Kamis, 26 November 2009

KISAH NYATA PENCARIAN AGAMA ISLAM


kebenaran tentang ajaran AL-ISLAM memang sudah banyak bukti yang menjelaskannya.dari segala penelitian dengan berbagai dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, semuanya tidak dapat ditemukan kesalahan dan kerancuan ajaran di dalamnya.banyak sekali alasan orang memilih dan menjadikan AL- ISLAM sebagai tujuan hidup atau pilihan terakhir dari proses pencariannya dari berbagai ajaran/kepercayaan dan agama yang ada di dunia ini.
satu hal lagi yang tidak dapat diukur dengan kekuatan dan daya pikir manusia ataupun logika,kita sangat mengakui adanya HIDAYAH, yang ALLAH berikan kepada orang-orang tertentu,yang senantiasa mencari sumber kebenaran yang hakiki.
berikut ini, saya tampilkan tulisan pribadi saudara kita yang baru saja memluk AL-ISLAM karena proses pencarian yang panjang dan berliku,semoga penjelasan dan latar belakang saudara kita yang menjadikan alasan utamanya menjadikan AL-ISLAM sebagai sandaran terakhir beliau ini,menjadikan kita yang sudah dari awal memeluk agama ini bertambah semakin yakin dan terus memperdalam agama kita sendiri.

1.YESUS DAN AJARANNYA

Yesus yang menurut orang Kristen dan Katolik adalah Allah
  Putera yang turun ke dunia untuk menjadi manusia dan penebus dosa umat
  manusia, memang dapat diakui sebagai tokoh sejarah yang hebat. Tahun dibagi
  menjadi dua ialah sebelum Masehi dan sesudah Masehi. Terhadap tokoh ini
  beraneka ragam pendapat. Golongan Yahudi, berpendapat bahwa Yesus itu tokoh
  pemberontak dan pengacau. Golongan Kristen, memujanya sebagai pribadi Allah
  yang turun mengejawantah. Golongan Islam berpendapat bahwa Yesus seorang Nabi
  besar, tetapi bukan putera Allah.
 
  Lepas dari semua pandangan yang berbeda, kalau kita meninjau tokoh ini memang
  merupakan tokoh yang boleh dibanggakan pengajaran-pengajarannya. Beliau mengajarkan
  kerendahan hati yang tulus: “Jika engkau ditampar pipamu yang kiri;
  serahkanlah yang kanan.” Sikap munafik ditentangnya
 
  hebat-hebatan. “Jika engkau berdoa, masuklah kedalam rumah, tutuplah pintu
  dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi” (Mateus 6: 6).
  Dan sabdanya: “Janganlah berdoa seperti orang munafik, yang suka bertdoa
  ditepi-tepi jalan dan ditikungan jalan supaya dilihat orang.”
 
  Dalam memberi dermapun Yesus mengutuk sikap munafik, “Jika engkau memberi
  sedekah, janganlah diketahui oleh tangan kiri apa yang dibuat oleh tangan
  kanan” (Mateus 6: 3). Juga dalam hal berpuasa sikap munafik yang hanya ingin
  dilihat orang lain sangat dicela oleh Yesus: “Jika engkau berpuasa jangan
  muram mukamu, tetapi minyakilah rambutmu dan cucilah mukamu supaya orang lain
  tak melihat engkau sedang berpuasa” (Mateus 6: 16-18).
 
  Yesus mengajar kepada kita untuk percaya betul kepada penyelenggaraan Ilahi,
  supaya kita tidak membalas dendam kepada orang lain. Untuk itu periksalah
  Mateus pasal 6. Orang dari agama apapun bisa menghargai Yesus dan semua
  ajarannya. Bagiku Yesus adalah Guru yang baik, Guru yang mengajarkan kebaikan
  dan kesolehan yang tidak dibuat-buat.
 
  Beliau paling membenci sesuatu hal yang dibuat-buat, hari Sabat yang dianggap
  keramat oleh golongan Parisi didobraknya karena mereka melaksanakan hukum
  hari Sabat secara berlebih-lebihan sehingga cinta kasih kepada sesama
  diabaikan demi kekeramatan hari Sabat.
 
  Yesus mengajar dengan bahasa rakyat, bahasa yang bisa dimengerti oleh rakyat
  jelata. Beliau bukan saja mengajarkan kesederhanaan, tetapi beliau juga
  melaksanakan kesederhanaan itu. Beliau tidak hanya mengajar supaya kita
  mencintai orang lain, tetapi beliau juga melaksanakan cinta kasih dengan
  menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, menolong penganten yang
  nyaris kehabisan anggur di tengah-tengah pesta mereka.
 
  Yesus juga contoh pribadi yang tidak segan-segan berkata:
  “Tidak” jika memang keyakinannya demikian. Beberapa kali orang Parisi mencoba
  menjebak dia, namun dia bisa membalikkannya dengan begitu tepat. Ketika orang
  Parisi bertanya: “Perlukah kita membayar pajak?” Yesus dengan pertanyaan ini
  dihadapkan kepada buah simalakama, pata posisi yang sulit. Jika dia berkata:
  ‘~tidak,, dia dianggap pemberontak. Jika menjawab: “ya,” mereka akan berkata
  mengapa utusan Allah lebih rendah dari pada Kaisar. Dalam keadaan seperti itu
  Yesus balik bertanya: “Coba tunjukkan uang itu. Gambar siapakah itu?” Jawab
  kaum Parisi: “Gambar Kaisar.” Kemudian Yesus berkata: “Serahkanlah kepada
  kaisar yang menjadi hak kaisar dan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan.”
 
  Saya mengakui bahwa pribadi Yesus begitu agungnya, sampai-sampai seluruh
  hidupnya dicurahkan untuk memberikan perhatian kepada orang kecil. Saya
  menghormati pribadi ini sebagai pribadi yang mendobrak ketidakadilan, dan
  menolak kultus individu. Kepada orang yang disembuhkan dari sakit, dia selalu
  berpesan agar tidak dikatakan kepada orang lain peristiwa penyembuhannya itu.
 
  Tentang kemurnian hidup beliau mengajarkan: “Setiap orang yang memandang
  seorang wanita, dan menginginkannya sudah berzina di dalam hatinya” (Mateus
  5: 28). Dalam memilih murid-muridnya Yesus tidak memandang dari mana asal
  usulnya. Mateus, seorang penarik bea yang dalam pandangan masyarakat Yahudi
  bukan profesi yang baik, dipilih sebagai seorang muridnya. Petrus seorang
  nelayan sederhana, dipilih sebagai tua-tua murid yang lain.
 
  Yesus tidak menyukai kekerasan, walaupun itu kepada musuhnya. Ketika Petrus
  memarang telinga tentara yang akan menangkap Yesus sehingga daun telinganya
  putus, daun telinga itu justru diambil oleh Yesus dan dilekatkan kembali
  ketempat asalnya.
 
  Kepada orang yang mendengarkan pengajarannya, beliau tidak melupakan
  kesejahteraannya. Ketika pada waktu makan dan tidak tersedia makanan, Yesus
  mengambil sepotong roti kecil dan dua ekor ikan yang dibawa oleh anak kecil
  kemudian diperbanyak olehnya dan dibagikan kepada orang-orang itu; tetapi
  manakala pada kesempatan lain orang berbondong-bondong mengikuti, justru
  Yesus menolaknya karena tahu bahwa motivasinya karena ingin roti hasil
  mukjijat Yesus.
 
  Tiada suatu pengaruh lain yang bisa melenyapkan peoghormatanku pada Yesus
  Kristus sebagai pribadi pembaharu peradaban manusia.

2.KEBIMBANGAN BERJALAN TERUS

Terhadap pribadi Yesus, saya tidak mempunyai keraguan
  tentang pengajarannya. Tentang hukum etis dan moral yang diajarkannya sungguh
  bernilai tinggi. Tetapi tentang dosa asal, tentang Santo dan Santa, tentang
  silsilah Yesus; bolehkah semua itu kuanggap tidak penting? Yang penting inti
  iman. Sampai aku menjadi Guru Agama, kebimbangan itu berjalan terus. Yang
  saya herankan sekarang ialah, apakah orang yang saya ajar itu tidak bimbang
  bila saya sendiri yang mengajar sesungguhnya hatiku juga bimbang. Saya tidak
  tahu, dan belum pernah menanyakan kepada katekumers saya (orang yang aya ajar
  agama) dan dari mereka saya tidak pernah menerima pertanyaan itu.
 
  Lebih aneh lagi sebetulnya, kalau aku mengingat bahwa ketika aku menjadi
  mahasiswa di Fakultas Pendidikan Kateketik dan berpraktek Stasi di
kota
kecil Walikukun,
  Kabupaten Ngawi begitu banyak orang yang saya Katolikkan. Cara pendekatan
  saya begitu baik sehingga kepada Kepala Desa Mengger, Kepala Desa Karangbanyu
  dan Kepala Desa Dirgo (Bau) saya bisa minta dikumpulkan orang-orang desa
  untuk saya ajar agama Katolik.
 
  Setelah saya menjadi Guru Agamapun saya boleh dikatakan sebagai Guru Agama
  yang berhasil dalam hal meng-Katolik-kan banyak orang, atau
  sekurang-kurangaya membuat suatu masyarakat bernafaskan Katolik. Akhirnya
  masa tugasku sebagai Guru Agama kujalani di
kota
kecil Sumpiuh, Kabupaten Banyumas
  dalam Keuskupan Purwokerto. Tempat tugasku hanya berjarak 5 km dari tempat
  kelahiranku, Tambak. Di dalam Injil ada disebut: “Seorang nabi tak dihargai
  di negerinya,” walaupun begitu tugasku di Sumpiuh dapat kunilai dan dinilai
  orang lain: sukses. Dalam waktu tiga tahun saya di Sumpiuh saya melayani tiga
  orang Pastor berturut-turut yaitu: Rama A. Wahyo Bawono Pr, bekas Letnan
  Kolonel Kostrad Tituler, Rama Antonius Willing MSC, Rama H. Obbens MSC.
 
  Dengan dua Pastor yang terdahulu saya bisa bekerja sama dengan baik tidak
  pernah ada misunderstanding, tetapi dengan Rama Obbens keadaannya lain.
  Tetapi hubungan yang kurang baik antara saya dengan beliau tidak menjadi
  alasan yang penting mengapa saya masuk Islam. Kalau hal itu dianggap sebagai
  proses yang mempercepat mungkin boleh, tetapi jika ini dianggap sebagai
  penyebab utama tidak mungkin.
 
  Seperti lajimnya keluarga Katolik, lebih-lebih saya Guru Agama, maka anak
  yang baru lahir itupun kumintakan baptis. Ketika aku menyaksikan upacara
  baptis anakku timbullah suatu pertanyaan besar: “Apakah betul anakku sudah
  punya dosa asal warisan zaman Adam dan Hawa akibat dosa mereka?” Gereja
  Protestan memang lebih rationil dalam hal pembaptisan ini, yang tidak mau
  membaptis seseorang tanpa kemauan bebas dan kehendak orang yang bersangkutan.
 
  Seperti halnya kakekku yang meletakkan dasar pada pendidikanku sehingga
  seluruh pribadinya sempat mewarnai juga pribadiku, maka pergaulanku tidak
  tertutup pada suatu kelompok masyarakat. Dengan orang Protestan dan Islam
  saya banyak bergaul. Dengan pejabat-pejabat setempat selalu saya memelihara
  hubungan baik. Tetapi juga dengan kalangan masyarakat yang diemohi oleh
  masyarakat saya usahakan hubungan yang baik.
 
  Dengan wanita pelacur saya tidak segan-segan untuk bergaul dan mengunJungi
  mereka. Itu semua kulakukan bersama-sama isteriku bila aku mengunjungi
  tempat-tempat pelacuran. Bukan karena isteriku tidak percaya kepada
  kesetiaanku, tetapi suara masyarakat yang negatif hampir tidak pernah saya
  dengar dengan selalu mengajak isteri saya bila ke
sana
.
 
  Di situlah saya berpikir, mengapa Pimpinan Gereja tidak pernah mempunyai
  konsepsi dan buah pemikiran untuk wanita P? Bukankah Kristus memberi contoh
  dengan membela Maria Magdalena yang akan dihukum rajam (lempar batu) karena
  kedapatan sedang berjina? Yesus dengan kewibawaanya berkata:
  “Siapa yang tidak mempunyai; dosa silakan lempar batu dahulu!”
 
  Kebimbangan itu pada akhirnya sampai pada puncaknya ialah, mula pertama
  dengan tidak meyakini peranan Bunda Maria sebagai perantara manusia kepada
  Allah Bapa dan Allah Putera. Jadi imanku Katolik saya kurangi dengan
  dosaasal, pembaptisan bayi, peranan Bunda Maria. Bolehlah dikatakan saya
  sudah menjadi Protestan secara praktis.
 
  Hal itu memang benar, jika saja proses. itu berhenti sampai di sini saia.
  Tetapi proses ini berkembang dengan tidak meyakini lagi pada diri saya bahwa
  Yesus itu Allah, walaupun saya tetap meyakini bahwa Kristus adalah Guru yang
  baik.
 
  Soal Trinitas dan lain-lainnya dapat Saudara baca pada bagian karangan saya
  yang berjudul: “Siapakah Juru Selamat Dunia?,” yang dimuat bersama-sama
  serial ini. Perlu kiranya saya tambahkan bahwa buku: “Yesus Kristus dalam Al
  Quran dan Mohammad dalam Bijbel,” karya Drs. Hasbullah Bakri, telah mendorong
  saya dan membantu studi tentang masalah ketuhanan Yesus.

3.PUTUSAN TERAKHIR

Memang tidak mudah untuk mengambil keputusan terakhir,
  lebih-lebih jika ini menyangkut soal iman. Pada studi saya lebih lanjut
  disamping saya sampai pada kesimpulan bahwa Yesus bukan pribadi Allah, sampai
  juga saya mengimani bahwa Muhammad itu adalah Nabi Utusan Allah.
 
  Sebetulnya dengan ini saya sudah menjadi orang Islam dalam batin. Saya
  seorang yang dalam mengambil keputusan tidak begitu tergesa-gesa, segi-segi
  saya pertimbangkan dengan betul.
 
  Dalam awal tahun 1977, saya pergi ke Lampung menghadap orang-tuaku untuk
  mohon doa restu. Keputusanku sudah bulat pada waktu itu ialah: “masuk Islam.”
  Teringatlah saya akan sabda Yesus “Carilah dulu Kerajaan Allah dan segala
  kebenarannya yang lain akan diberikan sebagai tambahan” (Mateus 6: 33).
 
  Ujian pertama, ialah kemarahan orang tuaku, ibuku marah dengan sangat begitu
  mendengar keputusanku. Saya: pulang dari rumah ibu dengan hati yang
  berkeping-keping. Di Jakarta saya istirahat beberapa hari. Dan akhirnya saya
  bisa bertemu dengan Bapak Mollammad Natsir gelar Datuk Sinaro Panjang. Beliau
  sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat.
  Akhirnya dengan bantuan beliau saya berkuliah untuk memperdalam Agama Islam
  pada IAIN “Sunan Kalijogo,” Fakultas Ushuludin Yogyakarta.
 
  Keputusanku masuk Islam kutuangkan dalam Pernyataan didepan Bapak Syamsuri
  Ridwan, Kepala Dep. Agama Kab. Banyumas di Purwokerto disaksikan oleh: AK.
  Ansori, Somad, Moh. Tohar BA, tgl. 14 Januari 1977.
 
  Perpisahan dengan Gereja Katolik bukan berarti perpisahan dengan Yesus atau
  Isa a.s. Guruku yang pengajarannya kukagumi.
 
  Selamat tinggal Gereja Katolik saya merasa berhutang budi kepadamu karena engkau
  telah mendewasakan pribadiku dan mengembangkannya. Seminggu setelah aku
  mengambil keputusan ini, aku masih tetap menangis. Bukan menangis menyesal
  telah mengambil keputusan yang engkau anggap salah, namun perpisahan dengan
  engkau almamater yang telah sekian lama aku berkecimpung di dalamnya cukup
  mengharukan dan menyedihkan hatiku.
 
  Walaupun pengajaran-pengajaranmu banyak yang tidak kupercaya lagi namun aku
  ingin menjadi sahabatmu yang baik, walaupun aku sudah dalam biduk lain.
 
  Akhir tulisan saya, saya ingin minta maaf kepada para Wali Gereja Katolik
  terlebih-lebih Bapa Uskup Alb. Hermelink Gentiaras SCY, bekas Uskup
  Tanjungkarang, Mgr. P.S. Harjosumarto MSC, Uskup Purwokerto, para Pastor yang
  telah mengenal saya, sesama rekan Guru Agama dan saudara-saudara yang
  beragama Katolik, barangkali saya dianggap telah mengambil keputusan yang
  sesat. Namun keputusan itu telah saya ambil dalam kedewasaan pribadi, waktu
  yang lama, studi yang mendalam dan doa kepada Tuhan. Akhirnya saya
  mengucapkan selamat tinggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar