Jumat, 23 Mei 2008

Musim semi di Roosevelt Park


Di Roosevelt Park, NJ ada danau kecil yang indah pemandangannya. Hari Rabu yang lalu saya sempatkan diri untuk sekedar menghirup udara segar dengan jalan-jalan di pinggir danau kecil tersebut. Musim semi selalu indah, udara terasa segar, daun-daun terlihat segar dan pemandangan selalu enak dilihat. Ini hasil jepretan saya, seekor Unggas siap-siap melakukan rutinitasnya. Olah-raga air, berenang !

Foto ini terpilih ketika saya sertakan dalam pemilihan foto terbaik 2008 disini :
The editorial team of Photography Laureates has conducted a detailed examination of the best photographs submitted to us in the last months. We have decided to publish in an Anthology the very best photographers and the most exceptional pictures we have encountered.

We would like to congratulate you for being selected for publication as part of our highly acclaimed Photography Anthology. As such, you are a finalist for the $6500 prize. As a Laureate and talented photographer, you now have access to several networking opportunities aimed at exposing you to the photography community.

Your photograph was selected out of hundreds of competing entries and you will be published along with other talented photographers.
Your photograph, Ready to swim, was selected for its composition and illusion of depth...

Kita mesti memulainya.........


Ada pepatah yang mengatakan, "Semua permulaan itu sulit" (All beginnings are difficult). Benar sekali. Ketika anda seorang pria jatuh hati terhadap seorang wanita, apa yang paling meresahkan...? Pasti : bagaimana melancarkan "serangan pertama". Tetapi ada pula pepatah lain yang mengatakan : A good beginning is half-done. Artinya, sebuah awal yang baik berarti pekerjaan telah setengah rampung. Oleh karena itu alangkah sulitnya, tetapi juga alangkah menentukannya memulai sesuatu itu!

Di dalam perjuangan memberantas korupsi, bagaimana kita hendak memulainya juga adalah sesuatu yang paling menantang. Sedikit saja anda salah cuap atau salah tindak, tidak mustahil hasilnya akan bertolak belakang dari apa yang kita harapkan, bisa saja malah anti-pati dan salah-paham yang kita terima. Kita mesti memulai. Memulainya dengan segra dan dengan bijak. Korupsi telah mengurat-akar di nadi-nadi negeri kita, yang sama-sama kita cintai. Ia telah menjadi penyakit akut, perlu kemauan (tekad), kerja keras dan kebijaksanaan untuk memberantasnya.

Akankah....?

Jumat, 16 Mei 2008

"Bakudapa" itu ternyata indah.....


“Bakudapa Sesama Kawanua Itu Indah….”

Walau dengan menempuh jarak yang lumayan jauh, dari kota yang katanya nyanda pernah tidor New York City (NYC), dua orang teman asal Minahasa (yang satunya tinggal di Jerman) tetap merelakan diri mereka berpanas-panas untuk datang for bakudapa deng beberapa torang yang tinggal di New Jersey. Tepatnya pertemuan yang diracik mendadak itu diadakan di Roosevelt Park Edison. Pertemuan kecil ini dibuat sebenarnya karena torang tergabung dalam satu “komunitas” bernama NETTERS SULUTLINK (Media Online ), punya kerinduan for bakudapa, bercerita, tukar-pikiran. Singkat cerita dua tamang ini (Netter Tom deng Rumanen) ada antar oto sekitar 50-65 miles plus mo cari itu lokasi pertemuan. Di lokasi park so batunggu netter Kitya deng Kawatak. Datang belakangan Rieke, Ellen deng akhirnya Tude. Bagi yang ingin lebih mengenal tu kota Edison, silahkan hoba disini : http://www.edisonnj.org/

Roosevelt Park berlokasi di kota Edison dan merupakan salah satu Park yang paling banyak di kunjungi, mengingat besarnya dan banyaknya fasilitas olah-raga serta tempat bermain. Kalau akhir pekan, tempat ini sangat penuh, setidaknya so musti pake tu istilah “first come first serve”. Dari puluhan meja dan bangku yang tersedia di Park tersebut so musti baku rebe untuk “first come first sit”, untungnya torang datang hari Rabu. Nyanda talalu banyak pengunjung, jadi sangat cocok for badiskusi, bacirita tukar pengalaman di bawah rindangnya pohon-pohon.
Ini Roosevelt Park kwa adalah salah satu bagian utama dari usaha-usaha besar Franklin Delano Roosevelt di jamannya, lebih dikenal dengan WPA (Works Progress Administration) yang mana dorang pe usaha antaranya adalah menyediakan, mengusahakan lapangan-lapangan kerja untuk orang-orang miskin dan para pengangguran selama tahun 1930-an. Sesungguhnya merupakan contoh yang layak ditiru organisasi-organisasi masa kini.

Di Park ini, selain diskusi-diskusi ringan mulai dari cerita-cerita pengalaman sampe tu grap-grap juga cerita-cerita lucu lainnya. Kawatak sempat batanya sebelumnya pa Kitya "sapa soh tu Tom, dapalia ‘jenggo’ skali kwa kalu lia dari nama ?". Maar akhirnya Kawatak so lebe kenal tu netter Tom yang low profile deng pintar ini. Tu netter Rumanen (David T) nyanda kalah heboh, jauh-jauh dari Jerman dalam ‘two weeks travel’nya ke Boston lalu NH, kemudian NY dan NJ dengan antusiasme yang amat sangat bertutur tentang pengalaman-pengalamannya. “Nyanda lalah soh ? “ pertanyaan itu di jawab, nyanda ! “ Cuma tu mata yang lalah, karna so dua malam nyanda tidor siang “, ungkapnya bersemangat. Menjelang sore-malam tu udara agak drop, jadi samua buru-buru pi ambe Jacket di oto. Netter Rieke muncul belakangan langsung ajak mo pi makang di Restorant, maar Kawatak usul singgah diskusi yang lebe serius dulu di Barnes & Noble. Di situ kebetelun ada “Corner’ Cafe”. Samua setuju.

Di Barnes & Noble pe corner’ cafĂ© tersebut sambil minum kopi panas torang lanjutkan itu diskusi dengan bobot yang agak lebih berat mengenai banyak hal dalam lingkup seputar Minahasa dan Keminahasaan serta berbagai permasalahannya. Mungkin belum banyak yang tau bahwa netter Rumanen adalah salah satu penulis yang berupaya menulis tentang Minahasa. Ada tulisannya bertajuk “Minahasalogi” telah dipublikasi dimana-mana, hoba disini : http://tumoutou.net/d_tulaar1.htm
Rumanen juga bilang pa torang bahwa ketika ia ketemu Gus Dur disuatu kesempatan
(dan bercakap-cakap singkat dengan beliau), dia dengar tentang komentar Gus Dur yang mengatakan bahwa orang Minahasa itu terkenal, bahwa orang Minahasa itu hebat dan bahwa itu tidak bias dipungkiri. Orang Minahasa yang pintar-pintar dan mudah bergaul, itu seharusnya dicontoh. Tapi Gus Dur juga bilang bahwa orang Minahasa itu nimbole tasalah.

Kopi so kandas tapi ‘diskusi terbatas’ ini masih berlanjut dengan asiknya, netter Ellen muncul ketika torang lagi spanen ba dengar ini Rumanen bertutur. “Asyik kwa ja dengar orang yang bicara kong dia tau skali apa yang dia bicarakan”. Itu Kitya pe tanggapan. Kita salut komang. Netter Ellen yang terlihat mesra dengan Netter Kawatak he..he..he…langsung duduk di sei pa tu netter Rietje yang serius menyimak.
Tom (kita nyanda ragukan komang kapasitas netter satu ini), menambahkan beberapa komentar yang perlu mendapat kajian serius.

Sedikitnya ada beberapa hal, dari apa yang kita simak, yang kita suka mo share di Blog ini antara lain; Bahwa Minahasa pada dasarnya bisa disebut sebagai suatu “bangsa” yang terdiri dari berbagai “suku bangsa”. Ada 8 bahasa yang dikenal di Minahasa dan dipakai secara luas yaitu Tonsea, Tolour, Tombasian, Tontemboan, Tonsawang, dan Bantik. Ada yang mengkasifikasikannya sebagai dialek bahasa Tombulu, dialek bahasa Tondano, dialek bahasa Tonsea, dialek bahasa Tontemboan, dialek bahasa Tonsawang, dialek bahasa Ratahan, dialek bahasa Bantik.
Yang paling banyak digunakan adalah bahasa Tontemboan, kurang lebih dipakai di 11 kecamatan. Napa tu contoh “ Tabea waya, rona karu yaku gumabung ambiay ? mande karu yaku make bahasa tountemboan....”

