicara sama sekali. Gerakannya, mimik mukanya, tatapannya dan gerak-geriknya saja sudah membuat kita geli dan tertawa.
Tertawa itu sehat. Tertawa itu obat awet muda, bahkan ada pendapat seperti itu. Tertawa itu membuat hati kita senang. Bahkan pun ketika kita sementara menertawai orang lain. Memang naluriah dasar manusia adalah menjadikan orang lain itu sebagai objek, termasuk dalam hal tertawa. Artinya, kita begitu senang ketika bisa menertawakan orang lain. Waktu kita kecil, melihat teman kita terjatuh kita tertawa secara spontan, merasa lucu. Setelah dewasa pun kita tertawa ketika melihat ada orang lain yang “jatuh”, walau kita bukan tertawa lucu lagi, melainkan tertawa senang. Senang lawan kita jatuh, kalah, tersingkir, terluka dan masih banyak lagi.
Kemudian marilah kita lihat acara-acara TV yang sering membuat kita tertawa sekuat-kuatnya, terpingkal-pingkal ketika melihat kejadian-kejadian spontan di acara-acara seperti “spontan”, “big laugh”, “America’s funniest home video” dan masih banyak lagi. Orang mengerjai orang lain membuat kita tertawa. Orang dikerjai orang lain membuat kita tertawa. Orang kena musibah kita tertawai. Memang ada juga video kelucuan sering dengan sengaja dibuat (dibuat-buat) untuk memancing tawa. Tapi bagaimana kalau kita ada di posisi orang-orang yang ditertawai itu?
Nah, pernahkah terpikir oleh kita untuk sekali-kali menertawakan diri sendiri? Menertawakan diri sendiri sebenarnya sehat juga, bahkan jauh lebih sehat daripada sekedar menertawakan orang lain. Dengan menertawakan diri sendiri kita diajak mengintrospeksi diri atas semua kebodohan kita, kelalaian kita, kesembronoan kita. Maka tertawalah ketika Anda tidak lulus ujian sambil mengatakan “betapa bodohnya saya!”, tertawalah ketika Anda terlambat ke kantor karena bangun kesiangan, waduh kok bisa-bisanya. Tertawalah ketika keteledoran Anda membuat usaha yang sedang dibangun jatuh bangkrut. Lalu berusaha untuk menjadi lebih baik. Menertawai diri sendiri itu memang sehat dan perlu.
Mungkin Anda kenal dengan tokoh Nasrudin? Menurut catatan ia sebenarnya adalah seorang sufi yang hidup di Turki pada abad ke-14. Ada ratusan anekdot tentang si Nasrudin ini yang merupakan paduan humor dan satire (gaya bahasa sindiran). Bahkan ada sekitar hampir seratus buku dalam bahasa Inggris yang berisi koleksi dan analisa cerita Nasrudin.
Kalau kita membaca anekdot-anekdot Nasrudin ini sarat akan kebenaran yang menusuk, namun dikemas sedemikian rupa sehingga pembaca tidak menjadi marah, atau tersinggung, melainkan justru sering malah menertawakan diri sendiri.
Karakter Nasrudin digambarkan sebagai seorang yang meyakini suatu keyakinan yang jelas. Tapi ia meyakininya dengan sifat lugu, artinya wajar serta apa adanya. Keyakinannya selalu terungkap dengan sederhana namun padat dan jelas. Keluguan itu pula yang membuat pesan kebenaran Nasrudin menjadi ampuh.
Mari kita simak cerita Nasrudin yang punya nilai sederhana tapi dalam.
Nasrudin sedang duduk di tepi pantai. Tiba-tiba ada orang tenggelam dan berteriak minta tolong, “tolong, tolong!” Langsung orang-orang berteriak, “berikan tanganmu!” Tetapi orang itu tidak mau mengulurkan tangannya. Lalu Nasrudin mendekat dan berteriak, Ambil tanganku!” Ketika itu juga orang tadi meraih dan memegang erat tangan Nasrudin. Semua orang heran dan bertanya, “Nasrudin, mengapa dia tidak mau menanggapi teriakan kami?” Nasrudin menjawab, “Orang ini terkenal kikir. Ia tidak mau memberi, ia hanya mau menerima.”
Masih mau dengar cerita Nasrudin lainnya?
Nasrudin melakukan perjalanan bersama dua orang kawan. Ia lapar dan ingin membagi roti satu-satunya yang dimilikinya. Tetapai kedua teman yang belum lapar itu berkata, “Besok sajalah! Malam ini kita langsung tidur. Barangsiapa yang mimpinya paling bagus, dia boleh makan roti ini.” Keesokan harinya seorang teman berkata, Mimpiku bsangat bagus. Aku melihat nabi.” Temannya yang lain berkata, “Mimpiku lebih bagus lagi. Aku melihat Tuhan.” Sekarang giliran Nasrudin. Dengan suara perlahan dan kepala menunduk Nasrudin berkata, “Aku tidak melihat nabi dan juga tidak melihat Tuhan. Yang kulihat adalah istriku. Ia menyuruh aku memakan roti itu. Lalu aku segera bangun dan langsung memakan roti itu. Sekarang roti itu sudah habis.”
Apa? Masih pengen dengar cerita Nasrudin lagi? Nanti lain kali saja yah, sekarang waktunya untuk tertawa. Ha ha ha!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar