Selasa, 09 Desember 2008

N A T A L


Ada semacam kecenderungan bahwa perayaan Natal seringkali dipandang oleh Gereja Kristen dan umatnya sebagai sebuah momen bagi keluarga. Perayaan Natal dibayangkan sebagai sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan oleh setiap anggota keluarga untuk berkumpul (kembali) dalam sebuah kesatuan yang mesra. Di Indonesia, momen demikian serupa dengan perayaan Idul Fitri. Pada hari bahagia itulah, semua anggota keluarga merasa dipersatukan (kembali) sebagai sebuah keluarga besar. Oleh Holywood, momen itu ditampilkan sedemikian indahnya dalam berbagai film yang mampu menguras air mata sehingga citra dari perayaan Natal selalu berhubungan dengan sebuah momen yang bertuah, sebuah momen yang selalu memiliki keajaibannya masing-masing, termasuk Santa Claus yang masuk ke dalam cerobong asap untuk mengirimkan sebuah boneka Teddy Bear untuk seorang gadis kecil.
Memang tidak dapat disangkal bila perayaan Natal dalam masyarakat modern ini dikaitkan dengan keluarga. Entah dari mana dan sejak kapan pemahaman ini bermula. Sejak tradisi kandang Natal diperkenalkan oleh Santo Fransiskus Asisi, misalnya, kehidupan keluarga sudah menjadi satu tema yang sangat favorit di kalangan umat. Meskipun tema ini sebenarnya boleh dikatakan melenceng dari maksud awal pendirian kandang Natal itu, tema mengenai keluarga inilah yang dapat diterima secara membumi oleh masyarakat pada waktu itu. Sementara itu, tema yang menyangkut kesederhanaan dan kemiskinan bayi Yesus sebagai tema yang digagas oleh Santo Fransiskus Asisi, dipandang terlalu tinggi secara teologis dan terlalu remeh secara sosial.

Namun, dalam Injil Lukas dan Matius, Keluarga Nazareth sebagai model dari keluarga Kristen justru digambarkan sebagai keluarga yang selalu berhadapan dengan keprihatinan dan kepahitan hidup. Kisah Yosep dan Maria yang harus pergi ke Yerusalem untuk mengikuti sensus adalah gambaran dari keterasingan manusia. Mereka berdua ditolak dan bahkan diharamkan oleh masyarakat Israel karena Maria telah mengandung bayi sebelum mereka menikah secara resmi. Apakah pengalaman yang pahit demikian tetap mampu dipergunakan sebagai model dari perayaan Natal yang cenderung gegap-gempita? Apakah pengalaman getir yang dialami oleh keluarga Nazareth itu mampu membuat umat semakin memahami pesan Natal yang sesungguhnya? Bisa jadi, kita akan sangat kecewa karena Keluarga Kudus yang menjadi model perayaan Natal sepanjang abad sebenarnya adalah keluarga yang nelangsa, keluarga yang sangat prihatin. Namun, hal demikian sama sekali tidak dapat disalahkan. Konteks masyarakat dan lingkungan yang dihadapi oleh Yosep, Maria, dan bayi Yesus pada saat itu memang sangat tidak menguntungkan. Mereka terjepit di antara kemunafikan, penjajahan, dan kebiadaban. Habitat seperti ini mungkin dapat disandingkan dengan kondisi pertempuran yang terus-menerus memakan korban dalam sebuah negara. Di sinilah Yesus ditempatkan oleh BapaNya. Ia dilahirkan dalam masyarakat yang sakit parah.

Lalu, bagaimana dengan habitat yang sedang didiami oleh keluarga modern pada masa kini? Apakah proses pembentukan manusia selama berabad-abad telah menghasilkan berbagai keluarga yang tangguh dalam menghadapi segala halangan dan rintangan? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan retoris itu karena kehidupan keluarga mengalami revolusi. Terjadi berbagai kompleksitas dalam perubahan itu. Salah satunya adalah tersebarnya kebudayaan Barat melalui media massa. Cinta romantik ideal gaya Barat, misalnya, telah menjadi gaya hidup masyarakat yang dahulu sangat tradisional. Faktor lain adalah perkembangan pemerintah yang semakin terpusat. Kehidupan orang mulai dipengaruhi oleh keterlibatan mereka dalam sistem politik nasional. Bahkan, pemerintah melakukan berbagai usaha aktif untuk mengubah cara berperilaku tradisional. Sebagai contoh, di beberapa negara Asia, karena masalah pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dengan cepat, pemerintah secara bertahap memperkenalkan program yang mempromosikan keluarga yang lebih kecil, penggunaan kontrasepsi, penyuluhan reproduksi, dan pembangunan berbagai klinik kesehatan di daerah-daerah terpencil. Itukah habitus baru yang dimaksud?


Pada masa ini, ada berbagai cara hidup altenatif yang mulai merebak dalam memaknai kehidupan keluarga dan pernikahan. Tidak dapat disangkal bahwa cara hidup alternatif seperti kumpul kebo (cohabitation), pernikahan gay, atau single parent sebenarnya bukanlah berita yang menggembirakan bagi kehidupan keluarga di masa depan. Kendati begitu, hal demikian dapat dipahami. Bahwa dalam keluarga tradisional berbagai peristiwa gelap dapat terjadi, telah diketahui dan dipahami bersama. Ada semacam sisi gelap dalam keluarga tradisional yang mulai ditentang dan dipertanyakan secara kritis seperti perceraian, pelecehan seksual terhadap anak, dan kekerasan dalam rumah tangga. Orang modern mengalami bahwa rumah (home) sama sekali sudah tidak lagi dimaknai sebagai tempat hati kita berada, home is where the heart in. Namun, orang bisa bilang, home is where the hurt in. Rumah adalah tempat rasa sakit berada. Adagium home sweet home telah runtuh, digantikan tomb sweet tomb. Akankah demikian? Selamat hari Natal!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar