satu hal lagi yang tidak dapat diukur dengan kekuatan dan daya pikir manusia ataupun logika,kita sangat mengakui adanya HIDAYAH, yang ALLAH berikan kepada orang-orang tertentu,yang senantiasa mencari sumber kebenaran yang hakiki.
berikut ini, saya tampilkan tulisan pribadi saudara kita yang baru saja memluk AL-ISLAM karena proses pencarian yang panjang dan berliku,semoga penjelasan dan latar belakang saudara kita yang menjadikan alasan utamanya menjadikan AL-ISLAM sebagai sandaran terakhir beliau ini,menjadikan kita yang sudah dari awal memeluk agama ini bertambah semakin yakin dan terus memperdalam agama kita sendiri.
1.YESUS DAN AJARANNYA
Yesus yang menurut orang Kristen dan Katolik adalah Allah
Putera yang turun ke dunia untuk menjadi manusia dan penebus dosa umat
manusia, memang dapat diakui sebagai tokoh sejarah yang hebat. Tahun dibagi
menjadi dua ialah sebelum Masehi dan sesudah Masehi. Terhadap tokoh ini
beraneka ragam pendapat. Golongan Yahudi, berpendapat bahwa Yesus itu tokoh
pemberontak dan pengacau. Golongan Kristen, memujanya sebagai pribadi Allah
yang turun mengejawantah. Golongan Islam berpendapat bahwa Yesus seorang Nabi
besar, tetapi bukan putera Allah.
Lepas dari semua pandangan yang berbeda, kalau kita meninjau tokoh ini memang
merupakan tokoh yang boleh dibanggakan pengajaran-pengajarannya. Beliau mengajarkan
kerendahan hati yang tulus: “Jika engkau ditampar pipamu yang kiri;
serahkanlah yang kanan.” Sikap munafik ditentangnya
hebat-hebatan. “Jika engkau berdoa, masuklah kedalam rumah, tutuplah pintu
dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi” (Mateus 6: 6).
Dan sabdanya: “Janganlah berdoa seperti orang munafik, yang suka bertdoa
ditepi-tepi jalan dan ditikungan jalan supaya dilihat orang.”
Dalam memberi dermapun Yesus mengutuk sikap munafik, “Jika engkau memberi
sedekah, janganlah diketahui oleh tangan kiri apa yang dibuat oleh tangan
kanan” (Mateus 6: 3). Juga dalam hal berpuasa sikap munafik yang hanya ingin
dilihat orang lain sangat dicela oleh Yesus: “Jika engkau berpuasa jangan
muram mukamu, tetapi minyakilah rambutmu dan cucilah mukamu supaya orang lain
tak melihat engkau sedang berpuasa” (Mateus 6: 16-18).
Yesus mengajar kepada kita untuk percaya betul kepada penyelenggaraan Ilahi,
supaya kita tidak membalas dendam kepada orang lain. Untuk itu periksalah
Mateus pasal 6. Orang dari agama apapun bisa menghargai Yesus dan semua
ajarannya. Bagiku Yesus adalah Guru yang baik, Guru yang mengajarkan kebaikan
dan kesolehan yang tidak dibuat-buat.
Beliau paling membenci sesuatu hal yang dibuat-buat, hari Sabat yang dianggap
keramat oleh golongan Parisi didobraknya karena mereka melaksanakan hukum
hari Sabat secara berlebih-lebihan sehingga cinta kasih kepada sesama
diabaikan demi kekeramatan hari Sabat.
Yesus mengajar dengan bahasa rakyat, bahasa yang bisa dimengerti oleh rakyat
jelata. Beliau bukan saja mengajarkan kesederhanaan, tetapi beliau juga
melaksanakan kesederhanaan itu. Beliau tidak hanya mengajar supaya kita
mencintai orang lain, tetapi beliau juga melaksanakan cinta kasih dengan
menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, menolong penganten yang
nyaris kehabisan anggur di tengah-tengah pesta mereka.
Yesus juga contoh pribadi yang tidak segan-segan berkata:
“Tidak” jika memang keyakinannya demikian. Beberapa kali orang Parisi mencoba
menjebak dia, namun dia bisa membalikkannya dengan begitu tepat. Ketika orang
Parisi bertanya: “Perlukah kita membayar pajak?” Yesus dengan pertanyaan ini
dihadapkan kepada buah simalakama, pata posisi yang sulit. Jika dia berkata:
‘~tidak,, dia dianggap pemberontak. Jika menjawab: “ya,” mereka akan berkata
mengapa utusan Allah lebih rendah dari pada Kaisar. Dalam keadaan seperti itu
Yesus balik bertanya: “Coba tunjukkan uang itu. Gambar siapakah itu?” Jawab
kaum Parisi: “Gambar Kaisar.” Kemudian Yesus berkata: “Serahkanlah kepada
kaisar yang menjadi hak kaisar dan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan.”
Saya mengakui bahwa pribadi Yesus begitu agungnya, sampai-sampai seluruh
hidupnya dicurahkan untuk memberikan perhatian kepada orang kecil. Saya
menghormati pribadi ini sebagai pribadi yang mendobrak ketidakadilan, dan
menolak kultus individu. Kepada orang yang disembuhkan dari sakit, dia selalu
berpesan agar tidak dikatakan kepada orang lain peristiwa penyembuhannya itu.
Tentang kemurnian hidup beliau mengajarkan: “Setiap orang yang memandang
seorang wanita, dan menginginkannya sudah berzina di dalam hatinya” (Mateus
5: 28). Dalam memilih murid-muridnya Yesus tidak memandang dari mana asal
usulnya. Mateus, seorang penarik bea yang dalam pandangan masyarakat Yahudi
bukan profesi yang baik, dipilih sebagai seorang muridnya. Petrus seorang
nelayan sederhana, dipilih sebagai tua-tua murid yang lain.
Yesus tidak menyukai kekerasan, walaupun itu kepada musuhnya. Ketika Petrus
memarang telinga tentara yang akan menangkap Yesus sehingga daun telinganya
putus, daun telinga itu justru diambil oleh Yesus dan dilekatkan kembali
ketempat asalnya.
Kepada orang yang mendengarkan pengajarannya, beliau tidak melupakan
kesejahteraannya. Ketika pada waktu makan dan tidak tersedia makanan, Yesus
mengambil sepotong roti kecil dan dua ekor ikan yang dibawa oleh anak kecil
kemudian diperbanyak olehnya dan dibagikan kepada orang-orang itu; tetapi
manakala pada kesempatan lain orang berbondong-bondong mengikuti, justru
Yesus menolaknya karena tahu bahwa motivasinya karena ingin roti hasil
mukjijat Yesus.
Tiada suatu pengaruh lain yang bisa melenyapkan peoghormatanku pada Yesus
Kristus sebagai pribadi pembaharu peradaban manusia.
2.KEBIMBANGAN BERJALAN TERUS
Terhadap pribadi Yesus, saya tidak mempunyai keraguan
tentang pengajarannya. Tentang hukum etis dan moral yang diajarkannya sungguh
bernilai tinggi. Tetapi tentang dosa asal, tentang Santo dan Santa, tentang
silsilah Yesus; bolehkah semua itu kuanggap tidak penting? Yang penting inti
iman. Sampai aku menjadi Guru Agama, kebimbangan itu berjalan terus. Yang
saya herankan sekarang ialah, apakah orang yang saya ajar itu tidak bimbang
bila saya sendiri yang mengajar sesungguhnya hatiku juga bimbang. Saya tidak
tahu, dan belum pernah menanyakan kepada katekumers saya (orang yang aya ajar
agama) dan dari mereka saya tidak pernah menerima pertanyaan itu.
Lebih aneh lagi sebetulnya, kalau aku mengingat bahwa ketika aku menjadi
mahasiswa di Fakultas Pendidikan Kateketik dan berpraktek Stasi di
kotatentang pengajarannya. Tentang hukum etis dan moral yang diajarkannya sungguh
bernilai tinggi. Tetapi tentang dosa asal, tentang Santo dan Santa, tentang
silsilah Yesus; bolehkah semua itu kuanggap tidak penting? Yang penting inti
iman. Sampai aku menjadi Guru Agama, kebimbangan itu berjalan terus. Yang
saya herankan sekarang ialah, apakah orang yang saya ajar itu tidak bimbang
bila saya sendiri yang mengajar sesungguhnya hatiku juga bimbang. Saya tidak
tahu, dan belum pernah menanyakan kepada katekumers saya (orang yang aya ajar
agama) dan dari mereka saya tidak pernah menerima pertanyaan itu.
Lebih aneh lagi sebetulnya, kalau aku mengingat bahwa ketika aku menjadi
mahasiswa di Fakultas Pendidikan Kateketik dan berpraktek Stasi di
kecil Walikukun,
Kabupaten Ngawi begitu banyak orang yang saya Katolikkan. Cara pendekatan
saya begitu baik sehingga kepada Kepala Desa Mengger, Kepala Desa Karangbanyu
dan Kepala Desa Dirgo (Bau) saya bisa minta dikumpulkan orang-orang desa
untuk saya ajar agama Katolik.
Setelah saya menjadi Guru Agamapun saya boleh dikatakan sebagai Guru Agama
yang berhasil dalam hal meng-Katolik-kan banyak orang, atau
sekurang-kurangaya membuat suatu masyarakat bernafaskan Katolik. Akhirnya
masa tugasku sebagai Guru Agama kujalani di
kota
kecil Sumpiuh, Kabupaten Banyumas
dalam Keuskupan Purwokerto. Tempat tugasku hanya berjarak 5 km dari tempat
kelahiranku, Tambak. Di dalam Injil ada disebut: “Seorang nabi tak dihargai
di negerinya,” walaupun begitu tugasku di Sumpiuh dapat kunilai dan dinilai
orang lain: sukses. Dalam waktu tiga tahun saya di Sumpiuh saya melayani tiga
orang Pastor berturut-turut yaitu: Rama A. Wahyo Bawono Pr, bekas Letnan
Kolonel Kostrad Tituler, Rama Antonius Willing MSC, Rama H. Obbens MSC.
Dengan dua Pastor yang terdahulu saya bisa bekerja sama dengan baik tidak
pernah ada misunderstanding, tetapi dengan Rama Obbens keadaannya lain.
Tetapi hubungan yang kurang baik antara saya dengan beliau tidak menjadi
alasan yang penting mengapa saya masuk Islam. Kalau hal itu dianggap sebagai
proses yang mempercepat mungkin boleh, tetapi jika ini dianggap sebagai
penyebab utama tidak mungkin.
Seperti lajimnya keluarga Katolik, lebih-lebih saya Guru Agama, maka anak
yang baru lahir itupun kumintakan baptis. Ketika aku menyaksikan upacara
baptis anakku timbullah suatu pertanyaan besar: “Apakah betul anakku sudah
punya dosa asal warisan zaman Adam dan Hawa akibat dosa mereka?” Gereja
Protestan memang lebih rationil dalam hal pembaptisan ini, yang tidak mau
membaptis seseorang tanpa kemauan bebas dan kehendak orang yang bersangkutan.
Seperti halnya kakekku yang meletakkan dasar pada pendidikanku sehingga
seluruh pribadinya sempat mewarnai juga pribadiku, maka pergaulanku tidak
tertutup pada suatu kelompok masyarakat. Dengan orang Protestan dan Islam
saya banyak bergaul. Dengan pejabat-pejabat setempat selalu saya memelihara
hubungan baik. Tetapi juga dengan kalangan masyarakat yang diemohi oleh
masyarakat saya usahakan hubungan yang baik.
Dengan wanita pelacur saya tidak segan-segan untuk bergaul dan mengunJungi
mereka. Itu semua kulakukan bersama-sama isteriku bila aku mengunjungi
tempat-tempat pelacuran. Bukan karena isteriku tidak percaya kepada
kesetiaanku, tetapi suara masyarakat yang negatif hampir tidak pernah saya
dengar dengan selalu mengajak isteri saya bila ke
sana
.
Di situlah saya berpikir, mengapa Pimpinan Gereja tidak pernah mempunyai
konsepsi dan buah pemikiran untuk wanita P? Bukankah Kristus memberi contoh
dengan membela Maria Magdalena yang akan dihukum rajam (lempar batu) karena
kedapatan sedang berjina? Yesus dengan kewibawaanya berkata:
“Siapa yang tidak mempunyai; dosa silakan lempar batu dahulu!”
Kebimbangan itu pada akhirnya sampai pada puncaknya ialah, mula pertama
dengan tidak meyakini peranan Bunda Maria sebagai perantara manusia kepada
Allah Bapa dan Allah Putera. Jadi imanku Katolik saya kurangi dengan
dosaasal, pembaptisan bayi, peranan Bunda Maria. Bolehlah dikatakan saya
sudah menjadi Protestan secara praktis.
Hal itu memang benar, jika saja proses. itu berhenti sampai di sini saia.
Tetapi proses ini berkembang dengan tidak meyakini lagi pada diri saya bahwa
Yesus itu Allah, walaupun saya tetap meyakini bahwa Kristus adalah Guru yang
baik.
Soal Trinitas dan lain-lainnya dapat Saudara baca pada bagian karangan saya
yang berjudul: “Siapakah Juru Selamat Dunia?,” yang dimuat bersama-sama
serial ini. Perlu kiranya saya tambahkan bahwa buku: “Yesus Kristus dalam Al
Quran dan Mohammad dalam Bijbel,” karya Drs. Hasbullah Bakri, telah mendorong
saya dan membantu studi tentang masalah ketuhanan Yesus.
3.PUTUSAN TERAKHIR
Memang tidak mudah untuk mengambil keputusan terakhir,
lebih-lebih jika ini menyangkut soal iman. Pada studi saya lebih lanjut
disamping saya sampai pada kesimpulan bahwa Yesus bukan pribadi Allah, sampai
juga saya mengimani bahwa Muhammad itu adalah Nabi Utusan Allah.
Sebetulnya dengan ini saya sudah menjadi orang Islam dalam batin. Saya
seorang yang dalam mengambil keputusan tidak begitu tergesa-gesa, segi-segi
saya pertimbangkan dengan betul.
Dalam awal tahun 1977, saya pergi ke Lampung menghadap orang-tuaku untuk
mohon doa restu. Keputusanku sudah bulat pada waktu itu ialah: “masuk Islam.”
Teringatlah saya akan sabda Yesus “Carilah dulu Kerajaan Allah dan segala
kebenarannya yang lain akan diberikan sebagai tambahan” (Mateus 6: 33).
Ujian pertama, ialah kemarahan orang tuaku, ibuku marah dengan sangat begitu
mendengar keputusanku. Saya: pulang dari rumah ibu dengan hati yang
berkeping-keping. Di Jakarta saya istirahat beberapa hari. Dan akhirnya saya
bisa bertemu dengan Bapak Mollammad Natsir gelar Datuk Sinaro Panjang. Beliau
sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat.
Akhirnya dengan bantuan beliau saya berkuliah untuk memperdalam Agama Islam
pada IAIN “Sunan Kalijogo,” Fakultas Ushuludin Yogyakarta.
Keputusanku masuk Islam kutuangkan dalam Pernyataan didepan Bapak Syamsuri
Ridwan, Kepala Dep. Agama Kab. Banyumas di Purwokerto disaksikan oleh: AK.
Ansori, Somad, Moh. Tohar BA, tgl. 14 Januari 1977.
Perpisahan dengan Gereja Katolik bukan berarti perpisahan dengan Yesus atau
Isa a.s. Guruku yang pengajarannya kukagumi.
Selamat tinggal Gereja Katolik saya merasa berhutang budi kepadamu karena engkau
telah mendewasakan pribadiku dan mengembangkannya. Seminggu setelah aku
mengambil keputusan ini, aku masih tetap menangis. Bukan menangis menyesal
telah mengambil keputusan yang engkau anggap salah, namun perpisahan dengan
engkau almamater yang telah sekian lama aku berkecimpung di dalamnya cukup
mengharukan dan menyedihkan hatiku.
Walaupun pengajaran-pengajaranmu banyak yang tidak kupercaya lagi namun aku
ingin menjadi sahabatmu yang baik, walaupun aku sudah dalam biduk lain.
Akhir tulisan saya, saya ingin minta maaf kepada para Wali Gereja Katolik
terlebih-lebih Bapa Uskup Alb. Hermelink Gentiaras SCY, bekas Uskup
Tanjungkarang, Mgr. P.S. Harjosumarto MSC, Uskup Purwokerto, para Pastor yang
telah mengenal saya, sesama rekan Guru Agama dan saudara-saudara yang
beragama Katolik, barangkali saya dianggap telah mengambil keputusan yang
sesat. Namun keputusan itu telah saya ambil dalam kedewasaan pribadi, waktu
yang lama, studi yang mendalam dan doa kepada Tuhan. Akhirnya saya
mengucapkan selamat tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar