Senin, 30 Mei 2011

Dokter Kita Mungkin Harus Belajar Dari Patch Adams

Dokter Kita Mungkin Harus Belajar Dari Patch Adams


Pengalaman tidak sedap sungguh ketika menghadapi dokter yang galak, tidak ramah dan kasar. Tapi mungkin kita hanya bisa melongo dan menunduk sedih. Tidak bisa apa-apa karena kita yang datang berobat dan merekalah yang mengobati kita. Padahal dokter harusnya bisa memahami kondisi pasien tidak hanya secara fisik tapi juga psikologis sang pasien. Harusnya dokter menciptakan hubungan yang akrab dengan pasien, agar tiap pasien merasa dirinya dihargai dan ia bergembira. Bukankah hati gembira adalah obat yang manjur?

Saya mengalami pengalaman yang tidak sedap itu ketika mengantar tante saya ke rumah sakit terkenal di kota saya. Rumah sakit dengan semboyan “Pelayanan Kami Adalah Yang Terbaik” serasa hanya sedap dipandang mata. Tapi kenyataannya dokter yang bekerja di situ kurang memahami apa arti semboyan itu. Bayangkan, waktu itu sudah agak sore dan tante saya sudah menempati ruang lantai dua sejak jam 1 siang tapi pelayanan kok hanya dari para suster, mana dokternya? Nah, akhirnya datanglah dokter setenga baya itu sembari mulai memeriksa tante saya. Setelah itu dokter bilang, “oke, malam ini ibu harus nginap di rumah sakit karena masih ada pemeriksaan lebih intensif besok pagi”.

Saya masih menemani tante saya sampai pukul 8 malam. Ketika saya berencana untuk keluar buat cari makan, tiba-tiba pintu ruang terbuka dan ada dokter muda, cantik tapi kelihatan agak galak masuk, dan sambil kaget dokter itu bilang dengan ketusnya, “lho, kok tante masih disini? Pulang saja. Tante itu tidak apa-apa, bikin penuh ruangan saja! ‘Kan bisa di pakai buat pasien lain.” Lho, balik saya yang jadi kaget. Apa RS ini tidak ada koordinasinya? Dokter yang satu bilang supaya tinggal, kok dokter muda ini dengan galak dan kasarnya ngusir tante saya pulang? Apa haknya? Saya bilang “Dok, tante saya bayar dan datang berobat bukan untuk dibentaki dan dikasarin. Ada dokter lain yang suruh tante saya nginap!”. Ia terlihat tergesa-gesa hanya menulis beberapa list dan ngeloyor pergi sambil nyeletuk “Sorry, saya tidak tahu!!”

Ini bukan kali pertama. Teman saya juga menceritakan pengalaman mengantar neneknya berobat. Pelayanan dokter katanya sangat mengecewakan. Karena neneknya bergerak lambat---maklumlah sudah tua renta tentu saja lambat---ia dibentak-bentakin dokter, “Cepat dikit oma, saya juga harus menangani pasien lain!”. Dokter kok galak amat sih. Pikir saya. Harusnya mereka memiliki kesabaran, keramahan dan santun. Bukankah katanya dokter adalah pekerjaan mulia seperti juga guru?

Saya tidak mau terjebak dalam sikap generalitatif. Memanglah tidak semua RS sama, demikian pula tidak semua dokter sama seperti contoh dua dokter tadi. Dan kejadian seperti ini bukan hanya di Indonesia. Di rumah sakit sekelas JFK (John F Kennedy Hospital) Di NJ Amerika pun punya beberapa kasus yang sama. Ketika saya mengantar teman kerja saya yang kesakitan luar biasa ---belakang saya baru tahu ia mengalami hiatus hemia atau sakit maag yang sangat akut---pelayanan mereka justru sangat lambat. Padahal saya bilang tangani saja sembari saya memberesi urusan administrasinya. “You are not going to let him suffer or die first, are you?” Malah dengan ketusnya salah seorang dokter bilang “So what?”

Saya jadi Robin William, aktor terkenal peraih beberapa piala Oscar yang bermain dalam film Patch Adams dan berperan sebagai Patch Adams. Ia adalah seorang mahasiswa kedokteran yang unik. Tapi film ini dibuat berdasarkan kisah nyata di Virginia. Sekitar tiga jam naik mobil ngebut kalau dari tempat saya Edison, NJ. Dalam kisahnya si Patch itu paling pandai di kelasnya dan termasuk peringkat atas. Ia juga sangat suka melucu. Tapi hobi melucu itu berakibat buruk baginya. Dekan sekolah kedokteran menganggap bahwa perbuatan melucu Patch telah melanggar peraturan rumah sakit. Akibatnya, Patch terancam dipecat, padahal wisuda tinggal beberapa bulan lagi.

Banyak contoh dalam film itu bagaimana Patch melucu, lihat saja bagaimana ia masuk ke bangsal anak-anak penderita kanker. Muka mereka pucat. Rambut mereka sudah rontok. Wajah mereka sayu. Mereka hanya terbaring lemas. Lalu Patch mendekati seorang anak, lalu ia tersenyum dan menyapa dengan mimik muka lucu. Anak ini tertawa. Anak-anak lain di bangsal itu mendengar lalu menoleh. Patch kemudian mulai melucu bagaikan badut di tengah bangsal. Semua anak bersorak. Mereka tertawa terpingkal-pingkal sampai melompat-lompat di ranjang.

Patch juga melucu dalam hal lain. Ia mendengar bahwa ada seorang oma yang sudah beberapa hari tidak mau makan. Patch meminta staf dapur menyiapkan sebuah bak besar berisi mi kuah. Bak itu lalu diletakkan di halaman rumah sakit. Disoraki oleh puluhan perawat, Patch menggotong oma itu. Lalu mereka berdua mencemplungkan diri ke dalam bak berisi mi kuah itu.

Apa sebenarnya falsafah yang melatarbelakangi Patch melucu? Ia berkeyakinan bahwa tugas seorang dokter bukan sekedar menyembuhkan, sebab tidak semua penyakit bisa disembuhkan. Tugas utama seorang dokter adalah membuat pasien merasa hidupnya bermutu. Patch berkata, “A doctor’s mission shoud be not just to prevent death, but also to improve the quality of life.” Artinya, Bahwa misi seorang dokter tidak hanya mencegah pasien supaya tidak meninggal, tapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup si pasien. Bikinlah pasien merasa dihargai dan bermartabat.

Falsafah Patch ini mendorong ia melakukan beberapa hal. Diantaranya ia menyapa pasien dengan menyebut nama, sebab pasien adalah seorang pribadi bukan kasus. Juga ia berusaha mengurangi rasa cemas pasien dengan bersikap ramah dan santai. Memang dokter selalu sibuk dan ia harus berpikir serius. Tetapi bukankah sebenarnya dokter bisa bersikap lebih ramah dan lebih santai terhadap pasiennya? Sunggulah besar pengaruh senyum dan keramahan dokter terhadap pasiennya. Saya alami dan yakini itu.

Tetapi apa yang diperjuangkan Patch ternyata dihadang oleh dekan sekolah kedokteran. Apakah Patch bisa lulus? Ataukah malah ia dipecat? Kalau Anda berkunjung ke Virginia dan menyaksikan sebuah rumah sakit yang kebanyakan pasiennya berekreasi di taman, bermain-main riang gembira, bercakap-cakap secara berkelompok di kebun maka Anda akan segera tahu apakah patch dipecat atau sebaliknya. Lebih gampangnya nontonlah film Patch Adams itu. Lucu dan menghibur sekaligus mengharukan. Banyak pesan moral untuk profesi dokter.

Kalau saja para dokter yang sangar, kasar dan tidak ramah itu menonton film Patch Adams mungkin mereka bisa merubah sikap dan cara pandang mereka terhadap pasien.Jangan merasa bahwa karena pasienlah yang datang berobat maka martabat mereka jadi lebih rendah daripada mereka yang mengobati para pasien itu. Kalau saja lebih banyak dokter yang bersikap seperti Patch Adams yang mengutamakan sikap ramah dan pendekatan personal alangkah indahnya rumah sakit-rumah sakit kita. Patch telah mendobrak sikap kaku profesi dokter sebagaimana Briptu Norman mendobrak sikap kaku dan sangar para polisi di mata masyarakat. Bukannya maksud Patch agar semua dokter harus jadi seperti badut. Dokter harus berpikir sungguh-sungguh dan serius. Tetapi apakah seorang dokter tidak bisa sedikit lebih ramah? Apakah dokter dilarang untuk tersenyum pada pasien?



Catatan: Film Patch Adams ini diangkat dari kisah nyata Hunter Doherty “Patch” Adams, M.D (lahir May 28 1945di Washington D.C.) Ia kemudian menjadi seorang American Physician yang terkenal, seorang aktivis sosial yang rajin, menjadi diplomat dan penulis buku serta penulis artikel di sejumlah surat kabar. Ia mendirikan Gesundheit! Institute tahun 1971. Setiap tahun ia mengorganisir sebuah grup sukarela dari berbagai penjuru dunia untuk berkeliling dunia ke berbagai negara, mereka mengenakan pakaian seperti badut dengan tujuan membawa hiburan dan humor kepada para anak yatim piatu, para pasien rumah sakit-rumah sakit dan orang lain yang menderita batin.

Michael Sendow

Tidak ada komentar:

Posting Komentar