Profil Usaha
Ada empat kelompok perusahaan yang dikuasai oleh JK (kelompok Bukaka & Hadji Kalla), iparnya, Aksa Mahmud yang Wakil Ketua MPR-RI (kelompok Bosowa), dan adiknya, Halim Kalla (kelompok Intim).
Beberapa perusahaannya yang dikenal publik antara lain: Bhakti Centra Baru (Bukaka Agro; Bukaka Asia Investment Ptd; Bukaka Barelang Energy (BBE); Bukaka Building Construction; Bukaka Investindo; Bukaka Marga Utama (membangun dan mengelola Ciawi
- Sukabumi toll road, Pasuruan - Probolinggo tol road); Bukaka Meat; Bukaka Teknik Utama (yang antara lain meliputi Bukaka Singtel (sudah dilego karena gagal memenuhi komitmen pemasangan telepon terhadap Telkom), Bumi Karsa, Duta Agro Sulawesi, Haji Kalla Trading Company, NV, Kalla Inti Karsa; Mal Ratu Indah, Makassar; Kalla Lines.
Track Record:
Pada krisis 1997/1998, Grup Bukaka Termasuk 20 debitur kakap yang mengemplang ke Bank-Bank BUMN yang mengakibatkan bank-bank plat merah kolaps. Sebagaimana debitor lainnya, Bukaka juga ‘memaksa’ mendapatkan hair-cut dalam jumlah yang sangat fantastis.
Sejak 2005, Bukaka dan Bosowa menjadi ‘beban’ bagi Bank BUMN seperti Mandiri. Kredit macet mereka terbilang tinggi yang memaksa bank-bank plat merah baru ini menyisihkan pencadangan, dan termasuk merestrukturisasi utang-utang tersebut.
Bukaka Teknik Utama tercatat menjadi pemegang saham mayoritas (35%) PT Trans-Jawa Paspro Jalan Tol. Yang memegang konsesi jalan tol Pasuruan-Probolinggo. Lantaran tak mampu memenuhi kewajiban berupa jaminan pelaksanaan, dana tanah, dan financial closed yang deadlinenya 30 Juni 2008. Karena wan prestasi, akhirnya konsesi itu dilego ke kelompok usaha Bakrie.
Bukaka tercatat di Bursa Efek Jakarta. Tapi, lantaran laporan keuangannya selalu disclaimer selama bertahun-tahun, akhir Bursa Efek Indonesia mendelistingnya dari pasar saham. (Pada saat kampanye pilpres 2009, Kalla dengan sinisnya bilang, “Pasar modal adalah sarang neolib.”)
Berikut isi lengkap tulisan bagian ke-2.
Profil Proyek: Intervensi dan Benturan Kepentingan:
Sejak menjadi wapres, Kalla bersaudara semakin kebanjiran order. Salah satunya adalah pembangunan PLTA. Di Sulawesi Selatan:
Bukaka mendapat order pembangunan PLTA di Ussu di Kabupaten Luwu’ Timur, berkapasitas 620 MW; sebuah PLTA senilai Rp 1,44 trilyun di Pinrang; sebuah PLTA kecil berkapasitas 1 MW di Desa Mappung, Tompobutu, di perbatasan Kabupaten Gowa dan Sinjai, sebuah PLTA berskala menengah berkapasitas 8 MW di Bantaeng, serta sebuah PLTA kecil di Salu Anoa di Mungkutana, Kabupaten Luwu Utara.
Saat ini, Bukaka sedang membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, yang akan berkapasitas total 780 MW. Di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Bukaka mendapat order pembangunan PLTA berkapasitas 25 MW. Selain ditengarai memainkan pengaruh kekuasaan untuk mendapatkan bisnis ini, pelaksanaannya pun kerap melanggar aturan. PLTA Poso, misalnya, mulai dibangun sebelum ada AMDAL yang memenuhi syarat.
(Juga jaringan SUTET-nya ke Sulawesi Selatan & Tenggara dibangun tanpa AMDAL). Di Sumatera Utara, kelompok yang dipimpin Achmad Kalla, adik kandung Wakil Presiden mendapat order pembangunan PLTA di Pintu Pohan, atau PLTA Asahan III berkapasitas 200 MW serta PLTA Sibaho di Kabupaten Humbang Hasundutan. Untuk itu, Bukaka sudah melakukan pembebasan lahan, tapi proyeknya kemudian diambil alih oleh PLN.
Selain itu, Bukaka juga terlibat dalam pembangunan pipa gas alam oleh PT Bukaka Barelang Energy senilai US$ 750 juta – setara dengan Rp 7,5 trilyun – yang akan terentang dari Pagar Dea, Sumatera Selatan, ke Batam; pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) senilai US$ 92 juta – atau Rp 920 milyar – di Pulau Sembilang, dekat Batam; pembangunan pembangkit listrik tenaga gas di Sarulla, Tarutung, Sumatera Utara, yang akan menghasilkan 300 MW.
Yang paling baru adalah rencana pembangunan 19 PLTA berkekuatan 10.000 MW. Rencana ini dinilai berbahaya secara ekonomi karena Kalla mendorong BPD-BPD se Indonesia yang membiayainya dengan mengandalkan dana murah di bank-bank milik pemda tersebut. Masalahnya, dana murah itu adalah dana jangka pendek, sedangkan pembangunan PLTA adalah proyek berjangka waktu panjang.
Rata-rata baru setelah 7 tahun, ada duit yang masuk. Jika terjadi sedikit saja goncangan, BPD-BPD bakal semaput karena dana
jangka pendek mereka dipakai untuk membiayai proyek jangka panjang. Kengototoan Kalla bisa dimaklumi karena kelompok-kelompok Bukaka, Bosowa , dan Intim (Halim Kalla) termasuk paket kontraktor pembangunan 19 PLTU itu.
Kelompok Bosowa mendapat order pembangunan PLTU Jeneponto di Sulsel, tanpa tender
(Rakyat Merdeka, 7 Juni 2006), sedangkan kelompok Intim milik Halim Kalla yang juga salah seorang Komisaris Lion Air akan membangun PLTU berkapasitas 3 x 300 MW di Cilacap, Jateng, dengan bahan baku batubara yang dipasok dari konsesi pertambangan batubara seluas 5.000 ha milik kelompok Intim di Kaltim (GlobeAsia, Sept. 2008, hal. 38).[bersambung/ims]
Berikut isi lengkap tulisan bagian ke-3.
Intervensi yang juga paling sering dikemukakan adalah menyangkut proyek Monorel. Rencana proyek ini hampir kandas setelah konsorsium pemenang ternyata tak punya cukup duit.
Belakangan Bukaka masuk dan memimpin konsorsium. Mereka mendesak bank-bank BUMN untuk mengucurkan kredit. Karena mendapat sorotan, akhirnya diupayakan dengan cara tipuan: Pura-puranya
ada dana dari Dubai.
Belakangan ketahuan investor Dubai itu hanyalah arranger keuangan saja, sebab yang menyetor duit itu rencananya adalah Bank-Bank plat merah (Mandiri, dll). Yang paling disoroti dari proyek ini adalah permintaan jaminan pemerintah.
Dalam hal ini Bukaka mengklaim potensi penumpang yang sangat besar. Jika jumlah penumpang itu tak tercapai maka sisanya adalah kerugian yang harus ditanggung pemerintah!
Selain itu, grup Kalla juga diketahui menjadi bagian dari konsorsium yang mendapat konsesi dalam pembangunan apartemen murah 1000 tower. Tak mengherankan jikalau Kalla-lah yang paling ngotot dan sebagai akibatnya Pemda Jakarta dipaksa mengabaikan
berbagai pelanggaran yang dilakukan pengembang yang membangun apartemen murah ini.
Jika tak dihentikan, daerah seputar apartemen murah bakal jadi daerah super crowded karena pengembang membangun unit yang jauh melebihi daya dukung lingkungannya.
Meski selalu menyebut ‘ogah asing’, pada dasarnya Kalla sudah lama menjalin relasi dengan perusahaan asing. Terakhir, Adik bungsu Jusuf Kalla, Suhaelly Kalla, terjun ke bisnis mobil produksi Cina. Suhaelly dengan perusahaan PT IGC International menjadi distributor mobil merek Geely di Indonesia.
Menurut Suhaelly, keterlibatan dalam bisnis mobil Cina karena peluangnya cukup menarik. Geely mampu menghasilkan produk yang kompetitif dengan harga lebih murah. “Harga sedan dibawah Rp 100 juta tiap unit,” kata Suhaelly, dalam acara peluncuran mobil Geely CK CKD (completely knock down), Jakarta (16/5).
Dalam soal Blok D Alpha Natuna, Kalla terlihat agresif dan seperti menentang dominasi perusahaan-perusahaan migas asal Amerika Serikat. Yang tak diketahui, Kalla merangkul perusahaan migas Eropa. Salah satu yang dijagokannya adalah perusahaan migas asal Norwegia.
Yang menarik, di tingkat domestik, menantunya yang kerap dipanggil dengan Tono Kalla sudah menjalin kerjasama dengan BUMD Kab Natuna untuk menampung jatah saham yang harus dialokasikan kepada pemda. Duit yang dibutuhkan untuk
membeli saham itu mencapai Rp 20 triliun.
Hingga kini, Tono Kalla masih mencari kreditor yang mau mengucurkan kredit padanya. Kehadiran Tono ini jadi tak ‘asyik’ karena maksud awal Pemda Natuna menggandeng Tono adalah dengan asumsi Tono cukup punya duit untuk menjadi patnernya pemda setempat.[
Tidak ada komentar:
Posting Komentar