Tom : “Apakah perlu/penting untuk mempelajari keminahasaan secara anthropologis ? “
Rumanen : “ Apakah dalam kondisi sekarang ini perlu bagi kita untuk melihat dari sisi tersebut ? “

Sebab keminahasaan harusnya fleksibel. Banyak orang Cina yang ganti nama akhirnya mengaku bahwa dia adalah orang Minahasa. Cinta dengan Minahasa. Orang-orang dan suku lain yang sudah tinggal lama di Minahasa akan lebih dan suka untuk diakui sebagai orang Minahasa. Ketika ada pertanyaan ini “Orang apa ngana…?” mereka dengan pastinya akan menjawab “Orang Minahasa”, walaupun sebenarnya mereka datang dari suku lain. Ini sebenarnya yang mesti lebih jeli dilihat, sebab banyak yang datang menawarkan dan atau mengangkat issue “dorang” deng “torang”. Di Minahasa sapa tu “dorang” kong sapa itu “torang” soh ?
Itu adalah ‘proses alamiah’. Selama kita tinggal di suatu tempat, punya KTP yang sah (legal) maka kita adalah bagian dari tempat dimana kita tinggal. Nyanda ada lagi “dorang”. Yang ada Cuma “torang”. Dengan demikian kita telah menghormati hak paling asasi dari setiap manusia. Dan kita telah belajar untuk tidak menjadi rasis.
Sebenarnya masalah kependudukan di Minahasa lebih kepada unsur politisnya. Seperti Bitung yang di claimed sebagai milik orang Sangir (Peta politik). Bagaimana mengambil jalan tengah untuk mengatasi hal-hal seperti itu, terutama supaya kita tidak melihat lebih kepada “sapa ngoni-sapa torang” ? Banyak mungkin. Tapi yang paling penting adalah bahwa Ke-minahasaan harus di tempatkan dalam konteks ke-Indonesiaan.
Bacirita deng tamang-tamang memang nyanda akan abis-abis kalu so spanen bagini. Makanya Kitya bilang “Bagimana kalu torang sambung di rumah-makan, sebagai salah satu bentuk rasa ke-Minahasan torang yang kaya akan rasa, he..he..he…..”. Samua setuju. Waktu telah menunjukkan pukul 8.00 PM. Jadi memang perut so keroncongan. Apalagi ada yang so gelisah lirik kiri-kanan.

Nyanda lupa torang ambil gambar di setiap moment. Sangat di sayangkan, ada dapa kabar dari Netter Sapulidi (SL) yang lagi dari Princeton nyanda dapa tu alamat.
Netter Tude sempat kaseh kabar akan menyusul ke rumah makan jo kata. Tempat yang torang pilih adalah Grand Buffet – all you can eat -.
Dirumah makan torang masih sambung bacirita topik-topik ringan. Apalagi dengan munculnya Tude, jadi lebe rame tu pertemuan. Kitya juga ada tanya pa Tude mengenai kabar Fordis BBP. Tentang ke-kangen-nan netter V, dan banyak lainnya. Tude tanya sapa kata soh tu netter Spullimya ? (bukang pullia neh, he..he..he). Kita bilang Spullimya itu adalah Netter Syors noh, ternyata Tude masih belum kenal dan tanya lagi, sapa dang tu Syors soh ? Rumanen deng Tom bilang bahwa so dia noh tu Roy.M. Maar Tude kejar terus…”Sapa dang tu Roy M tudia kang…? “ Hua..ha..ha….., saki puru tatawa kita eh. Syors ternyata nyanda se populer yang kita bayangkan dang..he..he..he.
Itu netters Almins lei, terus terang kita ada percakapkan. Kita bilang dia cocok kwa for ba calon. Maar kayaknya yang bersangkutan lebe fokus di Pendidikan Nasional kang…? “Hihaaaa” paling beliau Cuma mo jawab saturupa itu!


Catatan : Foto-foto koleksi Mich ini, diambil di beberapa tempat

Sabtu, 10 Mei 2008

2 Samuel 11

Ini adalah cerita paling sederhana di dunia, kisah Daud dan Batsyeba: Pria melihat wanita, pria tidur dengan wanita, wanitanya hamil. Setiap tahun berita skandal menyiarkan variasi modern dari tema yang sama. Ganti sang politisi-atau penginjil-dengan raja, dan ratu kecantikan dengan Batsyeba. Apanya yang baru ?
Skandal itu sendiri tidak terlalu mengejutkan bagi bangsa Israel yang menjadi rakyatnya Daud. Seperti kebanyakan orang, mereka memaklumi fakta bahwa orang ditampuk kekuasaan yang membuat aturan seringkali tidak mau merepotkan diri untuk mengikuti aturan yang dibuatnya itu. Banyak pemimpin sejarah telah mengikuti jalur ini. Bangsa Romawi punya istilah untuk perilaku demikian yaitu : Rex Lex - Raja dalah Hukum dan bukannya Lex Rex - Hukum adalah Raja.

Kehamilan Batsyeba sedikit banyak merumitkan masalah. Jaman sekarang, pemimpin yang diperhadapkan seperti posisi Daud bisa menghancurkan barang bukti dengan aborsi. Daud pada waktu itu punya rencana lain untuk menutupinya. Dimulai dengan usaha cerdik untuk menipu, membuat suami Batsyeba tampak seperti ayah-anak itu. Namun kesetiaan Uria pada tugasnya harusnya membuat raja Daud malu. Apa yang terjadi kemudian adalah kasus klasik " Satu kejahatan membawa pada kejahatan lainnya ". Pada akhirnya Daud orang yang dikasihi Tuhan itu, melanggar perintah ke 6,7,9 dan 10. Untuk kesetiannya, si prajurit bernama Uria itu justru mendapat upah pembunuhan terencana, dan banyak orang Israel lainnya menjadi korban bersamanya.

Kisah ini menunjukkan Daud dalam sisi yang paling Machiavellian : Sedingin besi, kejam, jahat dalam penggunaan kekuasaan. Kendati demikian, tidak satu kata protes pun muncul. Apa yang diinginkan raja didapatkan raja, tidak ada pertanyaan diajukan.
Setelah masa berkabung, Batsyeba pindah ke istana dan Daud menikahinya. Pada saat itu seharusnya banyak orang yang sudah (dapat) menduga apa yang telah terjadi -para pelayan sudah pasti tahu sejak awal- tetapi dalam cerita itu tidak dilaporkan sama sekali ada orang yang menunjukkan rasa tidak suka. Kisah perzinahan Daud bisa saja berakhir disini, dan mungkin bisa demikian, jika bukan karena kalimat terakhir dipenutup pasal. Bunyinya hanya, " Tetapi hal yang dilakukan Daud itu adalah jahat di mata TUHAN."

Ominous thinking from philosopher

Socrates had followers. Peter Singer, the globe-trotting philosopher whose tour has included a stop at Princeton University, seems to have fans. They are given to hailing him in the hyperbolic language of rock-star groupies. Singer is, you hear his fans declare, the greatest living philosopher.
The praise usually is unaccompanied by a definition of terms. Certainly, however, it can't be disputed that Singer excels at getting attention for himself. And that's surely a singular achievement in academia where the doctoral outfall pipes endlessly emit turgid disquisitions that go unnoticed.

In article titled "Killing Babies Isn't Always Wrong" Singer said : " The notion that human life is sacred just because it's human is medieval."In a book titled "Rethinking Life and Death", he said : " Parents should be free to kill, say a Down's syndrome baby within 28 days of its birth."In a book titled " Practical Ethics ", he said : " Since human infants have no self-awareness - or so Singer debatably but confidently asserts - " The life of a newborn is of less value that the life of a pig, a dog or a chimpanze."
Singer is nothing if not relentlessly avant-garde in his philosophical ruminations. That he has sought to share his insight far beyond academia suggests to think. More likely, we suspect, he takes glee in riling the bourgeois Babbitts. In this quest Singer has enjoyed his little triumphs. Some fat-cat Princeton alumni were provoked to object to an academic sinecure for a man of his views. The fat-cats had to vouchsafed tut-tutting lectures on the imperatives of academic freedom.

Now, however, the bold-thinking Singer may have ventured too far out on the margins even for the intelligentsia. In a recent piece in Free Inquiry magazine, Singer has defended - in fact, urged - research to determine the links (if any) between race and intelligence.
Since race and intelligence are two concepts that have eluded scientific definition, such research seems not merely a futlile endeavor but one fraught with the potential of insidious racist agendas. Singer however, as usual seems ablivious to the possibility of horrendous consequences.
Maybe he has failed to grasp that in academia on all matters remotely relating to race a rigid dogma prevails that welcomes no question on any of dogma's tenets, wheter affirmative action, diversity, "speech codes" or what-have-you.

If in his avant-garde philosophizing Singer has been looking all along for the limits of tolerance in academia, he just finally be getting warm. He'll know for sure he's found the limits when protesting mobs of students and professors approach him bearing an updated cup of hemlock.